Aku langsung menoleh, merengut. “Apaan sih,” aku menanggapi
singkat.
Dia cepat mengelus puncak kepalaku supaya aku tidak
lama-lama merengut, tapi otakku keburu menyampaikan pesan lewat mulutku, “Cewek
itu nggak suka dibilang gendut.”
Dia terkekeh, sambil duduk di sampingku. “Lho kan aku nggak
bilang kamu gendut. Aku cuma bilang pipimu mirip bakpao.” Dia lalu
memperagakannya, menaruh dua telapak tangan yang dicembungkan ke kedua pipinya.
Aku tambah mendengus kesal.
Dia lalu tersenyum, menurunkan tangannya. “Bete kenapa nih
ceritanya?” Dia menyadari ketidak-ceriaanku.
Aku menghembuskan nafas berat. “Tugasnya capek banget gila.”
Aku menggeleng. Benar-benar seminggu ini aku seperti dilindas truk raksasa.
Tubuhku remuk, otakku bahkan sudah tidak bisa berpikir. Tidurku super larut dan
bangunku selalu kesiangan walaupun alarmku sudah frustrasi teriak-teriak.
Dia mengerti. Tugasnya juga tidak kalah berat. Apalagi
jurusan bisnisnya menuntut dia untuk senantiasa aktif belajar.
Sebentar saja menikmati rumput tempat kami duduk dan angin
yang sepoi, aku melirik jam. Sudah waktunya pulang. Waktu refreshing sudah
habis, saatnya kembali ke tugas. Aku beranjak berdiri, dan membuat dia yang
sedang menutup matanya terlonjak kaget. “Loh, mau ke mana?”
Aku tersenyum miris, “Nugas.”
Dia meggeleng, “Nggak boleh. Kamu udah keluar asep gitu.
Udah nggak bisa ketawa. Sini dulu.”
Aku ganti menggeleng, “Masih banyak yang belom dikerjain.”
Dia menarik tanganku untuk duduk lagi, tapi malah dia yang
akhirnya ikut berdiri. “Jangan pulang dulu lah. Hot chocolate mau nggak?” Dia
membujukku. Ah, my Achilles’ heel.
Tapi bukan moodku hari ini.
“Gelato boleh?”
Matanya membelalak, “Dingin-dingin gini kok minum es krim.”
Aku terkekeh. “Es krim itu bukan diminum, di makan,” aku
mengkoreksi dengan teliti dan membeberkan alasanku, “Biar otaknya adem. Angin
doang nggak nolong nih.”
“Ketawa juga akhirnya,” justru itu komentar pertamanya.
“Tapi ntar sakit dingin-dingin. Besok aja kalo udah anget.”
Aku menyipitkan mata, berusaha membuatnya berubah pikiran.
Dia akhirnya setuju untuk mengunjungi kedai es krim yang juga menjual hot
chocolate. Best of both worlds.
Aku lalu sadar, dia belum juga melepaskan genggamannya.
-*^^*-
Kami duduk berseberangan beberapa menit. Dia menyesap hot
chocolate-nya yang mengepul sambil berkutat dengan smartphonenya, sementara aku
dengan giat menjilat es krim Bailey’s-ku yang sebenarnya tidak akan meleleh
dengan cuaca seperti ini.
Tiba-tiba smartphone-nya berbunyi, dan dari ring tone-nya
aku langsung tahu dari siapa.
“Halo? Iya bentar lagi nyampe kok. Bentar ya. Dahh.”
‘Gebetan’, ‘cewek’, ‘calon’, apapun sebutannya. Aku
menggoda. “Udah dicariin calon?”
“Calon? Apaan sih.” Dia terlihat salah tingkah, walaupun
lalu mulai mengemas dompet dan smartphonenya. Lalu sekali lagi dia menyentuh
ujung kepalaku.
“Jangan sampe stress belajarnya. Tidur yang cukup. Aku duluan
yah. Es krimnya kubayarin. Dahh.” Dia lalu beranjak pergi, tanpa memberiku
kesempatan untuk berkata-kata. Hanya bisa melambaikan tangan dan tersenyum
tipis.
Eh, aku bahkan tidak sempat menolak traktirannya.
Sekarang, saat aku hanya duduk sendiri, berbagai potongan
rekaman dan perasaan mulai muncul ke permukaan pikiranku.
Muncul wajahnya saat dia mengajakku ke tempat ini. Sensasi
saat tangannya menyentuh pucuk kepalaku. Perasaan hati yang hangat saat dia
menggenggam tanganku agak terlalu lama tadi.
Betapa itu semua membuatku merasa sangat nyaman dan hangat.
Tapi buru-buru aku menepis semuanya. Sebentar lagi dia bakal
jadi milik orang lain, dan aku tidak mau jadi orang ketiga di tengah-tengah
mereka. Jadi aku menarik sebuah nafas, menyimpan semua rasa bahagianya di hati,
lalu menghembuskan perasaan candunya keluar. Menarik sebuah nafas lagi, lalu
menghembuskannya untuk melepas semua keinginan dan harapan, sepenuhnya.
Dia akan selamanya
jadi sahabat baikmu. Orang yang peduli sama kamu. Dia akan terus
memperhatikanmu. Tapi bukan dengan emosi yang seperti itu; jangan sampai kamu
salah artikan, aku mengkuliahi diriku sendiri. Aku mengangguk sendiri, Makanya, cepet cari pacar. Dasar otak,
bisa nyeletuk sendiri. Tapi aku setuju. Dan dia tidak akan masuk di
daftar-pendekku.
Dia sangat, sangat baik. Cakep juga. Tapi sekali lagi, aku
terpaksa jauh-jauh menghalau namanya dari hatiku. Dia sudah hampir menjadi milik orang lain, dan aku
tidak akan bisa—heck, aku tidak
mau—memisahkan mereka. Mereka terlihat terlalu cocok berdua. Apalagi karena
‘orang lain’ ini adalah orang yang pernah lebih dulu menempati rahim darimana
aku dilahirkan.
0 comments:
Post a Comment