Chapter 4, what life filled with: problem…
1 minggu kemudian…
Lagu ‘Laskar Pelangi’ terdengar dari HP Tricia. Ia baru saja bangun tidur pagi itu.
“Halo?” Tricia menjawab telepon itu dengan ngantuk.
Tiba-tiba terdengar suara seperti seseorang yang jatuh.
“Triz? Suara apaan tuh? Kamu jatuh? Kamu baru bangun tidur, yah?”
Derrick terdengar agak panik dan menghujaninya dengan berbagai pertanyaan.
“Aduh, kakak alih profesi jadi wartawan? Kenapa aku nggak tahu? Aku nggak papa kok.. Kenapa telepon pagi-pagi?” Tricia lalu menjawab dengan tertawa kecil sambil mengelus kepalanya yang terbentur lantai barusan. Suaranya sudah tidak terdengar mengantuk lagi.
“Aku mau ngajak kamu nonton Pertunjukkan Drama Natal yang di pentaskan SMAku tiap tahun. Tahu kan? Yang kaya biasa. Acaranya tanggal 25 ini, 2 hari lagi. Kau mau ikut nonton, sama aku?”
Derrick melanjutkan percakapan. Beberapa tahun belakangan Derrick dan Tricia emang sering datang ke pertunjukan semacam ini.
Tricia berpikir sejenak. Ia harap hari itu orangtuanya tidak ada acara.
“Triz?” Derrick khawatir Tricia menutup teleponnya. Atau ia bicara terlalu cepat sehingga anak itu tidak mengerti?
“Eh, ya, boleh.” Jawab Tricia dengan riang setelah berpikir beberapa saat.
“Jam berapa acaranya?” lanjut Tricia lagi.
“Acara mulai pukul 5 sore. Oke deh kalo gitu. Nanti kamu mau berlayar nggak?”
“Yup, pasti. Menurut ramalan cuaca hari ini cocok untuk surfing juga loh kak.”
“OK. Sampai nanti, Triz.”
“Sampai nanti, Kak.”
Maafkan aku, Triz. Tapi ini demi masa depanku yang tinggal beberapa bulan lagi..
Jujur, Tricia masih capek dan ngantuk. Tapi kalau dia cuma di rumah dan nonton TV, maka ia akan merasa nggak sehat. Akhirnya dia menerima ajakan Derrick berlayar.
Ia lalu mengambil perlengkapannya, lalu keluar dari rumahnya dan melangkah ke dermaga.
Rupanya Derrick tadi menelepon dari dermaga. Ia sudah ada di situ sejak pagi.
Mereka lalu bersiap dan berangkat.
“Kak, pemandangan di sini memang indah ya..” kata Tricia tanpa mengalihkan pemandangannya dari laut di hadapannya itu. Mungkin bagi sebagian orang laut itu Cuma air dan ombak, suaranya memang menyenangkan, tapi nggak ada yang special dari itu.
Namun berbeda buat Tricia. Ia selalu terpesona pada laut, entah sejak kapan.
“Kak?” ulang Tricia, karena Derrick diam saja. Tricia lalu melihat Derrick, ternyata dia sedang asik dengan kameranya.
Tricia jadi agak sebal. Bagaimana tidak? Ini adalah saat-saat yang paling ditunggunya selama di BayVille: pulang ke Oceanica, ketemu Derrick, melihat laut bareng-bareng. Tapi apa sekarang? Derrick malah sibuk dengan kameranya.
Dia tahu Derrick harus banyak membidikkan kameranya ke suatu objek yang bagus sehingga gambarnya pantas untuk dipajang di pameran, tapi…
Akhirnya mereka kembali juga ke dermaga. Mereka lalu makan siang bersama di rumah Derrick. Hari ini mama Derrick membuat steak yang memang merupakan keahliannya, nggak heran banyak orang yang dateng dan berlangganan di gerai steak yang dibuka mama Derrick.
25 Desember,Oceanica…
Pagi itu SMA Oceanica terlihat ramai. Banyak murid yang udah datang ke SMA itu.
Bukan untuk sekolah tentunya, karena hari ini adalah hari libur. Mereka datang pagi-pagi untuk nyiapin pementasan drama natal mereka. Mereka nanti akan membawakan drama “The Christmas Carol”.
Pukul 6 sore, para tamu undangan sekolah dan penonton mulai memenuhi auditorium SMA Oceanica. Beberapa bangku tambahan juga udah dibuka untuk menampung penonton. Diantara sekian banyak penonton, terlihat pasangan yang sangat ceria. Derrick dan Tricia. Kali ini Tricia mengenakan gaun putih pendek tanpa lengan dengan pita merah sebagai semacam sabuk dipadu dengan celana Jeans gelap yang agak ketat. Rambutnya pun juga nggak kaya biasa, kali ini rambutnya terikat rapi dengan sehelai pita putih. Derrick juga kelihatan ganteng dengan kemeja lengan pendek putih dan jeans. Mereka sempat mengambil foto mereka berdua. Derrick yang melihat hasil foto itu terpaku melihat Tricia dan senyumnya yang selalu membuat dia senang.
“Triz, kakak udah bilang belom? Kamu beda banget malem ini.” Derrick bertanya.
“Beda gimana?” balas Tricia sedikit bingung. Ia tidak merasa ada yang berubah dari dirinya.
“Baju kamu, rambut kamu, beda aja. Tapi bagus kok.” Derrick tersenyum pada Tricia.
Tricia hanya diam seribu bahasa sambil tersipu.
Dia emang jarang pake banget pake gaun, walaupun gaun pendek, dan jarang menguncir rambutnya.
Akhirnya pertunjukan pun dimulai.
Para pemain terlihat sangat terampil menyampaikan drama dan pertunjukkan pun terasa sangat menarik dan hidup. Penari balet yang memeriahkan drama juga lentur banget dan bisa bikin kita lupa kenyataan kalo kita tertarik gravitasi melalui lompatan-lompatannya yang ringan.
Tricia jadi pengen belajar balet, atau main drama, juga merancang kostum-kostum lucu yang dipakai anak-anak kecil yang mengiringi drama. Ia memperhatiakan drama sungguh-sungguh dan ikut hanyut dalam kesukaan drama itu. Sampai-sampai dia nggak sadar seseorang telah beranjak.
Babak 1 selesai, semua penonton berdiri dan bertepuk tangan.
Ketika Tricia berdiri, ia baru sadar.
Nggak ada yang berdiri di sebelahnya. Kenapa Derrick tidak berdiri? Pikir Tricia.
Ia melirik tempat duduk Derrick.
Di mana Derrick? Tricia agak panik melihat Derrick yang hilang tanpa bilang apa-apa.
Tapi jawabannya langsung tiba beberapa detik kemudian.
Seperti yang sudah Tricia duga, dia habis mengambil beberapa gambar drama dari dekat panggung.
Ini seharusnya waktu kami! Kenapa dia masih saja ngurusin kamera dan foto-fotonya itu? Tricia jadi agak kesal. Dampaknya, ia tak begitu menikmati babak 2 drama ini.
30 menit kemudian, drama selesai. Semua pemain muncul ke panggung dan menyanyikan lagu-lagu natal. Semua hadirin sekali lagi berdiri dan bertepuk tangan dengan sangat meriah.
Tricia langsung melirik bangku di sebelahnya. Sekali lagi, bangku Derrick kosong. Tapi bukan karena ia pergi, tapi karena Derrick sudah berdiri.
Ahh, tapi lagi-lagi Tricia dibuatnya kesal.
Rupa-rupanya, Derrick sedang mengarahkan kameranya ke panggung. Beberapa kali ia menekan tombol untuk memotret.
Biarlah, untuk malam ini dia bersenang-senang sendiri. Toh aku cukup senang dengan drama tadi. Tricia menenangkan diri.
Derrick memang sudah mulai terampil mengambil sudut yang baik untuk foto-fotonya.
Salah satu foto yang di ambilnya tadi menunjukkan siluet hitam penonton yang bertepuk tangan untuk para bintang drama yang dimeriahkan dengan kembang api.
Hari-hari Tricia berikutnya di Oceanica diisi kejadian yang mirip kejadian hari natal kemarin.
Lama-lama Tricia benar-benar merasa panas. Dia bener-bener nggak suka dengan aktifitas Derrick yang satu itu. Pameran foto di Oceanica yang diikuti Derrick diadakan hari ini. Jadi pantas saja dia jadi super sibuk dengan kameranya akhir-akhir ini.
Tricia datang ke pameran itu bersama teman-teman sekolahnya dulu. Foto yang dipajang banyak banget. Namanya juga pameran, hihihi. Yahh, kebanyakan, bisa ditebak, adalah foto pantai Oceanica di berbagai sudut. Saat matahari tenggelam, matahari terbit, foto ombak, dan lain-lain.
Tapi sampai di satu dinding foto, barulah ada yang benar-benar bagus menurut Tricia. Modelnya adalah seorang wanita muda. Beberapa foto hanya menunjukkan wanita itu dalam siluet. Mirip seperti foto Derrick waktu natal kemarin, Tricia mengingat. Sebagian lain menunjukkan wanita itu dalam warna-warna sephia. Semua foto itu diambil dari samping dan belakang. Walau klasik, semua foto itu memakai teknik yang unik, dan hasilnya pun nggak diragukan.
Dari sekian banyak foto, ada 1 foto yang berbeda. Foto itu berwarna cerah seperti biasa, tanpa efek apa-apa. Kali ini model wanita terlihat wajahnya sedikit. Sudut ini membuat model itu tampak sangat manis. Foto itu diambil dari sudut agak bawah samping. Gaun yang dipakai berwarna putih. Terlihat sedikit bagian merah di bawah gaun itu.
Heran, kayaknya Tricia pernah lihat gaun kaya gitu. Oh, ya! Tricia inget. Dia memang punya gaun yang mirip dengan gaun yang dipakai model itu. Itu adalah gaun yang dipakainya saat pergi ke pertunjukkan drama bersama Derrick. Hmm, ternyata model gaun itu banyak di jual di toko-toko, tebak Tricia dalam hati. Memang ia nggak membeli sendiri gaun itu, jadi ia nggak tahu jumlah gaun seperti itu yang ada di toko.
“Suka?” tanya seseorang membuyarkan lamunannya.
Tricia segera membalikkan tubuhnya menghadap asal suara.
“Ah, kakak. Ya, foto-foto ini bagus.” Ternyata itu Derrick. Dia sudah ada di sini rupanya.
“Mana foto-foto kakak?” Tricia balik bertanya. Tapi Derrick tidak menjawab. Hanya memberi kode berupa lirikan mata, kalo foto-fotonya ada di belakang Tricia.
Tricia tersentak seolah sadar. “Jadi foto-foto ini hasil foto kakak?” Tricia masih nggak percaya kalo foto yang baru saja dilihatnya itu hasil jepretan Derrick.
“Iya, keren kan?” Jawab Derrick sambil tersenyum lebar.
“Jadi, siapa wanita yang ada di foto itu?” kali ini ia tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Derrick terlihat sedikit kaget, ia mengangkat sebelah alisnya.
“Kamu nggak tahu?” pertanyaan Derrick itu hanya dibalas gelengan kepala Tricia.
Derrick lalu menghela nafas lalu berkata, “Dia orangnya baik banget. Dia juga cantik, pinter. Dia juga bisa bikin kamu seneng.” Derrick mengatakan hal ini sambil tersenyum dan menerawang.
“Tapi siapa orang itu?” Tricia jadi makin penasaran. Kenapa dia penasaran? Bukannya dia lagi jengkel sama Derrick? Tapi dia tetep penasaran. Eh, mungkin bukan penasaran, tapi, mm, cemburu.
Derrick hanya tertawa puas. “Nanti kamu juga bakal tahu.”
Tricia semakin mengerutkan keningnya. Tapi Derrick hanya mengedipkan satu matanya lalu menemui beberapa orang lain.
“Hei! Beruntung banget sih, bisa jadi model!” seru Vina, salah satu teman yang ikut ke pameran, padaku.
“Model? Aku nggak…” Tricia nggak berhasil menyelesaikan kalimat karena dia baru sadar suatu hal yang penting.
“Bukankah orang itu… Aku?”
Tricia heran banget. Teman-temanya cuma bisa tertawa melihat tingkah Tricia yang menurut mereka pura-pura tidak tahu.
“Ini bukan aku! Aku tidak pernah di foto seperti ini!” dia coba membela diri.
“Kamu memang nggak pernah merasa difoto, ini foto candid,” Derrick tiba-tiba datang.
“Jadi..” “Yep, itu emang kamu, Triz..”
“Aku minta maaf, kamu pasti ngrasa aku cuekin akhir-akhir ini kan? Ini permintaan maafku,” lanjut Derrick tersenyum.
Tricia seneng banget. Belom pernah ada orang yang mengikuti pameran dengan gambar dirinya. Namun sekarang, satu dinding besar penuh fotonya dengan berbagai latar.
“kamu tahu nggak, mungkin aku memang orang paling beruntung di dunia. Aku punya kakak yang baik banget sama aku!” kata Tricia sambil mendesah puas.
Derrick hanya tersenyum, puas melihat tingkah Tricia.
“Tapi ini belum seberapa, ayo ikut aku!” Derrick menarik tangan Tricia dan mengajaknya ke taman belakang ruang pameran.
Di sana, ada sebuah cafe yang dibuat untuk orang-orang yang dateng ke pameran.
Terlalu kaget melihat hiasan dan suasana yang ada, Tricia nggak sadar Derrick sudah berjalan beberapa langkah darinya dan menarik sebuah kursi untuknya. Tricia langsung mendekat.
“Aku traktir makan siang untuk membalas semuanya. Maafkan kakak nggka bisa nemenin kamu lebih lama libur kali ini.” Derrick menatap mata Tricia sambil minta maaf.
“Nggak papa, kak. Bukan salah kakak.” Tricia langsung menimpali.
“Tapi..”
“Kak,” Derrick tidak dapat menyelesaikan kalimatnya, Tricia langsung memotong perkataannya. “Kakak jangan nyesel.” Tricia tersenyum tulus.
Yah, jujur aja, dia emang sedikit kecewa tapi sedikit berkorban tidak apa-apa kan?
Seorang pelayan menghampiri mereka dan menanyakan pesanan. Tepat di saat yang sama, seorang panitia pameran menghampiri mereka.
“Ini dia! Ayo, Derrick. Bapak walikota datang dan ingin bertemu semua peserta. Kamu juga harus ikut ke dalam. Pameran ini akan disahkan, baru setelahnya kamu bisa dapat sertifikat yang kamu minta.” Yang dimaksud adalah sertifikat untuk Derrick agar bisa mengkonfirmasi bahwa dia pernah ikut pameran.
“Tapi..”
“Tidak ada tapi-tapi! Ayo cepat!” anggota panitia itu buru-buru sekali.
“Tidak akan lama, bukan?”
“Tidak akan lama? Pertanyaan macam apa itu? Kalian akan harus menemani walikota dan para tamu-tamunya melihat-lihat sepanjang pameran dan tanya jawab. Mungkin 1,5 jam atau lebih”
Derrick nggak bisa apa-apa. Dia melihat Tricia yang menerawang jauh dan agak berkaca-kaca.
“Aku benar-benar menyesal, Triz. Aku minta maaf.” Derrick berbisik dari jauh.
Derrick benar-benar tidak menyangka hal ini akan terjadi.
Tricia Cuma mengangkat bahu, lalu berjalan ke arah keluar.
Maaf, Triz, demi kuliahku nanti..
Bahkan demi kita juga..
2 hari setelah pameran..
Selama 2 hari ini, Tricia dan Derrick nggak ketemuan, masing-masing mengurung diri di kamar.
Hari ini Tricia pulang ke BayVille. Dia lega dia nggak perlu berlama-lama di sini.
Bahkan, dia sudah menyiapkan kopernya sejak kemarin.
Mamanya yang nggak tahu apa-apa agak heran melihat tingkah putri tunggalnya itu, tapi ia hanya mendiamkannya.
Waktu mereka sampai di bandara BayVille, Tricia menangkap sesosok yang di kenalnya.
Jason?
2 pesawat terakhir yang baru mendarat, memang sama-sama dari Oceanica, namun berbeda maskapai.
Jason ke Oceanica? Tapi Tricia nggak ketemu sama dia.
Tanpa sadar, Tricia terus melihat Jason, walau nggak memperhatikannya.
Saat Jason melihat ke Tricia, Jason langsung memanggilnya.
“Hei Triz!” Jason memanggil.
Bukannya membalas sapaan, Tricia malah bertanya to the point.
“Kamu dari Oceanica?”
“Iya, kamu tahu dari penerbangannya ya?” balas Jason tidak terlalu heran.
Papan jadwal pendaratan emang terpampang besar di dekat mereka.
“Aku kok nggak lihat kamu selama di Oceanica?” Tricia lebih heran.
“Memang kamu dari Oceanica?” Jason mulai tertarik.
“Iya. Aku kan asli Oceanica. Pulang kampung gitu. Kamu kapan sampai ke Oceanica?”
“3 hari yang lalu aku baru sampai di sana.” Jason membalas ringan, sambil menunjukkan 3 jarinya.
Pantas aja nggak ketemu.. pikir Tricia dalam hati.
“Eh, Triz, kamu mau temani aku chatting? Bosen nih.” Lanjut Jason.
“Tapi aku agak capek..” Tricia mencari alasan. Dia emang lagi males ngapa-ngapain. Badmood masih berkuasa.
“yah, Cuma chatting kok.. dari HP kan bisa. ayo dong.. bosen banget. Yaaa?” Jason masang muka melas.
“Kamu itu nanya ato maksa sih?” Tricia agak sebal. Tapi malah disambut tawa oleh Jason.
“Ya udah, ntar aja yah tapi. Masih mau ngurus barang dulu.” Tricia masih beralasan.
“Oke..” Jason mengacungkan jempol tanda setuju.
Lalu keduanya melambaikan tangan dan kembali ke keluarga masing-masing.
0 comments:
Post a Comment