Tuesday, December 20, 2011

Lucky :P

heyy:)

NEW STORY! :D

berkisar dii tema "Je suis chanceux de vous avoir dans ma vie" :p

yang artinya..?
carilah di google translate supaya mudeng :P
haha^^

ceritanya lebihh ke arah satu scene tanpa ending dan intro yang jelas-jelas banget :)

oke semoga suka,
maaf kalo aneh dan maksa :P

-*^^*-


Lucky
Pandangannya terfokus pada 1 objek saja, 1 objek yang sama selama hampir semalaman.
Tangan gadis yang ada dalam genggamannya sekarang.
Gadis yang sejak malam tadi hanya memejamkan mata, gadis yang membuatnya tetap terjaga semalaman penuh.

Gadis yang membuat dunianya begitu berwarna, gadis yang mengisi hari-harinya dengan senyuman. Gadis yang mampu membuatnya mengerti apa yang namanya menyayangi, dan akhirnya dia begitu menyayangi gadis itu sendiri.

Gadis itu sekarang terbaring di rumah sakit. Fakta ini mampu membuatnya terkurung, terkurung dari dunia nyata. Membuatnya lumpuh, tak bisa melakukan apa-apa. Dunia di sekelilingnya terabaikan, dan yang mampu dilakukannya hanya menggenggam tangan gadis itu.

Hal terakhir yang mampu diingatnya adalah, Ibunda dari gadis ini pamit, setelah gagal membujuknya untuk pulang. Lalu semuanya sama, monoton.
Cahaya mentari pagi, kicauan burung, dan gerimis kecil di pagi ini pun tak mampu menyadarkannya. Pandangannya tetap sama, tetap lemah, tetap tertuju pada gadis itu.

----------^^----------
Pintu yang terbuka tetap tak mampu memindahkan pandangan matanya dari gadis itu. Tapi sebuah tepukan ringan di bahunya bisa. Dia tahu itu adalah Ibunda gadis yang sangat disayanginya, tante Ria. Wanita yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri. Cara beliau menepuk pundaknya selalu khas.

“ Troy, Makan dulu, ya?” pinta beliau. Sudah sejak kemarin pagi, perutnya tak terisi apa-apa, kecuali segelas air putih. Dia menggeleng pelan, tapi Ibunda gadis itu tetap mencoba.

“Nanti kamu sakit. Sarapan dulu, sedikit saja.”

“Biar aku sakit, Tante, asal jangan Abby,” suaranya semakin lirih.

Tante Ria kembali mencoba, kali ini sedikit membungkuk di sampingnya, “Sedikit aja,” pinta beliau lagi. Tidak pernah bisa menolak permintaan tante Ria, Troy akhirnya mengangguk pelan. Akhirnya setelah beberapa jam, Troy melepaskan tangan Abby.

Tante Ria membuka sebuah kotak makan dan menyerahkannya pada Troy. Nasi hangat dengan lauk sebenarnya tidak juga mengundang selera makan Troy, tapi toh dia tetap melahapnya. Ibunda Abby juga membawa setermos kopi panas. Setelah menuang segelas untuk dirinya, tante Ria menuang segelas lagi untuk Troy.

Tante Ria sempat berdiri di sisi lain ranjang, membungkuk dan mencium kening putrinya, dan juga menyadari bahwa suhu tubuhnya sudah agak menurun.

Setelah Troy menghabiskan makanannya, tante Ria menyerahkan kopi itu sambil berkata, “Troy, habis ini kamu pulang dulu, ya.” Kata-kata tante Ria itu langsung membuat wajah Troy pucat, dan mentah-mentah dia menolak usulan tante Ria itu. “Nggak, Tante, aku mau di sini aja!”

Tante Ria memandangi wajah Troy dengan iba. Cowok yang sudah seperti anaknya sendiri itu memang sangat perhatian pada putrinya, tapi dia harus memperhatikan dirinya sendiri juga. Sudah sehari semalam Troy tidak pulang ke rumah. Terus menerus di rumah sakit.

Sakit Abby sebenarnya tifus, penyakit yang dengan pengobatan jaman sekarang mudah di sembuhkan, tapi tetap saja Troy sangat khawatir. Karena kalau tidak hati-hati, penyakit itu bahkan bisa merenggut pergi gadis yang sangat disayanginya ini.

“Nanti kamu ke sini lagi,” tante Ria sedikit memaksa. Dia nggak tega melihat Troy seperti ini. Troy tetap menggeleng, kali ini juga sama-sama bersikeras seperti tante Ria. Akhirnya tante Ria mengalah. Dia memilih meninggalkan keduanya sejenak, menemui dokter untuk bertanya mengenai perkembangan putrinya.

Selain menganggapp Troy sebagai anaknya, tante Ria juga percaya pada Troy. Dia yakin Troy akan menjaga putrinya, jadi dia tidak was-was saat meninggalkan Troy berdua dengan Abby.
Setelah tante Ria pergi, Troy kembali menggenggam tangan Abby, seolah ingin menyampaikan pada Abby kalau dia selalu ada di dekatnya.

Tidak lama, Abby terbangun, kelopak matanya pelan-pelan membuka, dan otomatis Troy tersenyum lebar. “Pagi,” gumam Troy. Abby tersenyum, terutama saat menyadari tangannya yang nggak diinfus sedang diselimuti kehangatan Troy.

Tapi,
“Maaf ya,” kata-kata itu yang ternyata pertama kali keluar dari bibir Abby. Setetes air mata sedih juga mengalir ke pipinya. Troy cepat-cepat mengulurkan tangannya dan mengusap pipi Abby, menghalau air mata. “Ssstt.. Kenapa minta maaf?”

“Maaf aku ngerepotin kamu,” Abby berkata pelan. Troy menggeleng, “Enggak ngerepotin kok.” Abby tersenyum, menyadari betapa beruntung dirinya bisa bertemua cowok seperti Troy. Troy mencium pipi Abby, dan berkata, “Cepet sembuh ya, I love you, Abby sweetheart.”

Abby tertawa geli, “Iya, iya. Udah, sekarang kamu pulang aja dulu. Nanti ke sini lagi, ya?” Sekali lagi, wajah Troy memucat sedikit, “Nggak, aku mau di sini aja. Nemenin kamu,” pintanya. “Kan nanti ada Papa sama Mama, Troy,” Abby mengingatkan, belum tahu kalau Mamanya sudah datang tadi.

“Kamu nggak mau aku temenin?” tanya Troy. Abby menggeleng dengan tersenyum, “Bukan gitu. Aku seneng kalo kamu di sini, tapi kamu harus pulang dulu. Istirahat. Udah dari kemarin, kan, kamu di sini terus. Mama kamu sama adik-adik kamu gimana?” Troy menghela nafas, lalu mengangguk. Walau tubuhnya nggak capek, Abby bener. Dia harus pulang, paling nggak sebentar. Siapa tau Mama atau adik-adiknya butuh bantuan.

Saat itu tante Ria juga masuk, tersenyum saat melihat Abby sudah bangun. “Udah enakan, sayang?” tanyanya pada Abby. Abby mengangguk sedikit, “Iya, Ma.”

“Tante,” lalu Troy berkata, “aku pulang dulu, ya? Nanti ke sini lagi.”

Tante Ria tersenyum lagi, “Iya, istirahat dulu aja. Salam buat mama, ya.” Troy mengangguk. “Pulang dulu, ya, By. Nanti ke sini lagi. Bye, love,” Troy berbisik ke telinga Abby, membuat Abby tertawa kecil. “Iya, daa sayang,” balasnya.

Troy yang melewati tante Ria yang lalu menepuk bahunya. “Mari, tante,” pamitnya lagi, dijawab anggukan dari tante Ria. Lalu saat mereka tinggal berdua, tante Ria berkata ke Abby, “Makan dulu ya, sayang. Tapi Mama tanyain dulu, kok belum dianter makannya, padahal udah agak siang nih.” Lalu tante Ria juga keluar, meninggalkan Abby sendiri.

Abby nggak pernah takut sendirian. Gadis itu bahkan terkadang menyukai saat-saatnya sendirian. Di saat itulah dia bisa berpikir, me-review hidupnya. Dan sekarang, yang ada di pikirannya adalah Troy.

How lucky I am to have you in my life,” katanya dalam hati, tersenyum.

-------------------------------------------------------------------------------------------


REVIEW PLEASE? COMMENT? :D

Tuesday, December 6, 2011

Kakak

Fiction, terinspirasi dari seorang guru :)

-*^^*-


KAKAK

Kakak,
Kakak apa kabar? Kakak baik-baik aja, kan?
Adek di sini baik-baik, Kak.

Kakak,
Kakak lagi apa? Kakak senang nggak di sana? Kata Ayah sama Bunda, Kakak pasti senang di sana.

Kakak,
Adek lagi kangen, kangen sekali sama Kakak. Udah lama ya, Kak, kita nggak ketemu. Ayah dan Bunda juga kangen sama Kakak.

Kakak,
Di sini lagi hujan. Adek jadi ingat Kakak. Kita kan sering hujan-hujanan dulu. Sampai di marahi Bunda terus. Tapi pasti besoknya kita hujan-hujanan lagi. Iya kan, Kak?

Kakak,
Adek kangen sama kakak. Adek pengen nyusul Kakak, biar bisa bareng sama Kakak. Tapi pasti nggak boleh sama Ayah, sama Bunda. Lagipula, Adek juga kasihan, nanti Ayah sama Bunda sendirian.

Kakak,
Sayang ya, di sana nggak ada telepon. Kalo ada kan Adek bisa telepon Kakak terus. Nanti kita bisa ngobrol, ya kan Kak?

Kakak,
Tadi pagi Adek habis ikut lomba nyanyi. Juara 2 lho Kak. Nanti kalau kita ketemu, Adek nyanyi buat Kakak, ya.


Kakak,
Sayang ya, kita belum bisa ketemu. Padahal Adek pengen sekali ketemu Kakak. Nanti ya, Kak. Kalau sudah waktunya kita pasti ketemu, begitu kata Bunda.

Kakak,
Sekian dulu ya surat dari Adek. Kapan-kapan Adek sambung lagi. Nggak apa-apa kalau Kakak nggak sempat membalas, yang penting dibaca ya, Kak.

-Peluk cium dari Adek buat Kakak-

-*^^*-

Bunda membaca surat di meja belajar Adek. Air mata tidak henti menetes. Bunda membaca secarik kertas lain, Bunda, nanti tolong suratnya di kirimkan ke Kakak ya.
Akhirnya surat ini akan berkumpul dengan setumpuk surat lainnya di kotak kayu kecil di bawah tempat tidurnya, setumpuk surat yang ditulis oleh Adek, yang seharusnya ia kirimkan ke Surga.

Monday, November 21, 2011

Aku takut..
takut someday you'lll walk away but don't look back :((

Sunday, October 9, 2011

why am i still counting?

It's been years..
It should've been forgotten..

But I haven't forget..
In fact, I'm still counting..

Day by day,
Month by month

Year by year,
I remember..

I know I should left it all,
Bu why can't I?

Every time I hear the name,
Every time I hear the date..

I know I'm still counting,
But why am I?

Wednesday, October 5, 2011

Happy Birthday :)

Sebuah hadiah untuk teman yang ulang tahun,
mungkin kamu nggak baca ini, but if you do, this is for you.
happy 16th birthday :)
----------------------------------------------------------------------------------------------

“It’s on the blog now,
Happy birthday!
-Ndy-“
Sms singkat dari Indy membangunkan Jeremy yang lagi asik-asik tidur. Bukannya marah, dia tersenyum lebar. Yep, memang ini hari ulang tahunnya, dan setiap tahun, mulai kira-kira 3 tahun lalu, Indy selalu menjadi orang pertama yang memberinya selamat. Namun cara yang Indy pakai unik. Dia menge-post-kan ucapannya di blog pribadinya.
Segera, Jeremy duduk di meja belajarnya dan menyentuh mouse laptopnya. Laptop yang semalam tidak dimatikan itu langsung menyala monitornya, dan dengan cepat Jeremy membuka Google Chrome versi terbaru di laptopnya itu, dan mengetikkan alamat blog Indy.
Beberapa detik kemudian, posting terbaru Indy muncul di layar laptop Jeremy.
“HP16BD!
Dear Jeremy,
Selamat ulang tahun, yaa..
Wuuiizz, udah 16 tahun nih! Udah tambah tuaa :P
16 tahun, sebentar lagi disebut dewasa.
Rasanya dewasa itu menyenangkan dan nggak menyenangkan.
So, sebelum ‘dewasa’ benar-benar datang, nikmati sisa 1 tahun ini, yaa..
16 tahun, memang bukan lagi waktunya main-main dengan hidup.
Semoga kamu sudah menemukan, tujuan hidup kamu..
Oke, paling nggak ke mana kamu akan kuliah 2 tahun lagi.
Selamat ulang tahun yang ke-16, teman..
Semoga di ulang tahun ini kamu semakin bijaksana :):)
Your besties,
-Ndy-“
Jeremy tersenyum lebar. Indy selalu memberikan nasehat-nasehat yang baik di hari ulang tahunnya. Well, nggak cuma waktu ulang tahun sih. Waktu Jeremy ada masalah, Indy juga selalu mendengarkan curhat Jeremy.
Jeremy menggerak-gerakkan kursornya lalu menekan beberapa link di blog Indy. Ulang tahunnya yang ke-13, kali pertama ada seseorang yang mengucapak selamat ulang tahun untuknya di blog.
“SELAMAT ULANG TAHUN!
Readers, hari ini ada sahabat Indy dari Indonesia (Semarang) yang berulang tahun, namanya Jeremy. Dan ini ‘surat’ selamat ulang tahun untuk Jeremy.
Dear Jeremy,
Happy birthday!
Ulang tahun yang ke-13..
Udah setahun di SMP, sekarang tahun ke-2..
Wahhh tahun depan UN nih.. haha! Tapi harus naik kelas dulu, loohh..
Jeremy,
Banyak orang yang bilang, angka ‘13’ itu pembawa sial.
But don’t listen to them.
Kenapa? Karena aku sendiri nggak yakins ama yang namanya ‘ke-sial-an’ hehe..
Yang aku tahu,
This year is going to be tough,
But u’ll make it through..
It’s going to be tough,
But you’ll have a blast..
Have a super-birthday, Jeremy,
-Ndy-
Jeremy ingat waktu pertama kali dia baca post itu, dia langsung telepon Indy. Walaupun dia tahu di sana masih tengah malam.
-----*=^^=*-----
Mata Indy rasanya berat banget. Hari sudah sangat larut. Tapi di tahu kalau di Indonesia, sudah hampir siang. Indy memang sudah tidak tinggal di Indonesia, tapi blognya masih berbahasa Indonesia. Dia menatap tempat pensil semi-kulit putih yang ada di depan laptopnya. Hadiah dari Jeremy beberapa tahun lalu, yang masih dipakainya sampai sekarang, dan kertas-kertas yang berserakan di depan mejanya itu. Tidak apa-apa dia membuat kamarnya sedikit berantakan. Khusus untuk hari ulang tahun sahabatnya sajalah dia mau membiarkan kamarnya berantakan, dan tidur sedikit lebih terlambat dari biasanya. “Happy birthday, Jeremy,” katanya sekali lagi dalam hati, sambil berjalan untuk mematikan lampu kamarnya, lalu berjalan ke ranjangnya, dan tertidur di samping lampu tidur yang menyala redup.

Saturday, September 17, 2011

Memory..

Inget cerita Kakak dan Bintang?
tahu buku berjudul Message in a Bottle?
ini gabungan keduanya, my version :)
enjoy -*^^*-

------------------------------------------------------------------------------------------------
Vanessa duduk di sebuah batu besar, menerawang jauh ke laut lepas, mengingat kejadian 2 tahun yang lalu…
---
“Nicho, jangan doonk!” Nessa setengah memelas, berteriak mencegah Nicho mendorongnya ke laut.
“Loh, emang kenapa? Kan kamu bisa berenang..” Jawab Nicho dengan santai.
“iya, tapi nggak mau!” Vanessa tetep bersikeras.
“Kenapa sih? Takut ombak ya?” Nicho menebak, dijawab dengan anggukan malu-malu dari Nessa.
Nicho tertawa singkat, lalu memegang siku kanan Vanessa dengan erat, “Udah nggak usah takut! Nih aku pegangin.” Nicho mendapat pandangan ‘masih-nggak-yakin’ dari Nessa, tapi lalu dia berkata, “Nggak papa kok, kamu bisa!” dengan gayanya sok menyemangati seseorang yang mau ikut lomba apaan gitu.
Akhirnya Vanessa mencoba, dengan maksud yang nakal terbesit diotaknya, dia mau menciprati Nicho sampe basah! Hihihi… Dia mulai memberanikan diri berjalan di tengah ombak-ombak kecil, dan mulai lebih jauh lagi dari pantai. Dalam waktu 30 menit, baju yang mereka pakai sudah basah karena cipratan satu dengan lainnya. Nicho nggak bisa menahan senyum untuk mengembang di bibirnya.
---
Nggak terasa, setetes air mata turun ke pipinya. Nafasnya mulai tersendat-sendat, kenangan mulai mengambil alih otak dan hatinya. Tapi dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menangis.
Dia kembali membiarkan matanya menjelajah pantai itu, pantai yang dikunjunginya 2 tahun lalu, pantai tempat Nicho membawanya pada sebuah pegalaman baru, tempat yang penuh kenangan akan Nicho.
---
“Kamu kok bisa tau tempat ini sih? Kan lumayan sepi nih…” Nessa tanya ke Nicho.
“Iya, dulu papa mama aku pernah ke sini awaktu mereka pacaran.” Nicho membalas, dan bikin pipi Nessa langsung merah.
Mereka duduk di pasir, bersandar pada mobil yang mereka naiki untuk ke pantai ini.
“Nes, tau nggak, ada seseorang yang pengen banget aku ajak ke sini.” Nicho tiba-tiba bicara memecah keheningan pantai.
“Oh ya? Siapa?” Nessa membalas singkat, yang dijawab lebih singkat lagi. “Kamu.”
Reflek, Nesa menoleh ke Nicho yang duduk di sebelahnya. Pipinya langsung memerah lagi.
“Iya, kamu, soalnya aku mau nunjukkin sesuatu ke kamu.” Nicho meyakinkan Nessa dia nggak salah denger.
“Nunjukin apa sih?” Nessa penasaran, tapi nggak bisa berhenti tersenyum.
“Ada deh. Tapi nanti, bukan sekarang. Sekarang kita jalan-jalan dulu ajaa, ya?” Lalu Nicho berdiri membersihkan pakaiannya dari pasir dan mengulurkan tangan pada Vanessa untuk membantunya berdiri.
Mereka menghabiskan siang itu berjalan dari ujung pantai yang satu ke ujung yang lainnya, dan kembali ke mobil untuk makan bekal yang mereka bawa. Menjelang sore, mereka duduk-duduk di tempat yang tadi. Cenderung dekat ke air laut, namun tidak bahaya.
Nggak lama, atmosfer langit mulai berubah. Semburat biru langit tergantikan oleh suasana kuning-oranye dari matahari terbenam. Nessa terpaku melihatnya, dan terus tersenyum.
“Nicho! Makasih banget!”
Nicho menghembuskan nafas dengan senang, senang dia bisa melihat pemandangan indah ini, dan ‘pemandangan’ Nessa yang tersenyum bahagia.
---
Sekarang ini Vanessa menikmati pemandangan yang sama, yang seakan menariknya ke 2 tahun yang lalu. Menarik Nicho ke sisinya.
“Nicho,
Makasih udah jadi bintang buat aku.
Love, Nessa.”
Nessa memasukkan surat pendek itu ke dalam sebuah botol kaca dan menutupnya.
Sambil berjalan ke tepi laut dan membasahi kakinya, dia menggenggam erat botol yang mulai memantulkan cahaya beberapa bintang. Sampai di satu titik, dia melepaskan botol itu, membiarkannya berlayar, dan mengemas kembali dengan rapi segala kenangannya dengan Nicho di tempat itu.

Wednesday, September 14, 2011

Heyy!

Hey!
So this post is not a new story post :(

just wanna say that i've been very busy with school and all that so i can't upload new stories soon :(

but i will,
because i have a lot to tell you!


umm,.
i'm going to tell you a bit of my next project..
it's a half fiction story..
the people was real, the condition was real, except maybe some of the events aren't real..
:D
i'm super excited about it.. so yea wait for 'em! :D

Saturday, July 23, 2011

Pemuda di Ujung~

oke agak sedikit aneh..

terinspirasi dari perjalanan ke retreat..
bercerita tentang seorang pemuda yang duduk di ujung bis.. :)

enjoy n COMMENT! :P

------------------------------------------------------------------------------

Pemuda tampan…

Mengapakah wajahmu dipenuhi kesedihan?

Tatapan wajahmu menunjukkan kegundahan hati?

Dan gurat di wajahmu menunjukkan kesusahan?

Pemuda berbaju hitam, tahukah dirimu?

Saat kau pejamkan matamu, dan istirahatkan tubuhmu,

Dunia seolah berubah menjadi tempat yang paling damai,

Tak ada duka dan pedih..

Pemuda tampan,

Pejamkanlah matamu sebentar lagi,

Sebentar lagi, sampai kau benar-benar merasa sungguh damai..

Karena sesungguhnya senyumanmu sungguh menghanyutkan..

Friday, July 15, 2011

Pangeran Mimpi jilid 4

okee jadi ini pangeran mimpi lain. Ha! banyak banget deh pangeran mimpi-pangeran mimpi yang datang mengunjungi mimpi para teman-teman saiia tercinta, yang omong-omong beberapa udah terpisah :((

ini cuma terinspirasi depannya sih, hehe... lanjutannya mengarang :P

semoga suka :)



-------------------------------------------------------------------------------------------------
Seusai ibadah, seorang cowok mendekati Helen. “Len, tar ikut gue jalan-jalan yuk.” Ajak Leo. “Mmm, emang mo ke mana, Yo?” Tanya Helen balik. “Ada aja. Ntar jam 3 gue jemput di rumah lo.” Leo membalas penuh teka-teki. Dia lalu melambaikan tangan, dan berlari keluar, ninggalin Helen yang bingung sendirian.
Sore itu..
Untung aja mama Helen mengijikan Helen buat pergi bareng Leo. Keluarga mereka saling kenal, jadi mama Helen santai saja kalo Helen pergi bersama Leo.

Jam putih di tangan Helen menunjukkan pukul 14.55, tinggal 5 menit sebelum Leo dateng, pikirnya. Dia memilih untuk melanjutkan membaca komik yang dari tadi dia baca. Tapi belum sempat baca banyak, ada suara klakson mobil di depan rumah. “Helen! Itu Leo udah datang!” mama memanggilnya. Helen , yang sebenernya agak males buat pergi ke mana-mana hari ini, memasukkan komik k etas yang sudah tergantung di pundaknya, dan beranjak ke pintu di mana mama menunggunya. “Ma, Helen pergi dulu ya.” Helen mencium pipi mamanya, dan menuju ke mobil. Leo pun keluar dari mobil. “Udah siap nih?” Tanya Leo ke Helen. “Mmm, udah.” Jawabnya singkat. Helen lalu nengok ke mobil, dan agak kaget. “Loh, keluarga lo ikut juga?” “Iya, nggak papa kan?” Leo ngejawab dengan santai. Helen langsung mati gaya. “Mmm, kalo acara keluarga gue nggak usah diajak kali. Kan nggak enak gue ikut-ikutan gini.” “Udah, nggak papa kok! Orang mama yang nyuruh gue ngajak elo.” Helen nggak punya pilihan. “Emang kita mo ke mana, Yo?”
Tepat saat itu, kaca mobil terbuka. Mama Leo mengajak mereka cepat-cepat masuk. Leo langsung berjalan dan membukakan pintu, tanpa menjawab pertanyaannya. Coba kalo nggak ada keluarganya, Helen pasti udah mukul Leo karena nggak jawab pertanyaannya. Tapi dia tetep masuk, dan duduk di sebelah adik perempuan Leo yang masih berumur 4 tahun, namanya Flo. Dan Leo duduk di sisi mobil satunya.

“Halo, Helen. Gimana kabar kamu sama Mama kamu?” mama Leo memulai pembicaraan. “Baik kok, tante.” Helen menjawab sopan. Lalu dia memberanikan diri untuk tanya. “Mm, tante, ini kita mau ke mana ya?”
“Loh, Leo belum kasi tau yah? Kita mau ke Bandung, nyobain restoran punya temennya om. Tapi sebelumnya muter-muter dulu soalnya reservation dapetnya agak malem. Nggak papa kan?” Mama Leo yang ramah menjelaskan. Helen cuma mengangguk.
Sepanjang sekitar 2,5 jam perjalanan, Helen mengamati Flo yang asik main HPnya Leo. Sambil sesekali menjawab pertanyaan yang diajukan Leo, mama atau papa Leo, dan Flo sendiri. Dia juga melihat-lihat mobil-mobil lain yang agak beradu kecepatan di jalan tol ini.

Sebelum bener-bener sampai di Bandung, papa Leo mendapat sms dari si pemilik restoran. Meminta mereka datang lebih awal untuk ngobrol dulu. Akhirnya acara jalan-jalan dibatalkan dan mereka langsung mengarah ke restoran. Sampai di sana, Om Theo, pemilik restoran yang mewah banget ini sudah menunggu bersama istri dan dua putranya. Yang pertama seumuran dengan Leo dan dia. Sedangkan yang kecil lebih muda setahun dari Flo.
Setelah saling menyapa, papa mama Leo langsung di ajak masuk ke ruangan kantor Om Theo. Flo juga diajak masuk untuk main bareng anak bungsu Om Theo. Tapi anak sulung Om Theo, Mozes, mengajak Leo ikut dia ke rumahnya, yang berjarak beberapa rumah dari restoran. Tentu saja Helen juga di ajak oleh Leo.
Di rumahnya, Mozes ternyata naik ke lantai 2, masuk ke kamarnya terus mandi. Sedangkan Leo dan Helen (ternyata) diminta nemenin. Mereka lalu nunggu di bawah. Tapi Leo punya ide yang lebih bagus. Dia tiba-tiba menarik tangan Helen, dari ruang duduk mereka masuk, menuju ke tangga dan naik sekitar 3 tangga. Tangga yang terakhir membawa mereka ke ruangan olah raga besar. Leo, tetep memegang tangan Helen, berjalan ke sebuah pintu yang membuka ke arah balkon.

Begitu pintu dibuka, Helen langsung melihat pemandangan yang indah banget. Halaman belakang rumah ini adalah kebun yang luas banget, ada air mancur kecil, dan ada kolam ikan yang agak besar di sudut. Helen mengadah ke langit, dan rasanya damai banget. Banyak bintang yang terlihat kelap-kelip malam ini. Dan sekarang dia di sini, bersama Leo, yang omong-omong dari tadi ngeliatin Helen terus. Helen nggak bisa ngomong apa-apa dan terus terpaku ngeliatin Leo sambil tersenyum. Tanpa harus bicara-pun, keduanya tahu isi hati masing-masing. Leo pengen buat Helen seneng, dan sekarang Helen udah ngerasa seneng banget. Dia harap selamanya dia bisa ngerasaain perasaan yang dia alamin sekarang ini, saat dia ngeliat ke mata Leo yang juga lagi ngeliat dia.

-*^^*-
Mimpi apa ini? Gue sama Leo? Yang bener aja. Gue nggak deket sama dia. Bahkan sekarang ini kan gue lagi deketnya sama Bobby. Bisa banget ya gue mimpi kayak gini.

Gita..

umm lupa dapet ide ini dari mana.,..
an extremely short story..
agak rough di ending...

tapi semoga suka ^^

-------------------------------------------------------------------------------------------------
“Gita, aku mau ngomong sesuatu ke kamu. Penting. Bisa ketemu sekarang?” SMS dari Nathan rasanya agak beda dari biasanya. Gita, yang lagi nungguin adiknya main, ngerasa nggak ada masalah kalo mereka ketemu di deket-deket rumah Gita aja.
“Nggak papa nih, ninggalin adik kamu?” tanya Nathan waktu dia sampe di rumah Gita. Biasanya, mereka nunggu sampe adik Gita tidur, baru mereka ketemuan. Walaupun ada baby sitter, tapi Gita tetep suka ngejaga adiknya sendiri, dan baby sitter untuk menemani adiknya waktu dia sekolah. “Kalo cuma sebentar sih nggak papa.” Gita ngejawab sambil tersenyum. Tapi Nathan hanya membalas dengan senyuman singkat. Ini bukan Nathan yang biasa. Gita pikir ini ada hubungannya dengan apa yang bakal diomongin sama Nathan. Dan emang bener.
Mereka milih untuk jalan ke taman kompleks perumahan Gita aja. Di sana cukup sepi dan nggak terlalu jauh dari rumah Gita. “Kamu sebenernya mau ngomongin apa sih? Kok kamu kayaknya diem banget hari ini?” Gita bertanya setelah mereka duduk dalam diam selama beberapa menit. Nathan masih diam beberapa saat, menghindari kontak mata dengan Gita. Dia pasti ngerasa galau banget. Dia meraih tangan Gita dan memeganginya erat, sebenernya agak terlalu erat buat Gita, tapi dia nggak bilang apa-apa, dia cuma diam saja. Lalu Nathan berkata dengan suara yang ragu-ragu, “Kalo aku harus ngelanjutin kuliah di Amerika, gimana, Git?” mendengar itu Gita cukup kaget, gantian dia yang diam, memikirkan segala kemungkinan yang ada. Tapi lalu dia menggelengkan kepala, tanda nggak percaya. “kamu nggak harus pergi, kan?” Nathan nggak bisa menjawab.
Kenyataannya, ayah Nathan setengah memaksa dia untuk kuliah di sana. Tentu saja dia berusaha menolak. Dia nggak mau pergi terlalu jauh dari temen-temennya di Indonesia, terutama dari Gita. Mereka udah kenal sejak SMP dan pacaran dari kelas 1 SMA. Tentu saja ayah Nathan menganggap Nathan dan Gita cuma ‘main-main’. Cuma pacaran ala anak SMA yang nggak akan berlangsung lama. Tapi kenyataan bilang sebaliknya. Kedengerannya gila, tapi itu yang mereka rasain. Bukan cuma gengsi karena nggak punya pacar, tapi mereka pacaran memang karena mereka sayang.
Gita tahu kalau ayah Nathan bukan orang yang gampang berubah pikiran. Dan dia tau itu artinya Nathan harus pergi. Memikirkan hal ini, lama-lama air mata nggak bisa dia tahan. Tentu saja dia sedih. Kuliah di Amerika? Artinya mereka pasti susah untuk berkomunikasi nantinya. Lalu mereka harus gimana? Air mata Gita berubah jadi tangisan pelan. Nathan nggak bisa ngomong apa-apa juga. Dia juga sedih dan nggak tahu harus gimana. Dia nggak mau jauh dari Gita dan nggak tega ninggalin Gita sendirian. Akhirnya dia cuma memeluk Gita yang menangis sedih.
Gita bener-bener berusaha melampiaskan semua kesedihannya waktu dia nangis. Papa-mama udah, kenapa sekarang giliran Nathan? Lama-lama kepalanya terasa agak pusing. Pasti karena dia kebanyakan nangis. Dia jadi agak malu sendiri. “Sori,” dia berusaha menampilkan senyum, tapi rasanya berat banget, bahkan tersenyum untuk Nathan terasa susah. Nathan membelai kepala Gita, “nggak papa kok.”
Mereka memutuskan untuk pulang ke rumah Gita. Tapi sebelum nyampe di rumah, tiba-tiba Nathan merasa tangan yang tadi menggenggam tangannya erat-erat tiba-tiba lemah. Dan saat dia bener-bener memperhatikan Gita, wajah Gita ternyata pucat. Untung saja dia cukup sigap, karena pada saat itu, Gita tiba-tiba jatuh.
Nathan yang ngeliat Gita tiba-tiba pingsan, langsung panik. Dia menggendong Gita ke mobilnya, lalu segera membawa Gita ke rumah sakit. Sambil menunggu dokter yang sigap mengurus Gita, dia merenung. Mungkin harusnya dia nggak member tahu Gita tentang kuliahnya hari ini. Gita pasti masih terpukul banget, karena belum lama, orang tua Gita memutuskan untuk pisah. Dan keduanya sibuk kerja ke luar kota. Tinggal dia dan adiknya yang masih bayi. Hal ini jelas bikin Gita sedih. Apalagi waktu dia kasi tau Gita dia bakal pindah. Pasti Gita langsung down banget, bahkan sampe pingsan. Tapi untunglah, kata dokter fisik dia nggak papa. Mungkin dia cuma butuh istirahat, dan seseorang di samping dia. Setelah denger omongan dokter, Nathan langsung menekan tombol-tombol HPnya. “Mama?”
Gita merasa kepalanya tiba-tiba sakit. Dia berusaha membuka mata, dan yang dilihat pertama kali adalah langit-langit kamar yang nggak familiar. Lalu dia sadar, dia ada di rumah sakit.
Begitu sadar, Gita langsung mencari Nathan, yang udah nungguin dia dari tadi. Nathan yang ngeliat GIta sadar langsung bangun dari sofa dan duduk di kursi di sebelah ranjang Gita. “Maaf ya,” Nathan menunduk minta maaf dengan muka yang tampak sedih banget. Gita bingung kenapa Nathan minta maaf. Dia nggak ngerasa Nathan berbuat salah. Malahan dia percaya kalo Nathan yang bawa dia ke rumah sakit ini, karena nggak ada orang lain di situ. Gita memegang tangan Nathan, yang membuat Nathan kembali melihat Gita yang tersenyum lembut. “Aku harusnya yang minta maaf. Aku udah ngerepotin kamu.”
“Jadi, dokter bilang apa?” GIta melanjutkan dengan nada yang lebih ceria. Hati Nathan jadi tambah gak karuan. Perasaan bersalah tambah menghantui dia. “Mmmm, mungkin karena kamu kecapekan, banyak pikiran. Mmm, mungkin karena papa-mama kamu lagi ada masalah, terus aku malah bilang kalo aku bakal ninggalin kamu gini. Maafin aku ya.” Nathan menjawab dengan suara yang pelan, tapi tetep terdengar. Dia lalu melihat kembali wajah cewek yang sangat dia sayang itu, ada sesirat kesedihan, tapi dia tetep tersenyum. Nathan juga mencoba tersenyum. “Aku udah kasih tau ke mbak Sum tentang kamu. Jadi sekarang dia bakal jagain adek kamu sampe besok kamu pulang.”. Mbak sum adalah baby sitter adiknya Gita. “Makasih ya,” GIta tersenyum tulus dan lega. Lega Nathan udah menghubungi rumahnya.
Tiba-tiba ada suara ketukan di pintu.. tenyata mama Nathan datang. GIta agak bingung. “Tadi aku juga telepon mama untuk bantu aku urus administrasi di sini.” Nathan menjelaskan. “Mendengar kata administrasi, raut muka Gita berubah lagi.” “Gita, cepat sembuh ya, jangan kebanyakan mikir yang macem-macem. Ini tante sama Nathan pulang dulu ya. Nanti malem tante balik ke sini lagi untuk nemenin kamu. Oh ya, soal biaya opname ini tante yang bayarin ya. Nggak usah dipikirin.” Mama Nathan yang ramah menasehati GIta, lalu mengangguk ke Nathan mengajjaknya pulang untuk istirahat. Ya, mama Nathan juga udah kaya mama Gita sendiri. “Makasih ya, tante. Tapi apa nggak ngerepotin tante? Saya nggak papa kok.” Gita berusaha menolak bantuan. Tapi mama Nathan menggeleng dan bersikeras menemani dan membayari Gita biaya opname ini. Gita nggak bisa menolak. Mama Nathan lalu keluar duluan dari kamar Gita, member kesempatan buat Nathan pamitan sama Gita.
“Tadi aku udah minta mama untuk bilang ayah, untuk mempertimbangkan kuliahku di Amerika. Jadi jangan dipikirin lagi ya…” Nathan menghibur Gita sambil berjalan ke sisi lain ranjang Gita, mencium dahi Gita. “Selamat istirahat ya, sayang…” Nathan lalu keluar.
Dalam sekejap hati Gita merasa damai, akhirnya untuk pertama kali dalam sebulan dia bisa langsung tertidur, tanpa mikirin tentang kesedihan atau kekecewaannya.

Sunday, March 27, 2011

Masquerade Ball..

Lagi terobsesi sama yang namanya masquerade ball,
Then I thought of this very simple thought :)

Wanita bertopeng

Gaun putih tanpa lengan menjuntai hingga lututnya..
Modelnya sederhana, tidak berlebihan, namun tidak kurang..
Aku punya firasat, ini menggambarkan kepribadiannya.
Gaun itu serasi dengan sepatu pesta biru yang melindungi langkah kakinya..
Rambut hitam panjangnya bak ombak di laut, bergelombang dengan indah, terurai di punggungnya..

Tapi yang membuat aku terpesona, bukan semuanya itu..
Tapi senyum polosnya yang penuh arti..
Tidak dibuat-buat, tulus menunjukkan kegembirannya..
Dan binar matanya, menunjukkan kerendahan hati dan keanggunan..

Entah bagaimana aku bisa tahu semuanya ini,
Padahal wajahnya tertutup dalam topeng sayap kupu-kupu biru yang menunjukkan dunia yang begitu keras dan tajam..
Topeng yang menunjukkan tipuan dalam ukiran-ukiran di permukaannya..

Andai aku bisa membuka topeng gadis istimewa yang berdansa denganku sekarang ini, dan tahu siapa dia sebenarnya...
Sayang aku tidak bisa melakukan hal itu,
Karena aku ada dalam pesta topeng..

Thursday, March 24, 2011

Kakak dan Bintang

okeh,
cerita iseng yang super singkat..
semoga suka yah..

cerita tentang Kakak-Adik ^^


Kakak dan Bintang
Mama masuk ke kamar yang didominasi warna ungu itu. Melihat putri bungsunya bisa terbaring lemah, Mama pasrah. Mama sudah membujuk Nessa untuk makan, tapi bujukan itu tidak didengarnya. “Mbok, jagain Nessa dulu ya.” Kata Mama pada simbok yang sudah mengabdi pada keluarga Thomas belasan tahun. Simbok mengiyakan.
2 hari sejak kematian Nicho, Vanessa Thomas cuma bisa terbaring di tempat tidur. Dia sangat shock mendengar kabar kepergian sahabatnya itu. Sahabat yang sudah dikenalnya sejak kecil. Bukan hanya sekedar sahabat, hamper seluruh teman-teman sekampusnya tahu, kalau mereka berdua menyimpan rasa satu dengan yang lain. Tapi bukan itu yang membuat gadis mahasiswi itu sedih, melainkan sahabatnyua yang sudah berjanji untuk selalu ada di sampingnya, pergi untuk selamanya, meninggalkannya sendiri dengan semua kenangan yang ada.
Malam minggu kemarin,Nicho mengantar Nessa pulang. Mereka baru saja bersenang-senang, bercanda, dan menghabiskan malam dengan asyik. “Makasi ya, Cho. Sekarang kamu langsung pulang aja, udah malem banget nih.” “Ok deh, kamu juga langsung tidur yah, Nes. See you!” seru Nicho dari balik jendela mobil. Ternyata itulah kali pertama dan terakhir mereka malem-mingguan bareng.
Beberapa ratus meter dari rumah Nessa, ada sebuah truk yang dikendarai supir yang mabuk berat. Alhasil, mobil Nicho pun ditabraknya. Namun karena mabuk, supir itu tak sadar dan terus saja menjalankan truknya. Tubuh Nicho terhimpit dan iapun pingsan. Dalam perjalanan ke rumah sakit, nyawanya tak tertolong, dan Nicho menghembuskan nafas yang terakhir.
Di hari pemakaman Nicho, Nessa nggak tampak di mana-mana. Ia masih terlalu sedih untuk datang, bertemu keluarga Nicho dan yang paling utama, makamnya. Ia terlalu shock, terlalu pedih mengingat malam itu mereka baru saja bersenang-senang.
Seminggu kemudian,
Nessa sudah lebih baik. Nessa sudah mau makan, sudah kuliah lagi, bahkan mengikuti ujian semester. Nilai-nilainya tertinggi dari teman-temannya. Tapi Nessa tak lagi ceria dan tersenyum. Pandangan Nessa yang kosong, suka melamun, dan selalu mengurung diri di kamar membuat Mama dan Papa semakin bingung. Apa yang harus mereka lakukan? Ah, ya! Mereka lupa ada 1 cara yang bisa ditempuh dan mengembalikan senyum tulus dan ceria Nessa.
Ferdino Thomas memeluk Mama dan Papa. “Maafkan Papa dan Mama harus mengganggu kuliahmu di Jakarta, Dino. Tapi ini penting. Mama dan Papa takut Nessa akan—“ kata-kata Papa terputus. “Ma, Pa, Dino tahu. Dino akan berusaha biar Nessa bisa seperti dulu lagi. Mama dan Papa tenang aja. “ “Nessa mana, Ma?” Tanya Dino pada Mama. “Lagi kuliah. Lebih baik kamu istirahat dulu, dan makan dulu. Itu simbok sudah masak makanan kesukaan kamu.” Dino menurut.
Nessa pulang. Seperti biasa wajahnya datar tanpa ekspresi. “Hai Nes,” sapa Dino sambil tersenyum dengan gaya cool nya yang membuat dia disukai mahasiswi se-universitas tempat dia kuliah. “Kakak!” Seru Nessa sambil tersenyum kecil. Mama dan Papa mengintip dari kamarnya, terhibur bahwa putri mereka setidaknya sudah tersenyum. “Kak Dino kapan ke sini?” Tanya Nessa sambil memeluk erat kakaknya yang satu-satunya itu. “Tadi pagi. Oh ya, udah sore nih. Sekarang kamu mandi dulu, trus kita makan bareng. Oke?” Nessa mengangguk cepat, melepaskan pelukan dan berjalan ke kamarnya.
Malam hari, suasana di rumah keluarga Thomas sepi, nggak terdengar suara berisik apapun. Papa dan Mama sudah tertidur. Hal itu nggak mengurungkan niat Ferdino untuk mengecek kamar adiknya.
Ternyata dugaan Dino benar, walaupun sudah sepi, Vanessa belum juga tertidur. Bahkan Nessa sedang menangis pelan!
“Nessa kenapa?” Tanya Dino pelan sambil menghapus air mata di pipi Nessa. Vanessa yang baru menyadari keberadaan kakaknya langsung terduduk. “Mmm, nggak kok, Kak. Kak dino kok belum tidur?” “Nes, kakak mo tanya, kamu.. Mmm.. keinget Nicho terus?” Mendengar nama Nicho, Nessa langsung menangis lebih keras. Ferdino langsung memeluk Vanessa. Yep, Vanessa masih shock berat.
“Nes, kamu boleh nangis semaleman di pelukan kakak. Bilang aja apapun yang mau kamu bilang. Kakak bakal dengerin.”
“Kak, Nicho nggak pergi kan? Nicho masih ada kan, kak? Kak Dino, Nessa sayang sama Nicho, kenapa dia harus pergi? Kak Dino tau nggak, sore itu, Nicho janji sama Vanessa. Nicho janji kalau dia nggak akan ninggalin Nessa. Kak, rasanya dada Nessa sakit, kosong, hati Nessa hilang.” Cuma itu yang bisa Nessa ucapkan, sambil terus menangis sesegukan dan memegang dada, merasakan sebuah kekosongan yang luar biasa.
“Vanessa, kakak pernah denger cerita. Nessa dengerin yah!” Nessapun mengangguk.
“Konon waktu kita lahir, kita mengambil 1 bintang di langit, untuk menemani kita selama hidup. Tapi bintang itu nggak bisa selamanya di bumi. Nanti pada saatnya bintang itu akan kembali ke langit. Nah pada saat itu kita meninggalkan dunia ini. Sekarang tugas kita adalah membiarkan bintang kita menyala dan orang-orang bisa lihat. Kalo menurut Nessa, bintang Nicho udah bersinar terang belum di dunia ini?” Nessa berpikir sebentar, lalu mengangguk pelan. “Berarti tugas Nicho di dunia mungkin sudah selesai, dan bintang Nicho harus segera pergi. Semua ada saatnya, Nes.” Lanjut Ferdino sambil terus mengusap kepala adiknya. Vanessa jadi lebih tenang. Tapi dia terus menangis. Sampai akhirnya, Vanessa kelelahan dan tertidur dalam pelukan Dino. Dino lalu meletakkan kepala Nessa di bantalnya, dan beranjak dari ranjang Nessa.
Tapi Dino takut kalau-kalau Nessa terbangun tengah malam nanti. Akhirnya ia tidur di sofa di kamar Nessa malam itu. Sekali lagi, dugaan Dino benar. Walaupun cukup lama nggak ketemu karena kuliah di kota yang berbeda, di sangat mengenal sifat adiknya itu. Nessa terbangun dengan terengah-engah, sepertinya ia habis mimpi buruk. Nessa hampir menangis lagi, teringat Nicho yang mampir di mimpinya, tapi ia menoleh ke sofa dan melihat kakaknya. Nessa jadi tenang dan sadar, dia nggak perlu menangisi Nicho lagi. Tugasnya udah selesai di dunia. Nicho pasti lebih baik di alam sana. Vanessa pun segera terlelap lagi.
Besok paginya, Nessa bangun lebih pagi daripada Dino. Tapi tetap saja, hari sudah siang. “Kakak! Bangun dong! Udah siang nih.” Seru Nessa sambil mengguncang tubuh Dino. “Iya, iya. Nih kakak bangun.” Gerutu Dino yang masih ngantuk.
“Kak, nanti kakak temenin Nessa yah! Nessa mau pergi tapi nggak mau sendirian.”
Dino bergumam mengiyakan.
Ternyata, Vanessa mengajak Ferdino ke makam Nicho. Sekarang dia sudah siap melihatnya. Dino lega dan senang melihat hal ini. Mendengar dari Mama dan Papa kalau Vanessa shock dan nggak ceria membuatnya seperti ditusuk-tusuk dan sedih.
Dino sengaja nggak menemani Nessa sampai ke makam Nicho, dia hanya mengantar dan menunggu di mobil. Dino rasa adiknya butuh waktu sendiri, kalau tidak berdua dengan Nicho.
Setelah beberapa saat, Vanessa kembali ke mobil dengan mata agak sembab namun tersenyum. “Makasih ya Kak, kakak udah nemenin Nessa. Makasih kakak udah menyadarkan Nessa..”
“Nes, nggak apa-apa. Yang penting sekarang kamu udah ceria lagi. Jangan kaya kemaren, bikin Papa dan Mama bingung. Kak Dino sayang banget sama Nessa.” Kata Dino sambil menggengggam tangan Nessa yang agak basah karena mengusap air mata. “Iya kak, Nessa janji! Nessa juga sayang banget sama kak Dino.”
Beberapa hari kemudian Dino kembali lagi ke Jakarta. Sedang Nessa yang Ceria kembali ke aktivitas normalnya.
Yang berubah saat itu adalah, kalau ada temannya yang kehilangan kerabat, Nessa akan selalu menceritakan cerita bintang dari Dino. Padahal sebenarnya cerita itu nggak pernah ada. Cerita itu Cuma dibuat-buat oleh Dino, untuk bilang ke Nessa kalau semua ada waktunya, di dunia nggak ada yang abadi.

Thursday, March 3, 2011

Pangeran Mimpi jilid 3

Dan ada satu lagi...
^^


Pangeran Mimpi jilid 3
Udara yang dingin, ditambah hujan rintik-rintik membuat Monika memilih untuk menikmati malamnya di luar kamar Villa, ditemani secangkir teh manis panas, meninggalkan sebentar teman-temannya yang asik bersenda gurau.
Rumah orangtua Monika sebenarnya berada di Semarang,
Namun hari ini sampai beberapa hari kedepan, teman-teman SMP dan SMAnya Monika akan menginap di Bandungan, sekedar untuk melepas kangen saja, mumpung kebanyakan mereka sedang libur.
Belum semua kawan datang, masih ada yang akan menyusul besok, dan malam ini.
Hmmm..
Teman-teman Monika memang tidak terlupakan.
Mereka sangat kompak!
Selama beberapa tahun bersama, tentulah persahabatan mereka terjalin kuat.
Buktinya, sampai sekarang, ketika semuanya sudah hampir lulus kuliah, mereka masih sangat dekat.
Walaupun memang tidak semua temannya ini melanjutkan kuliah di Indonesia, jadi mereka tidak bisa bertemu setiap saat.
Termasuk Monika sendiri.
Monika memilih melanjutkan studi di Australia, mengambil jurusan musik di suatu universitas terkemuka di sana.
Meninggalkan untuk sementara, kedua orangtua yang senantiasa memberikan dukungan padanya.
Sebenarnya tidaklah susah untuk meninggalkan kota Semarang.
Toh Monika dan orang tuanya masih bisa berkomunikasi dengan telepon, dan e-mail.
Namun yang susah adalah meninggalkan teman-temannya.
Oh, mungkin bukan ‘teman-teman’.
Tapi lebih tepatnya, salah satu teman.
“Hoi!” Regina, salah satu teman Monika memanggilnya.
“Ginaa!! Jangan ngaggetin orang sembarangan dong!” sahut Monika kesal.
“Idiih, diingetin malah marah, ntar kalo kesambet..” Regina membalas dengan genit.
Monika memutar bola mata sambil tertawa kecil. Ia memang tak pernah percaya hal semacam itu.
“Eh, lagi ngelamun apa nih? Hayyooo...” Regina lalu bertanya.
“Yee, siapa yang lagi ngelamun? Hahaha.. Nggak kok, enak aja di luar, dingin-dingin plus ujan.” Monika menjawabnya simple.
“Ooo. Kirain lagi inget si ‘dia’ tuhh. Hahaha!” Regina tertawa puas.
Sedang Monika, cuma bisa tersipu dan mengejar Regina yang masuk ke villa.
Tapi toh dia kembali lagi ke luar,
Duduk di tempatnya yang semula,
Dan kembali pada lamunannya yang tadi.
Ya, selalu terkenang dalam benak Monika, betapa temannya itu sangat gentleman.
Selalu peduli pada Monika, tapi dengan caranya yang tidak berlebihan.
Dia selalu ada buat Monika, dan selalu siap meminjamkan pundaknya buat Monika.
Dia memberi warna-warna baru buat hidup Monika.
Tapi dia juga memberi ruang bagi Monika untuk mewarnai hidupnya..
Dia meneruskan studi di Amerika, jurusan perfilman.
Komunikasi mereka jadi kurang, walaupun tetap ada.
Tentu saja karena biaya yang lebih mahal dan kesibukan masing-masing.
Terutama Monika,
Yang baru saja diwisuda atas kelulusannya.
Dan kelihatannya dia juga hampir lulus.
Entah apa dia akan datang ke acara ini...
Saat sedang enak-enak menegak teh panas, ada sepasang tangan memeluknya dari belakang, lalu melepaskannya lagi.
O-o!
Monika hampir saja tersedak.
Ckckck, ada-ada saja orang itu.
Mengageti orang lain saat sedang minum.
Untunglah, Monika berhasil menenangkan diri dengan cepat lalu meminum teh yang ada.
Monika lalu berbalik.
Dia siap memarahi orang yang merusak momen ini.
Tapi begitu ia lihat siapa yang akan jadi ‘korbannya’
Senyum lebar langsung menghiasi wajah manisnya.
“Jonathan!”
Monika senang tapi, masih tidak percaya pada penglihatannya.
Tapi dia pasti Jonathan!
Rambut karamel keturunan kakeknya, mata yang cokelat tua, tidak salah lagi.
Beberapa teman sudah menasihatinya agar memanggil namanya dengan ‘Jo’ saja, tapi dia lebih suka nama Jonathan.
“Mon, aku kangen banget sama kamu.” Kata-kata pertama yang Monika dengar lagi secara langsung setelah sekian lama.
Secara reflek, Jonathan memeluk Monika lagi.
Mm! Monika merasakan kehangatan dan wanginya tubuh Jonathan.
“Masih ingat nggak, sudah berapa lama sejak terakhir kita ketemu?” Jonathan bertanya.
“Mmm, 4 tahun, 5 bulan, 20 hari...” Monika menjawab seraya menghitungnya.
“Terus 2 jam, 17 menit, dan 39 detik.” Jonathan melanjutkan sambil melihat arloji biru di tangan kirinya.
“Bener kan?” dia mengkonfirmasi.
Monika membalas dengan anggukan.
Keduanya saling menatap dan tersenyum.
Lalu tanpa sadar, Jonathan kembali memeluk Monika.
“Aku kangen banget sama kamu.” Dia mengulang pernyataannya.
“Mau tahu nggak? Aku juga.” Monika membalas.
“MON! MONIKAA! MAININ GITAR LAGI DONG!” suara salah satu temannya yang sekeras petir mengagetkan mereka berdua, dan mereka melepaskan pelukan.
Monika tersenyum singkat, lalu mengajak Jonathan ke dalam.
Jonathan mengambil tas pakaiannya, lalu menyusul Monika yang sudah masuk.
“Wah, Jo! Kamu nggak berubah ya?”
“Wah, udah jadi sutradara nih.”
“Bawa oleh-oleh nggak?”
Begitu heboh reaksi teman-teman Monika, terutama yang cowok, saat melihat Jonathan masuk ke Villa, tentu saja setelah mengerumuni dan menghadiahi Jonathan dengan ‘Pukulan di punggung’ alias tanda selamat datang khas cowok.
“Ayo, mo nyanyi lagu apa nih?” tanya Monika setelah semuanya duduk manis seperti anak SD.
Tanpa dikomando, teman-temannya langsung sibuk memaparkan ide lagu untuk dinyanyikan.
Akhirnya Monika memilih 1 lagu.
Lagu Dealova, salah satu lagu kesukaannya.
Semuanya ikut bernyanyi, dan seakan tersihir mendengar permainan musik Monika.

Setelah agak larut malam, karena semua sudah capek dan besok mereka akan hiking, mereka memilih tidur.
“Good night, Monika.” Jonathan menghampiri Monika sebelum ke kamarnya.
“Good night, Jonathan.” Monika tersenyum.
Duh. Kok bisa sih aku mimpi kaya gini?
Jonathan?
Tapi dia udah nyakitin aku berkali-kali.
Kenapa aku masih mimpiin dia?
“Morning semuanya!” Monika menyapa semua teman-temannya di ruang makan yang sudah berkumpul dari tadi .
“Mmm, sori. Kesiangan yaa?” dia jadi malu sendiri karena kesiangan.
Semua kawan-kawannya memasang tampang kurang bersahabat.
Karena mereka ingin sekali lagi menunjukkan kekompakan, mereka menunggu semua teman hadir di meja makan, baru mulai makan pagi.
“Jo yang dari US aja gak telat, kok kamu yang cuma dari Aussie telat?” tanya Regina kesal, mewakili kekesalan seluruh teman-temannya.
Namun, tak lama, mereka tersenyum-senyum dan tertawa, melihat wajah bingung Monika.
Haha! Ya, dia berhasil dikerjain oleh teman-temannya.
Mereka lalu sarapan pagi bersama-sama, dan renungan pagi.
Setelah mengambil barang-barang yang diperlukan, mereka melanjutkan dengan hiking.
Para cowok mulai ngobrol seputar bola, dan teknologi, otomotif, dan sekolah,
Sementara para cewek asyik ngobrol mengenai Semarang Great Sale yang baru aja selesai.
Monika, memang tipe cewek yang agak pendiam dan suka menyendiri, tapi tetap saja gaul dan friendly. Dia memilih jalan sedikit dibelakang teman-temannya, menikmati pemandangan alam yang indah lebih lama lagi.
Tiba-tiba, sebuah tangan yang terbungkus sarung menyentuh tangannya yang agak dingin.
Lalu meraihnya,
Dan menggandengnya.
Monika sangat terkejut atas tindakan Jonathan ini.
Monika tidak terbiasa dengan hal ini, ia mencoba melepaskan tangannya, tapi Jonathan menggenggamnya erat.
Yang bisa dia lakukan hanya berdoa tidak ada teman-temannya yang memperhatikan hal ini.
Mereka berhenti di sebuah pos peristirahatan setelah beberapa saat.
Pos ini kecil. Makanya penuh saat rombongan Monika datang walaupun hanya 10 orang.
Alhasil, beberapa teman harus rela menikmati istirahat di luar bangunan.
Tapi bagi Monika, hal ini tidak masalah, justru ia akan sangat menikmatinya.
Tadinya ia pikir begitu.
Namun, tanpa disangka, cuaca di luar semakin dingin.
Ia hanya bisa berusaha menikmati dinginnya udara sambil meniup-niup tangannya,
Agak menyesal ia lupa membawa serta sarung tangan ungu kesayangannya
“Nih!” lagi-lagi sebuah tangan tampak, kali ini dengan menyodorkan gelas yang isinya masih mengepul.
Segera saja, Monika meraihnya, lalu meminumnya.
Monika memejamkan mata, hmm, rasa manis dan kehangatan teh manis yang diminumnya menjalar sampai ke kakinya.
“Trims.” Dia membalas Jo singkat, yang dibalas lagi dengan sebuah senyuman.
Tepat saat Monika selesai menegak segelas teh panas, perjalanan dilanjutkan.
“Kuliah kamu gimana? Udah selesai?” Monika bertanya pada Jonathan yang mengambil tempat di sampingnya.
“Udah, udah. Kalo kamu sendiri? Udah selesai juga ya?” Jo membalas.
“Iya.” Monika menjawan singkat.
“Mon, aku mau tanya sesuatu, tapi kamu jangan marah yah.”
Monika belum pernah melihat sahabatnya yang satu ini ragu.
Ada apa ya?
“Kamu udah punya cowok belum?”
Hah?
Seumur-umur mereka kenal, emang Jo belum pernah menyinggung tentang hal ini. Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?
“Hmm, kenapa emang?”
“Mau jadi cewekku nggak?”
Mimpi ini lagi!
Apa artinya?
Apa ini artinya dia orang yang tepat buat aku?
Kalo dia emang orang yang tepat, mungkin aku akan mimpiin dia lagi...
Tapi dia bener-bener aneh sama aku!
Nyakitin aku berkali-kali...
Sore itu, setelah pulang hiking, mereka berkumpul untuk main Dare or Truth.
Sekalian untuk nostalgia.
Ketika giliran Monika tiba...
“Mon! Pilih truth apa dare?”
“Mmmm. Mmmm. Aku milih truth aja deh!” Monika memilih.
Teman-temannya sibuk berdiskusi, sementara dia harap-harap cemas menunggu pertanyaan yang bakal diajukan.
“Oke, pertanyaannya adalahhh.... Hubungan kamu sama Jo apaan sih? Masa’ dari sekolah sampe sekarang cuma temen?”
Deg.
“Mmm, ngga papa dong, kamu aja nggak pacaran sama dia kan? Padahal deket dari SMP.” Monika menjawan sambil menunjuk 2 orang temannya. Jawaban Monika ini disambut gelak tawa seluruh sahabat-sahabatnya.
“Idiih! Tapi kan maksudnyaa...”
Hihi! Monika tertawa geli karena bisa membuat temannya gemas sambil menatap Jonathan yang juga geli.
“Oke deh, giliran Jonathan, truth aja yah. Pertanyaannya sama!” si pemimpin permainan agak memaksa.
“Iya deh.” Jonathan melihat ke Monika sekilas, seakan tahu apa yang harus dilakukan.
“Semuanya, kenalin, ini pacarku.” Jonathan mengumumkan sambil menggandeng tangan Monika.
Serempak, semua teman bertepuk tangan, setengah terkejut, setengah senang.
Apa artinya, aku memang akan..? ah sudahlah, biar waktu yang menjawabnya...