Sore ini, Mike berbaik hati mentraktirku bubble tea kesukaanku. In return, untuk yang kesekian kalinya aku harus bersedia mendengar dia berceramah tentang semesta, kosmos, dan kadang, kami. “You really love this impulsive conversation yang kadang nggak penting ya, Mike?” Aku mengeluh.
Mike tertawa. “It keeps me sane, Rose.”
Aku menggeleng saja. Diam-diam aku sebenarnya menyukai percakapan-percakapan ini.
Mike adalah teman kecilku, yang tumbuh menjadi sahabat terbaik yang pernah kupunya. Di saat teman-teman perempuanku sibuk bergosip dan membicarakan model rambut terbaru di kafe paling hits, aku bisa asik nongkrong di samping lapangan basket bersama Mike.
Lama-lama, kami sadar kalau kami punya satu chemistry yang nggak dimiliki banyak orang. Kami bisa ketawa-ketawa bareng over simple things. Inside jokes, that’s what people call it. We have tons of those.
Sangking eratnya, kami nggak tahu bagaimana mendefinisikan hubungan kami. Sahabat? Iya. Sayang satu sama lain? Iya. Kalau begitu, pacaran? Nggak. Kami merasa hubungan kami belum sampai di sana – meski nggak menutup kemungkinan itu. Jadi, HTS? Hmmm.. Kira-kira begitu. Tapi mana kami peduli? Manusia terlalu sibuk melabeli segala sesuatunya, yang nggak sebenarnya perlu dijelaskan dengan one single word. Eh, mungkin itu nggak sepenuhnya benar. Entah, mungkin aku sudah terlalu banyak mendengar ceramah kosmosnya.
“Rose, can I ask you something very absurd?”
“Go for it,” kataku. Dia sudah terlalu sering menanyakan hal ini.
"Have you ever wondered if we ever got married?"
Aku hampir menyemburkan bubble tea dari mulutku. Lalu aku terbatuk kecil. Tertawa. Tiba-tiba nervous.
"Kayaknya kecepetan deh, Mike. Belum waktunya mikirin gituan." Like I said, walaupun belum sampai sana, kemungkinannya ada.
Dia ikut tertawa, agak pilu. "Okelah, pacaran dulu."
Aku menghela nafas. "Nggak pernah kebayang," aku memelankan suaraku.
"Tapi kalau aku minta, kamu mau?"
Aku lantas diam. Berpikir. Keras.
Menolak dia? Hatiku bisa lonjak-lonjak marah. Aku sayang sama orang ini. Sepenuh hatiku, segenap pikiranku. Aku sudah mengenalnya sepanjang hidupku, dan akan sangat aneh untuk melanjutkan perjalanan hidupku tanpa dia, kalau aku menolaknya.
Tapi.. Menerimanya... sekarang?
Akhirnya aku hanya bisa mengalihkan arah pembicaraan. "Aku belum ada plan buat serious relationship, Mike."
Ekspresi wajahnya tidak berubah, karena dia bukannya tidak tahu ini. Tetap agak tegang. Lalu dia bertanya, "Emangnya what do you have in plan?"
Ditanya tentang apa rencanaku, mataku agak berbinar. Berbicara tentang rencana dan mimpi selalu membuatku sedikit tersenyum, walau kali ini ada sedikit rasa miris.
"Kamu tahu aku pernah pengen keliling dunia, Mike. And I still do. Keliling pantai Indonesia, lalu pergi ke New York, London, Paris, South Africa. Menghabiskan setahun, minimal, di perjalanan itu. Terus kerja di dunia teater di New York, atau London, which will take at least two years. Aku pengen pergi ke kampung-kampung kecil juga, jadi volunteer di sana. I dream of a very free life, Mike."
"I remember. You want an adventure before you settle. With no string attached. Unbounded by anything. But that was, what, like 3 years ago? Kenapa kamu masih di sini sekarang? Kenapa kamu belum pergi?”
Aku menunduk. Aku tahu persis kenapa. Tapi aku ngak tahu apa aku bisa mengatakannya ke kamu.
"I just want to be myself for that few years and do whatever I want. Tapi aku nggak tahu apa yang akan terjadi setelah semua itu. Aku nggak tahu apakah setelah itu aku bakal balik ke sini, atau aku bakal terus berkeliling. Aku nggak tahu apa yang bakal aku lakukan for a living setelah itu.”
Tapi sepertinya dia langsung mengerti walaupun hanya tersirat saja kusampaikan pesanku. Sorot matanya lantas melembut. Dia menggeleng perlahan, lalu menyentuh daguku pelan membuat wajahku menghadap langsung ke wajahnya.
"You need me, I need you, but you still need to go. You can't settle down just yet."
Aku belum bisa hidup dengan komitmen. Aku masih harus pergi, mengepakkan sayapku di luar sana. Tapi dia membutuhkanku. Dan aku membutuhkan dia.
Dia menangkap semuanya, secara jelas, hanya dalam tiga-empat pertanyaan.
Aku mengangguk.
Inilah kenapa aku belum pergi.
Dia bisa memahami jalan pikirku, tanpa perlu kujelaskan. Hal yang jelas membuatku kagum padanya, karena sering kali akupun tidak mengerti pikiranku sendiri. Dan kualitas ini tidak pernah kutemukan dalam diri orang lain.
Aku tidak bisa membayangkan berbagi hidup bersama orang yang tidak bisa mengerti apa yang sedang kupikirkan. Di saat yang sama, aku harus pergi: mimpi-mimpiku harus jadi kenyataan. Tapi kalau aku pergi, apa yang kami punya bisa saja hilang, dan aku belum siap mengambil resiko itu.
“Rose, don’t overcomplicate things. Mimpi-mimpi kamu sudah menghantui sekian lama. Go, live that dream. I haven’t completely achieve my dreams either, aku masih dalam perjalanan merebut mimpiku sepenuhnya.”
Aku masih kukuh, “Pergi nggak segampang itu, Mike.”
“Jangan dibuat susah, dong. Kamu akan melakukan perjalanan yang bakal jadi memori seumur hidupmu. Be excited about it! Apa yang membebani kamu? Keluargamu? Beri tahu saja ke mereka, kalian masih ada di satu dunia yang sama. Teknologi sekarang sudah semakin maju, dan kalian masih bisa sering bertemu. Kamu bisa mengatur jadwal perjalananmu sehingga kamu bisa sering lewat Indonesia, atau ajaklah mereka mengunjungimu sesekali.”
Aku mengangguk, mau tak mau setuju. Orang tuaku akan paham: inspirasiku keliling dunia ya mereka itu. Tapi bagaimana dengan kamu, Mike?
“As for me, and ‘us’, we’ll just take it one day at a time. We’ve been best friends for twenty-something years, Rose. I’m sure we can still be best friend even when you’re halfway around the world. Dan kalau, kita ngerasa we need to be fighting for something more, ntar kita pikirin lagi. Lagian semesta bakal kasih tahu dan bantuin kita kok kalau emang kita beneran punya sesuatu yang lebih.”
Aku mengangguk lagi. See that universe-thingy? I’m really going to miss that. “Aku cuma takut kalau this magical connection we’re in bakal berhenti, Mike.”
Dia tersenyum dan menggeleng. “Never. It’s impossible to make this ride stop.”
Dia lalu memberi satu senggolan ke bahuku. “Jadi, kapan kamu mau berangkat? Aku ikut bantuin kamu bikin itinerary dan pesen-pesen tiketnya.”
“Mike, you’re very creepy, you know. Kamu tahu semua yang aku pikirkan, and you know all the right words to say,” bukannya menjawab, aku hanya mendesah lega dan menutup mataku dengan sebuah senyuman.
“Well, maybe that’s because I’m your soul mate.”
-*^^*-
Best friend first.
He sees right into me. Bukannya tanpa bertanya; dia mengartikan setiap kataku persis sebagaimana aku memaknainya.