Monday, December 14, 2015

I miss you,

Hey kamu :)

Sudah 7 bulan aku nggak ketemu face to face.

Meskipun kita tetap kontak melalui berbagai perantara,
Aku kangen kamu. 


Dua puluh lima hari lagi aku pulang. 
Dua puluh lima hari sampai akhirnya kita bertemu lagi.

Dua puluh lima hari sampai aku bisa menggenggam tanganmu lagi,
Merasakan hangat tubuhmu di sampingku
Mendengar jernih suaramu tanpa diubah oleh jarak,
Merasakan bisikanmu yang selalu jenaka di telingaku


Jujur saja, aku agak ragu
Aku takut kalau aku pulang nanti, kita menemukan bahwa kita sudah bukan dua orang yang sama
Aku takut kita sudah menjadi orang lain

Apa yang harus kita lakukan kalau itu terjadi?


Tapi kamu selalu meyakinkanku kalau we'll find a way.
Kalau kita terpisah, kita akan menemukan satu sama lain,
Kalau kita berubah, kita bisa belajar lagi tentang satu sama lain.


Jadi, kalau aku pulang nanti,
Genggamlah tanganku,
Ajak aku mengelilingi seluruh penjuru kota,
Berpetualang berdua bersamaku.

Lihatlah jauh ke dalam mataku, 
Dan mari buat memori baru untuk kusimpan di bulan-bulan kedepan


I love you.

See you soon!
  

-*^^*-



Catatan kecil untukmu,

Thursday, November 5, 2015

BANDARA

Aku memilih meja kecil yang menghadap ke jendela. Tidak persis di depannya, tapi masih bisa melihat pemandangan ke luar dengan jelas. Kutaruh frapucinno di meja, dan ransel ungu-ku di kursi yang kosong. 
Aku lantas duduk, dengan mata yang sedikit disipitkan karena menghadap matahari dan senyum kecil yang tidak hilang-hilang.

Hmmm..
Aku menyesap sedikit frapucinno-ku, lalu memandang dunia di sekelilingku. Manusia-manusia dengan berbagai ukuran gelas kopi di tangan, beberapa sambil duduk seperti aku, beberapa membeli dan keluar lagi. Hampir semua membawa koper, atau setidaknya tas besar.

Typical airport coffee place


Kukeluarkan bukuku dan mulai membaca. Kakiku bergoyang-goyang, terpacu kafein kopi dan the butterflies in my tummy. 30 menit, kubiarkan pikiranku larut dalam dunia bukuku...


Trrrt! Alarm HPku berbunyi. Aku tersadar dari duniaku. Aku mengecek jam, 15 menit sebelum aku harus pergi. Aku menggigit bibir, menyembunyikan senyum yang merekah. 

Sekali lagi aku mengangkat kepalaku memandang coffee shop ini. Beberapa orang masih duduk di spot yang sama. Sebagian sudah beralih.

Untuk sesaat, aku tertegun. Ini yang aku suka dari bandara. Datang dan pergi. Kesementaraan.

Sekali lagi, sebuah efek elektrik mengejutkan otakku, menyadarkanku dari lamunan. Mengambil satu dua nafas, benar-benar meresapi kenyataan secara utuh.

Kesementaraan di bandara ini sempat membuatku berpikir. Berapa banyak orang di bandara yang mencintainya seperti aku? Atau justru malah mereka membencinya? Mungkin karena bisingnya, atau karena kata-kata 'sampai jumpa' mereka tak tahu kapan akan di balas dengan 'halo' lagi. 
Semoga mereka akan menemukan pencerahan seperti aku.

Ya, biasa aku suntuk saat harus menunggu di bandara.  Aku memang biasa berada di bandara untuk pergi. Semakin jauh setiap kali. Tapi kali ini berbeda. Hari ini aku mendapatkan pencerahan. Aku paham, meski jalanku berputar-putar, suatu hari berada di bandara berarti aku akan kembali. 

Like this time. These cliché book and coffee will lead me home.


31 days to home

-*^^*-

Thursday, October 8, 2015

To my heavy-hearted friend

I know something was wrong when your eyes did not shine as bright as usual
When your smile was there just to please the crowd
You sang just to utter the lyrics without giving it life
The heaviness in your heart had stopped you from being you

Yet,
I couldn't figure out what's wrong
I just know that something's up

Hey,
I'm not a psychic, you know.
I'm just an ordinary friend, whose heart broke as I noticed you started weeping deep inside

So here's what I'll do:

I'm going to tell you that the sky is still blue, even when it's a little cloudy today
The sun is still shinning, even though you might not see it right now
The stars are still up there, even when the clouds are hiding them a little
And you are still a beautiful person inside out, no matter what others are saying

Tomorrow, you'll wake up stronger
And the sky will once again screams blue
And the sun will once again radiate warmth and happiness
And the stars will once again take their places and shine

But as for today,
I'm going to throw my arms around you
Let you burry your head in my embrace
And quietly listen to your tears

Monday, September 7, 2015

to know you better

Setelah sepanjang sore aku memikirkanmu,
Malam tadi aku memimpikanmu.

Dalam mimpiku, kita punya foto berdua.
Kamu menyukai fakta itu.
Kamu ingin menyimpannya: mengabadikan senyum kita.

Kamu juga sempat menyelipkan pesan untukku:
I can't wait to get to know you better.

Me neither.
I do want to get to know you better.

Aku bahkan tadi sempat membayangkan, seperti apa kamu kalau jadi sosok seorang ayah? 
Haha, pemikiran yang terlalu jauh, aku tahu. Tapi aku penasaran.
Dan kurasa kamu akan jadi ayah yang baik. Kamu akan jadi partner yang baik untuk merawat manusia-manusia kecil.

Sesekali kamu akan mengalami kesulitan, bingung ini itu, tapi kamu akan tertawa dan terus mencoba. Menggantikan baju, popok, membuatkan susu. You'd make a great dad.

Namun aku diingatkan, kadang imajinasiku itu sangat jauh dari kenyataan.
Aku bahkan tidak terlalu kenal kamu: aku tidak tahu apa yang kamu suka, apa yang kamu tidak suka. Bagaimana kamu akan bereaksi dalam situasi-situasi tertentu.


Hmm, aku tahu kita akan jadi teman yang sebatas kenal selama beberapa tahun lalu terpisah.
Tapi how I wish we would stay friends for longer.

I wish I could get to know you better.


-*^^*-

Friday, August 14, 2015

Dear 'Adek',

Dek, tau nggak, semalam aku mimpi kamu. Haha. Lucu deh ceritanya, jujur aku kaget dan masih entertained sampai sekarang :D


Aku mimpi kalau kamu itu keturunan Jepang!
Aneh ya? Eh tapi ada benernya nggak sih? Mungkin ada something in your features yang membuat alam bawah sadarku bikin cerita itu. Gila.

Aku mimpi kamu bakal punya adek cewek! :)
Aku tahu kamu pasti bakal seneng banget. Dan, ssst, I think she'll change your world :)


Dek, terlepas dari itu semua,
Aku sungguhan kangen ngobrol sama kamu lho.
Beneran. There's something about ngobrol sama kamu yang selalu refreshes me, walaupun sejujurnya nggak selalu penting omongan kita.

Kira-kira kita bisa ketemu lagi nggak ya?

-*^^*-

Saturday, August 1, 2015

Starting Right

"Eh Nel, kalo lo udah kau pulang, kasi tahu ya. I'll walk you home."

Nelsha mengerutkan alis, menengok jam tangannya. Baru jam 7 kok. "Eh nggak usah Ed, baru jam segini juga."

"Gak papa. I have something to tell you anyway."

Nelsha cuma mengangguk. "Okay."

-*^^*-

Begitu menapakkan kaki di luar, semburan angin dingin langsung menyambut Nelsha dan Eddie.
"Gilaaa.." Nelsha mencetus sambil menggigil, sementara Eddie tertawa saja mendengar celotehan Nesha.
"Mau syal nggak?" Tanya Eddie.
Nelsha menggeleng, "Udah ada."
Eddie menangguk.

Beberapa menit hening, rasa penasaran Nesha akhirnya muncul. "Tadi mo bilang apa Ed?"

Eddie tampak agak terkejut, "Ooh. Hmmm.." Lalu langkah Eddie tiba-tiba berhenti sejenak. Seperti fokus mengatakan kalimat satu ini,"Nel, gue harus ngaku sesuatu: I really enjoy spending time with you."

Gantian Nelsha terpaku, tidak tahu harus bilang apa. Tapi lalu mengikuti lagi Eddie yang kembali berjalan. Akhirnya Nelsha cuma bilang, "Okay."

Eddie menarik satu nafas panjang. Tadi itu baru prelude, ini yang dia mau sampaikan: "Ummm, I would like to know you better, Nel. Kita tuh sama-sama agak reserved kan, bukan yang outgoing gitu. Biasanya orang-orang kayak kita punya banyak layers, and I'd love, if I may, to get to know you layer by layer. In turn, I want you to know me better to."

Nelsha tercengang. Mengangguk-angguk, sok tau. Padahal, dia sama sekali lost. "And why would you want to do that, Ed?"

Eddie tersenyum sebelah. "You really want me to spell it out, Nel?"

Ah, baru Nelsha agak mengerti.
'I would like to know you better.' Cara harus Eddie untuk bilang 'I think I fancy you.'
Di situ, Nelsha tiba-tiba merasa bangga dan juga honored. Tentu saja honored karena Eddie menganggapnya begitu. Bangga, karena temannya satu ini bisa berkata begitu jujur, dan juga bagaimana Eddie begitu bijaksana: dia nggak asal 'nembak', tapi benar-benar memilih untuk mengenal Nelsha dulu, dan juga memberi Nelsha waktu untuk benar-benar mengenal dia.

"I would like to know you better, too, Ed."
"Yeah?"
"Yea."
"Cool."

Eddie tersenyum. Lebar. Lega.
Nelsha juga.

Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok, atau minggu depan, dan minggu-minggu ke depan.
Apakah cerita mereka bakal berlanjut, atau akankah mereka puas hanya menjadi teman.
Tapi Nelsha tidak sabar untuk fase berikut ini.

-*^^*-

Not rushed; 
genuine chance and willingness to give time to know each other well before anything even starts. 

Thursday, July 30, 2015

Coffee v.s. Green Tea Latte

Secangkir kopi sudah siap menunggumu di sini.

Kamu bilang kamu akan datang, tepat pukul 10 pagi.
Aku melihat jam tanganku, 10 lewat 1 menit.
Kamu tidak pernah terlambat sebelumnya.

10 lewat 2 menit. 
Jariku mengetuk meja. Aku mulai tidak sabar.

10 lewat 3 menit.
Aku mulai takut kopimu dingin.
Nanti kalau kamu menambahkan sesendok gula, bisa-bisa tidak larut.

10 lewat 4 menit.
Akhirnya kamu datang.
Kamu minta maaf karena datang terlambat.
Ada urusan, katamu sambil lalu.

10 lewat 5 menit.
Kamu menambahkan secercah susu dan sesendok gula, mengaduk kopimu, mengetukkan sendok di bibir gelas tepat 3 kali, lalu menaruh sendok di meja dan menyeruput kopimu.
Cepat, kamu menceritakan alasanmu terlambat. Kamu baru saja diberi projek baru dari atasanmu, sehingga kamu lembur semalam dan terlambat bangun pagi ini.

10 lewat 6 menit.
Kamu menyeruput lagi kopimu. Lalu diam-diam melirik jam di HPmu, sambil menanyakan apa yang mau aku ceritakan di pertemuan mingguan kita imi, Aku hanya tersenyum. Cepat-cepat aku merangkum cerita yang sudah kusiapkan sejak minggu lalu. Ringkasan yang sangat buruk. Tapi kurasa kamu pun tidak tahu bedanya; kamu tidak bahkan mendengarkan. Pikiranmu di mana-mana. 


10 lewat 10 menit.
Aku mengakhiri ceritaku. Kamu mengangguk-angguk. Seperti paham. Padahal sudah 3 kali kamu mengecek jam tanganmu.

10 lewat 11 menit.
Kamu menegak kopimu yang kini sudah resmi dingin. Menghabiskannya, hanya menyisakan sedikit genangan. Lalu minta maaf kamu tidak bisa lama-lama; kamu harus segera kembali ke kantor.

10 lewat 12 menit.
Kamu berdiri, aku berdiri. Kamu merangkulku cepat, cepat mengucapkan sampai jumpa minggu depan. Buru-buru mengeluarkan kunci mobil dari kantongmu, buru-buru mendorong masuk kursi ke kolong meja, dan buru-buru keluar.

10 lewat 13 menit. 
Akhirnya aku sendiri lagi. Tidak sampai 10 menit kamu di sini. Kamu bahkan tidak menyadari kalau aku belum memesan apa-apa. Aku menghela nafas, ya sudah lah. Segera aku memesan secangkir green tea latte. Aku perlu cepat mendamaikan hatiku.

Tidak lama, pesananku datang. Mumpung masih panas, kuhirup aromanya dalam-dalam. Campuran susu dan teh hijau membuatku tersenyum.

Aku kemudian mendekatkan cangkir ke arahku; mengangkat cangkir, meniup dari bibir gelas, dan menyeruputnya. Memejamkan mata, mengapresiasi sensasi panas minuman ini saat menyentuh bibirku, menikmati proses diaktifkannya indera pengecapku. 

Dengan hati-hati aku menaruh kembali cangkirku.
Hati-hati, aku memberitahu hatiku kalau d mingu-minggu depan, sepertinya kamu akan lebih sering seperti tadi.
Buru-buru, tidak punya waktu; dan aku harus paham.
 
Setidaknya jadwalmu tidak penuh sampai malam nanti.
Setidaknya kamu masih punya waktu istirahat, dan nonton acara TV kesukaanmu.
 
Sekali lagi aku meraih cangkirku dan menyesap sedikit latte.
Aku tidak punya waktu untuk sakit hati.
 
Kalau kamu sudah siap move on, akupun siap.

-*^^*-

Wednesday, July 8, 2015

Selamat!

Aku kenal kamu sejak kamu umur 13an. Sejak itu rasa-rasanya setiap tahun kita selalu somehow get in touch. Nggak sepanjang tahun; hubungan kita nggak seberapa baik untuk itu. Tapi selalu ada kesempatan: ulang tahun, natalan, tahun baru..
Aku suka kesempatan-kesempatan itu. Aku kangen gombalanmu yang super nggak penting, dan mendengar mimpimu yang entah beneran ingin kamu kejar atau cuma mau membuatku kagum saja.
Tahun ini, kamu rasanya makin jauh saja, Dek. Bukannya waktu itu kamu yang minta aku janji jadi sahabatmu?
Aku sudah mematahkan ribuan janji, tapi yang satu ini akan aku pegang terus. Aku bakal selalu ada buat kamu, kalau kamu tiba-tiba ingin menengok kebelakang dan menemukan seorang teman.
Good luck untuk empat tahun kedepan, beserta tahun-tahun berikutnya!
Aku bakal selalu penasaran tentang kamu, dan menyelipkan namamu di doaku. 


_7123_

Tuesday, June 23, 2015

Untuk kamu yang selalu tersenyum

Hai kamu yang berumur 18 tahun 11 bulan 6 hari :)

Apa kabar?
Sudah terlalu lama kita nggak bertukar cerita.

Gimana kuliahmu? Bisa mengikuti dengan baik kan? I hope you're having so much fun :)

Aku seneng banget di sini. Ketemu banyak banget temen-temen yang nge-dukung terus, menyemangati terus sekolahku, walaupun enggak gampang. Semoga kamu juga punya temen-temen kayak gini ya :)

Eh, 1 bulan lagi kamu ulang tahun.
3 tahun lalu, aku di Amerika, di New York, di Pulau Liberty, menatap ke patung terkenal itu.
2 tahun lalu aku di Semarang, kota kelahiran kita.
1 tahun lalu aku di Pulau Sulawesi, di kota Palu.
Meski aku tidak selalu dekat, aku tidak pernah lupa ulang tahunmu. Dan berapapun pulsa yang harus aku keluarkan, aku selalu menyempatkan memberimu selamat.
Aku harap di hari-hari itu harimu menyenangkan :)

Maaf ya, tahun ini aku akan melewatkan menyelamatimu. Aku rasa sudah saatnya :)
Masih sebulan lagi ulangtahunmu, tapi rasanya sudah kuputuskan ini dari setahun lalu.
Bukan aku tidak peduli lagi padamu. Bukan aku lupa kamu. Tapi kamu sudah jadi milik orang lain—kamu sudah punya orang lain. Bukan tempatku lagi 4 tahun, 5 tahun berturut-turut tiba-tiba muncul di hari ulang tahun.

Meskipun demikian, doaku selalu ada untuk kamu. Doa untuk kamu selalu bahagia.
Tahukah kamu, setiap bisa mencuri kesempatan menanyakan kabarmu, hanya itu yang ingin aku dengar. Kamu sehat, dan bahagia. Aku berdoa juga kamu dikelilingi orang-orang yang bisa membuatmu lebih baik dari hari kemarin. Sama seperti, in a way, kamu pernah membantuku berubah menjadi orang yang lebih baik.

Hei kamu, sadarkah kamu kalau kamu itu seorang ‘history maker’? Kalau kamu belum mengubah dunia, setidaknya kamu sudah mengukir sejarah untukku. Gara-gara kamu, aku kecanduan Pulau Bali. Segala aspeknya kini terlihat cantik untukku, bahkan udaranya saja sudah sangat sakral untukku. Aku ingin selalu ada di sana.

Setiap tikungan jalan membawa kembali percakapan seru kita.
Setiap deburan ombak mengingatkanku untuk tersenyum.
Dari yang setiap dua tahun kelai, sekarang aku ketakutan kalau tidak bisa mampir ke pulau cantik itu.
Takut kebahagiaanku tidak nambah; takut pulau itu lupa cerita kita.

“Cerita kita”? Haha, iya. It sounds so wrong now. Lantas kenapa aku terus mengingatnya?
Entah. Semoga waktu menjelaskannya suatu hari nanti.

Oh ya, jangan khawatir kalau kamu tidak ingat semua ini—bagus malah.
Wanita mana yang mau pria-nya mengingat cerita lain selain cerita mereka berdua? :)
Tapi tolong jangan lupa kehadiranku di dunia.
Kalau kita tidak akan pernah bertemu lagi—kuharap sih kita akan tetap bertemu, tapi kalau sampai tidak—aku harap kamu tetap ingat aku.
Ingatlah aku sebagai mantan teman sekelasmu.
Ingatlah aku sebagai gadis dengan suara dan tawa aneh.
Ingatlah aku sebagai si pintar yang sayangnya malas.
Ingatlah aku sebagai apapun, aku tak peduli.
Tapi ingatlah aku dan mungkin—kalau ada—senyum yang pernah kumunculkan di wajahmu.

Aku mungkin akan segera lupa cerita kita.
Aku takut, sungguhan takut.
Tapi aku akan selalu ingat kamu. Kamu, teman, anak cowok dengan senyum paling keren seangkatan, dia yang lumayan cakep. Aku akan ingat kamu, Bali, Liberty Island, Lancaster, and all the fun we had.

Terima kasih…

Selamat ulang tahun yang lebih awal 1 bulan.
_7123_

Monday, June 15, 2015

Soul-Mate

Sore ini, Mike berbaik hati mentraktirku bubble tea kesukaanku. In return, untuk yang kesekian kalinya aku harus bersedia mendengar dia berceramah tentang semesta, kosmos, dan kadang, kami. “You really love this impulsive conversation yang kadang nggak penting ya, Mike?” Aku mengeluh.
Mike tertawa. “It keeps me sane, Rose.”

Aku menggeleng saja. Diam-diam aku sebenarnya menyukai percakapan-percakapan ini.

Mike adalah teman kecilku, yang tumbuh menjadi sahabat terbaik yang pernah kupunya. Di saat teman-teman perempuanku sibuk bergosip dan membicarakan model rambut terbaru di kafe paling hits, aku bisa asik nongkrong di samping lapangan basket bersama Mike.
Lama-lama, kami sadar kalau kami punya satu chemistry yang nggak dimiliki banyak orang. Kami bisa ketawa-ketawa bareng over simple things. Inside jokes, that’s what people call it. We have tons of those.

Sangking eratnya, kami nggak tahu bagaimana mendefinisikan hubungan kami. Sahabat? Iya. Sayang satu sama lain? Iya. Kalau begitu, pacaran? Nggak. Kami merasa hubungan kami belum sampai di sana – meski nggak menutup kemungkinan itu. Jadi, HTS? Hmmm.. Kira-kira begitu. Tapi mana kami peduli? Manusia terlalu sibuk melabeli segala sesuatunya, yang nggak sebenarnya perlu dijelaskan dengan one single word. Eh, mungkin itu nggak sepenuhnya benar. Entah, mungkin aku sudah terlalu banyak mendengar ceramah kosmosnya.

“Rose, can I ask you something very absurd?”
“Go for it,” kataku. Dia sudah terlalu sering menanyakan hal ini.

"Have you ever wondered if we ever got married?"
Aku hampir menyemburkan bubble tea dari mulutku. Lalu aku terbatuk kecil. Tertawa. Tiba-tiba nervous.  
"Kayaknya kecepetan deh, Mike. Belum waktunya mikirin gituan." Like I said, walaupun belum sampai sana, kemungkinannya ada.

Dia ikut tertawa, agak pilu. "Okelah, pacaran dulu."

Aku menghela nafas. "Nggak pernah kebayang," aku memelankan suaraku.

"Tapi kalau aku minta, kamu mau?"

Aku lantas diam. Berpikir. Keras.

Menolak dia? Hatiku bisa lonjak-lonjak marah. Aku sayang sama orang ini. Sepenuh hatiku, segenap pikiranku. Aku sudah mengenalnya sepanjang hidupku, dan akan sangat aneh untuk melanjutkan perjalanan hidupku tanpa dia, kalau aku menolaknya.
Tapi.. Menerimanya... sekarang?

Akhirnya aku hanya bisa mengalihkan arah pembicaraan.  "Aku belum ada plan buat serious relationship, Mike."
Ekspresi wajahnya tidak berubah, karena dia bukannya tidak tahu ini. Tetap agak tegang. Lalu dia bertanya, "Emangnya what do you have in plan?"

Ditanya tentang apa rencanaku, mataku agak berbinar. Berbicara tentang rencana dan mimpi selalu membuatku sedikit tersenyum, walau kali ini ada sedikit rasa miris.
"Kamu tahu aku pernah pengen keliling dunia, Mike. And I still do. Keliling pantai Indonesia, lalu pergi ke New York, London, Paris, South Africa. Menghabiskan setahun, minimal, di perjalanan itu. Terus kerja di dunia teater di New York, atau London, which will take at least two years. Aku pengen pergi ke kampung-kampung kecil juga, jadi volunteer di sana. I dream of a very free life, Mike."

"I remember. You want an adventure before you settle. With no string attached. Unbounded by anything. But that was, what, like 3 years ago? Kenapa kamu masih di sini sekarang? Kenapa kamu belum pergi?”

Aku menunduk. Aku tahu persis kenapa. Tapi aku ngak tahu apa aku bisa mengatakannya ke kamu.
 "I just want to be myself for that few years and do whatever I want. Tapi aku nggak tahu apa yang akan terjadi setelah semua itu. Aku nggak tahu apakah setelah itu aku bakal balik ke sini, atau aku bakal terus berkeliling. Aku nggak tahu apa yang bakal aku lakukan for a living setelah itu.”
Tapi sepertinya dia langsung mengerti walaupun hanya tersirat saja kusampaikan pesanku. Sorot matanya lantas melembut. Dia menggeleng perlahan, lalu menyentuh daguku pelan membuat wajahku menghadap langsung ke wajahnya.
"You need me, I need you, but you still need to go. You can't settle down just yet."

Aku belum bisa hidup dengan komitmen. Aku masih harus pergi, mengepakkan sayapku di luar sana. Tapi dia membutuhkanku. Dan aku membutuhkan dia.

Dia menangkap semuanya, secara jelas, hanya dalam tiga-empat pertanyaan.
Aku mengangguk.

Inilah kenapa aku belum pergi.
Dia bisa memahami jalan pikirku, tanpa perlu kujelaskan. Hal yang jelas membuatku kagum padanya, karena sering kali akupun tidak mengerti pikiranku sendiri. Dan kualitas ini tidak pernah kutemukan dalam diri orang lain.
Aku tidak bisa membayangkan berbagi hidup bersama orang yang tidak bisa mengerti apa yang sedang kupikirkan. Di saat yang sama, aku harus pergi: mimpi-mimpiku harus jadi kenyataan. Tapi kalau aku pergi, apa yang kami punya bisa saja hilang, dan aku belum siap mengambil resiko itu.
“Rose, don’t overcomplicate things. Mimpi-mimpi kamu sudah menghantui sekian lama. Go, live that dream. I haven’t completely achieve my dreams either, aku masih dalam perjalanan merebut mimpiku sepenuhnya.”
Aku masih kukuh, “Pergi nggak segampang itu, Mike.”
“Jangan dibuat susah, dong.  Kamu akan melakukan perjalanan yang bakal jadi memori seumur hidupmu. Be excited about it! Apa yang membebani kamu? Keluargamu? Beri tahu saja ke mereka, kalian masih ada di satu dunia yang sama. Teknologi sekarang sudah semakin maju, dan kalian masih bisa sering bertemu. Kamu bisa mengatur jadwal perjalananmu sehingga kamu bisa sering lewat Indonesia, atau ajaklah mereka mengunjungimu sesekali.”
Aku mengangguk, mau tak mau setuju. Orang tuaku akan paham: inspirasiku keliling dunia ya mereka itu. Tapi bagaimana dengan kamu, Mike?
“As for me, and ‘us’, we’ll just take it one day at a time. We’ve been best friends for twenty-something years, Rose. I’m sure we can still be best friend even when you’re halfway around the world. Dan kalau, kita ngerasa we need to be fighting for something more, ntar kita pikirin lagi. Lagian semesta bakal kasih tahu dan bantuin kita kok kalau emang kita beneran punya sesuatu yang lebih.”
Aku mengangguk lagi. See that universe-thingy? I’m really going to miss that. “Aku cuma takut kalau this magical connection we’re in bakal berhenti, Mike.”
Dia tersenyum dan menggeleng. “Never. It’s impossible to make this ride stop.”

Dia lalu memberi satu senggolan ke bahuku. “Jadi, kapan kamu mau berangkat? Aku ikut bantuin kamu bikin itinerary dan pesen-pesen tiketnya.”
“Mike, you’re very creepy, you know. Kamu tahu semua yang aku pikirkan, and you know all the right words to say,” bukannya menjawab, aku hanya mendesah lega dan menutup mataku dengan sebuah senyuman.

“Well, maybe that’s because I’m your soul mate.”

-*^^*-
Best friend first.

He sees right into me. Bukannya tanpa bertanya; dia mengartikan setiap kataku persis sebagaimana aku memaknainya.

Saturday, June 13, 2015

Get Well Soon

"Kamu di mana?"
"Di rumah kok."

Lalu,
Ting-Tong!

"Bukain dong."

Aku melihat intercom yang berdentang.  "Kamu..?"

"Dingin nih. Hehe," suaranya kini muncul dari speaker telepon dan intercom. Aku sekilas melirik piyamaku. Tapi, ah, masa bodoh. Tiba-tiba saja dia menelepon, ternyata sudah di bawah sana. Aku segera memencet tombol membukakan pintu depan dan memberi akses lift ke lantai unitku. 

Tidak lama, suara ketukan pintu terdengar, dan aku cepat membuka pintu. Begitu aku menangkap sorot matanya, aku menangkan perubahan di sana. Dia tersenyum pilu.

"Kamu pucet banget."

Aku menggaruk kepala, mengangguk. Badanku memang nggak bisa diajak kompromi. Suhu udara yang semakin dingin  berhasil membuat suhu tubuhku naik. Meriang hebat.

"Mau masuk?" Tanyaku, ragu.
Tapi dia menggeleng. "Nggak usah. Aku mau jalan lagi nih. Cari makan. Kamu udah ada makanan belum?"

Aku mengangguk. "Bubur tadi siang  masih banyak."

"Obat?"

"Udah minum barusan."

Dia mengangguk mantap. "Oke deh."

Sekali lagi pandanganku dan pandangannya beradu. Dia menyunggingkan seulas senyum, kecil. Cakep. 

Dia lalu mengangkat sebuah paper bag di tangan kirinya. "Nih buat kamu."

Aku spontan tersenyum kecil. "Apaan?" 

"Sweater, biar kamu anget. Udah ya, duluan. Kamu istirahat. Dah."

Dia mengangguk sambil mengangkat sebelah tangan. "Cepet sembuh." Lalu dia berlalu. 

Singkat saja pertemuan kami kali ini. Tapi berhasil membuatku tersipu dan tidur tersenyum. Dan paginya, setelah tidur sesore, aku bangun dengan tubuh yang jauh lebih segar. Masih dipeluk sweater baru. 


-*^^*-
Sincere. More action, less words. Selfless. 

Friday, June 5, 2015

Untuk Kamu Yang Hanya Ada di Sudut Pikiranku

Sial. Aku benci mengatakan kata ini, tapi kali ini aku benar-benar sial. 
Bisa-bisanya kamu begitu?

Ku kira kamu sahabatku. 
Tapi bagaimana bisa kamu tidak membiarkan aku benar-benar pergi? Utuh? Lepas?

Aku sudah berusaha pergi. Aku sudah berhasil lupa. Tapi kamu terus menahanku di sini; memberiku berbagai memori dan mimpi baru. 
Maumu itu apa?

Mauku, kamu tinggal bersama dia yang sudah 3 tahun penuh menemanimu, dan membiarkanku yang sudah 4 tahun tertatih akhirnya berjalan jauh. 
Maumu itu apa?

Di alam bawah sadarku, bukannya mengumbar foto romantis bersama kekasihmu, kamu malah hanya mengupload tempat romantis itu. Bukannya mengundangku ke acara bahagiamu, kamu malah tiba-tiba memintaku menjadi bagian intinya: menjadi orang yang berbagi bahagia denganmu.
Bagaimana lagi aku harus menolakmu?

Aku bahagia tanpa kamu!
Aku yakin itu. 
Berilah aku kesempatan untuk membuktikannya padamu. 
Kecuali..

-*^^*-

Kamu mendekat dan menjauh dalam setiap hembusan nafas
Seperti perahu kertas, terayun terbawa ombak.. Entah ke mana.....

Thursday, June 4, 2015

Antara 'Iyaa' dan 'Tidak'

“Hei, pipi bakpao.”
Aku langsung menoleh, merengut. “Apaan sih,” aku menanggapi singkat.
Dia cepat mengelus puncak kepalaku supaya aku tidak lama-lama merengut, tapi otakku keburu menyampaikan pesan lewat mulutku, “Cewek itu nggak suka dibilang gendut.”
Dia terkekeh, sambil duduk di sampingku. “Lho kan aku nggak bilang kamu gendut. Aku cuma bilang pipimu mirip bakpao.” Dia lalu memperagakannya, menaruh dua telapak tangan yang dicembungkan ke kedua pipinya. Aku tambah mendengus kesal.

Dia lalu tersenyum, menurunkan tangannya. “Bete kenapa nih ceritanya?” Dia menyadari ketidak-ceriaanku.
Aku menghembuskan nafas berat. “Tugasnya capek banget gila.” Aku menggeleng. Benar-benar seminggu ini aku seperti dilindas truk raksasa. Tubuhku remuk, otakku bahkan sudah tidak bisa berpikir. Tidurku super larut dan bangunku selalu kesiangan walaupun alarmku sudah frustrasi teriak-teriak.
Dia mengerti. Tugasnya juga tidak kalah berat. Apalagi jurusan bisnisnya menuntut dia untuk senantiasa aktif belajar.

Sebentar saja menikmati rumput tempat kami duduk dan angin yang sepoi, aku melirik jam. Sudah waktunya pulang. Waktu refreshing sudah habis, saatnya kembali ke tugas. Aku beranjak berdiri, dan membuat dia yang sedang menutup matanya terlonjak kaget. “Loh, mau ke mana?”
Aku tersenyum miris, “Nugas.”
Dia meggeleng, “Nggak boleh. Kamu udah keluar asep gitu. Udah nggak bisa ketawa. Sini dulu.”
Aku ganti menggeleng, “Masih banyak yang belom dikerjain.”
Dia menarik tanganku untuk duduk lagi, tapi malah dia yang akhirnya ikut berdiri. “Jangan pulang dulu lah. Hot chocolate mau nggak?” Dia membujukku. Ah, my Achilles’ heel. Tapi bukan moodku hari ini.
“Gelato boleh?”
Matanya membelalak, “Dingin-dingin gini kok minum es krim.”
Aku terkekeh. “Es krim itu bukan diminum, di makan,” aku mengkoreksi dengan teliti dan membeberkan alasanku, “Biar otaknya adem. Angin doang nggak nolong nih.”
“Ketawa juga akhirnya,” justru itu komentar pertamanya. “Tapi ntar sakit dingin-dingin. Besok aja kalo udah anget.”
Aku menyipitkan mata, berusaha membuatnya berubah pikiran. Dia akhirnya setuju untuk mengunjungi kedai es krim yang juga menjual hot chocolate. Best of both worlds.

Aku lalu sadar, dia belum juga melepaskan genggamannya.

-*^^*-

Kami duduk berseberangan beberapa menit. Dia menyesap hot chocolate-nya yang mengepul sambil berkutat dengan smartphonenya, sementara aku dengan giat menjilat es krim Bailey’s-ku yang sebenarnya tidak akan meleleh dengan cuaca seperti ini.

Tiba-tiba smartphone-nya berbunyi, dan dari ring tone-nya aku langsung tahu dari siapa.
“Halo? Iya bentar lagi nyampe kok. Bentar ya. Dahh.”
‘Gebetan’, ‘cewek’, ‘calon’, apapun sebutannya. Aku menggoda. “Udah dicariin calon?”
“Calon? Apaan sih.” Dia terlihat salah tingkah, walaupun lalu mulai mengemas dompet dan smartphonenya. Lalu sekali lagi dia menyentuh ujung kepalaku.

“Jangan sampe stress belajarnya. Tidur yang cukup. Aku duluan yah. Es krimnya kubayarin. Dahh.” Dia lalu beranjak pergi, tanpa memberiku kesempatan untuk berkata-kata. Hanya bisa melambaikan tangan dan tersenyum tipis.

Eh, aku bahkan tidak sempat menolak traktirannya.



Sekarang, saat aku hanya duduk sendiri, berbagai potongan rekaman dan perasaan mulai muncul ke permukaan pikiranku.
Muncul wajahnya saat dia mengajakku ke tempat ini. Sensasi saat tangannya menyentuh pucuk kepalaku. Perasaan hati yang hangat saat dia menggenggam tanganku agak terlalu lama tadi.
Betapa itu semua membuatku merasa sangat nyaman dan hangat.
Tapi buru-buru aku menepis semuanya. Sebentar lagi dia bakal jadi milik orang lain, dan aku tidak mau jadi orang ketiga di tengah-tengah mereka. Jadi aku menarik sebuah nafas, menyimpan semua rasa bahagianya di hati, lalu menghembuskan perasaan candunya keluar. Menarik sebuah nafas lagi, lalu menghembuskannya untuk melepas semua keinginan dan harapan, sepenuhnya.

Dia akan selamanya jadi sahabat baikmu. Orang yang peduli sama kamu. Dia akan terus memperhatikanmu. Tapi bukan dengan emosi yang seperti itu; jangan sampai kamu salah artikan, aku mengkuliahi diriku sendiri. Aku mengangguk sendiri, Makanya, cepet cari pacar. Dasar otak, bisa nyeletuk sendiri. Tapi aku setuju. Dan dia tidak akan masuk di daftar-pendekku.

Dia sangat, sangat baik. Cakep juga. Tapi sekali lagi, aku terpaksa jauh-jauh menghalau namanya dari hatiku. Dia sudah hampir menjadi milik orang lain, dan aku tidak akan bisa—heck, aku tidak mau—memisahkan mereka. Mereka terlihat terlalu cocok berdua. Apalagi karena ‘orang lain’ ini adalah orang yang pernah lebih dulu menempati rahim darimana aku dilahirkan.

Saturday, March 28, 2015

Layers of Feelings

Sebungkus sandwich mendarat di lekukan buku di depan Litta. Litta melirik tajam ke pemberinya, sahabatnya yang super bawel itu.
“Udah seminggu lo miss lunch. Nggak sehat belajar terus, makan gih,” Art menjelaskan.
Litta menggeleng. “Enggak laper kok, lagian nggak boleh makan di sini,” katanya sambil menunjuk ke salah satu dinding perpustakaan, ke poster bertuliskan peraturan-peraturan perpustakaan.
“Ayolah, ntar belajar lagi. Gue tahu lo nervous buat exam minggu depan, tapi belajar terus kayak gini nggak bakal bikin lo tambah pinter. Yang ada tambah stress lo ntar. Gue kan udah janji mau ajarin lo juga weekend ini. Yuk.”
Litta mengalah. Sandwich dihadapannya terlihat menarik. Dengan cepat dia meringkas buku dan alat tulisnya, dan mengikuti Art yang sudah duluan menuju pintu keluar.

Art memilihkan mereka sebuah kursi taman di bawah pohon besar di ujung lapangan luas ini. Sembari menyeberangi lapangan, Litta merasakan angin berhembus kencang ke arah wajahnya. Juga jantungnya yang berdebar cepat dan kupu-kupu yang mulai berterbangan di perutnya saat melihat Art berjalan di depannya. 

Momen seperti  ini…

Art mengeluarkan sandwich bagiannya begitu mereka berdua duduk, dan di lima menit pertama, mereka makan dalam diam.

“Thanks ya, udah bawain gue ini,” Litta memecahkan keheningan di antara mereka.

Art tersenyum kecil dan mengangguk seadanya.

“Tau nggak, gue belajar sebuah filosofi baru loh waktu bikin sandwich ini. Gue belajar kalo perasaan gue tuh kaya sandwich gini.”

Litta mengerutkan alisnya. Apa sih artinya? Dia tidak yakin apakah itu hal yang baik atau malah sebaliknya. Jantungnya kembali berdebar cepat.  Khawatir.

“Gini nih, di dalam sandwich ini, ada banyak layers kan? Ada roti, ada mayo, ada lettuce, tomat, ham, keju. Nah, tiap layer punya rasa masing-masing. Roti sama lettuce mungkin nggak terlalu ada rasa lah. Tomat, gue nggak suka. Cenderung kecut, lo tau gue nggak suka yang kecut gitu. Kebalikannya, ham gue doyan banget. Keju gue juga enjoy.”

Litta sempat tertawa kecil mendengar separuh penjelasan Art ini. Art berhenti sebentar, ikut terkekeh, walaupun matanya masih bersorot serius. Lalu dia siap melanjutkan.

“Layers ini satu per satu mungkin mereka not much. Ada yang nggak enak, ada yang enak banget, ada yang biasa aja. Tapi tanpa elemen-elemen ini, sandwich gue nggak bakal seenak gini. Dijadiin satu, semua layers ini menyumbang sebuah rasa yang unique, yang membuat makanan ini taste good.”

Di sini, Litta mulai bisa menebak arah pembicaraan ini. Topik yang selalu membuat hatinya bergejolak dan lidahnya kelu. Menyiapkan diri, Litta melemparkan pandangannya ke tengah lapangan, mencari ruang untuk berpikir.

“Gue sadar, ini yang lagi gue rasain, Lit. A sandwich of feelings. Ada perasaan yang nggak enak. Sisi yan harus berkorban lah, yang nggak pasti lah, yang confusing juga. Ada yang enak juga. The ecstasy is there. It’s like a rainbow. Like a roller coaster. Like you want to only give out your best. You just want to smile all the time. Ya lo tau lah, all those craziness yang gue sering ceritain ke elo.”

Art berhenti sebentar, menarik sebuah nafas panjang, dan mengangguk mantap. “This sandwich has a name, Lit. Falling in love. Sekarang gue ngerti kalau apa yang gue itu rasain itu namanya falling in love.”

Litta sedikit terperangah, Art akhirnya sadar?

Art memang sering menceritakan arrhythmia perasaannya, tapi tanpa menyebutkan sebuah nama yang spesifik. Nggak heran, walaupun mereka sudah kenal selama 3 tahun, Art memang orang yang super tertutup. Tapi kalau sekarang Art sudah mendefinisikan perasaannya.. Bolehkah dia bertanya? Beranikah hatinya menerima apapun jawabannya?

 “Perasaan lo ini, Art… Emang lo lagi falling in love sama siapa?”

Art membiarkan hembusan angin yang kencang ini berlalu, sebelum merumuskan jawabannya. Dia terkekeh. “Gue belum bisa kasih tahu siapanya sekarang Lit. Tapi soon gue pasti kasih tahu ke elo kok, gue cuma belum siap aja. Gue masih berusaha belajar menikmati sandwich ini as a whole, nggak coba memilah-milah layersnya lagi.”

Litta coba tersenyum. Dan mengangguk. Dalam hati dia sungguh berharap…

“Lit, kalo ntar gue butuh bantuan elo, lo mau bantuin gue kan?”

Di sini, harapan Litta langsung pupus. Butuh bantuan…mendekati orang itu kah? Begitukah?
Pikiran Litta langsung blank diberi asumsi seperti ini. Art meminta bantuan, artinya untuk pihak ketiga kah? Berarti… Berarti bukan dirinya? Bagaimana dia bisa membantu Art mendekati orang lain ketika dia yang begitu dekat sendiri menyimpan rasa yang besar untuk Art? Tapi Litta tidak bisa menjawab ‘tidak’ kepada sahabatnya ini, cepat dia cuma mengangguk satu kali. Sambil menggigit bibir.

Art tersenyum lebar. Dengan lebih ringan, dia menghabiskan sandwichnya, memaknai setiap gigitannya sebagai menerima kenyataan bahwa dirinya jatuh cinta.

Sementara Litta mendadak tidak lapar. Sandwichnya terasa hambar sekarang.

-*^^*-

March 28, 2015 - Litta, ini adalah hari pertama gue menyatakan perasaan gue. Over a sandwich. Lo terlihat langsung pucet waktu gue bilang minta tolong. Pasti lo pikir gue minta tolong untuk deketin gue ke cewek lain kan? Padahal kebalikannya.
Maaf ya udah bikin lo shock gitu. Tapi bukan ini harinya elo tahu. Someday, gue akan bilang dengan lebih jujur. Dan kalau nanti lo dan gue udah sama-sama siap, we’ll slay the dragons of this world together. I promise.

-*^^*-