Chapter 3, back to the old days!
6 bulan berlalu setelah Tricia pindah..
Hubungan Tricia sama Derrick tetap baik. Semakin baik, malah. Derrick emang belum datang lagi ke Oceanica, namun bukan masalah besar. Pelajaran Derrick di SMA juga semakin sulit, jadi Tricia nggak heran. Lagipula drilling ujian kelulusan membuat Tricia semakin sibuk belajar dan mengejar ketertinggalannya, juga kegiatan Tricia di organisasi siswa sekolah.
Tricia juga jadi makin dekat sama teman-teman barunya. Mereka semakin dekat, bahkan nggak terpisahkan. Tricia memang cukup pandai di kelas, baik di Oceanica maupun BayVille, namun bukan karena ia memang pintar, tapi karena Tricia memang sangat suka belajar. Selain itu ia juga suka membaca. Novel, Komik, apa saja yang berbau bacaan.
“Hei, Tricia, liburan semester ini kamu akan pergi-pergi?” Valen mengagetkan Tricia dari lamunannya.
Tricia segera memasang senyum cerianya.
“Mmm, aku akan pulang ke Oceanica. Kamu mau ikut? Di rumahku ada kamar tamu, jadi kamu bisa menginap di rumahku. Lagipula kamu tidak akan kemana-mana, bukan?” jawab Tricia berapi-api. Ia memang selalu bersemangat apabila membicarakan Oceanica.
“Dan mengenalkanmu pada pacarmu itu?” tanya Valen bercanda. “Pacar? Pacar yang..” ucapanya terputus. Ah, iya! Mungkin yang dimaksud Valen adalah Derrick! Annie pasti menceritakan tentang Derrick pada Valen.
“Jadi? Bagaimana?” desak Valen sambil setengah tertawa.
“Ahh.. Oke, ntar aku kenalin. Tapi dia bukan pacarku. Cuma sahabat yang udah kaya kakakku.” Jawab Tricia dengan nada terburu-buru.
Valen hanya bisa tertawa melihat kelakuan temannya yang tiba-tiba gugup ini.
“Tidak usah repot-repot, Triz. Aku sudah punya banyak rencana dan aku tidak ingin mengganggu liburan kalian. Ayo kita masuk kelas!” Valen menarik Tricia dengan berlari.
Ternyata Annie benar-benar mengira bahwa Derrick adalah pacarku? Aahh.. Ini kacau, pikir Tricia.
Namun ia nggak mau berlama-lama berkutat dengan persoalan itu.
Ujian semester tiba, saatnya memfokuskan diri pada pelajaran, batin Tricia.
Mereka mengerjakan soal demi soal test itu dengan baik, sangat baik malah. Dan juga, mereka semua yakin akan dapat nilai yang bagus bagus.
Tricia semangat banget belajar dan mengerjakan soal di ujian semester kali ini. Tentu saja! Ia bakal ketemu Derrick lagi. Tricia akan melewatkan liburan natalnya di Oceanica!
“Anak-anak yang sudah selesai mengerjakan test dipersilahkan keluar. Selamat berlibur semuanya.” Suara Ibu Agni yang merdu mengejutkan Tricia yang sudah setengah tertidur. Serempak, hampir seluruh kelas berdiri, berjalan secepat mungkin dan keluar dari ruang ujian. Di luar kelas, suasana udah rame banget. Anak-anak berkumpul dengan teman-temannya, membicarakan liburan yang sudah datang itu.
Tentu saja yang paling bersemangat adalah Tricia. Ia sudah memimpikan Rumah Pohon, kapalnya, dan pantai di Oceanica saat tertidur waktu sudah selesai mengerjakan test tadi.
Sore itu juga, Tricia berangkat ke Oceanica. Ia cuma membawa 1 koper pakaian untuk 3 minggu ini. Ia masih punya banyak baju di Oceanica. Papa mama udah berangkat beberapa hari yang lalu karena ada urusan pekerjaan, jadi Tricia berangkat sendirian. Dia dijemput oleh supir, lalu langsung menuju ke rumahnya.
Tricia berlari ke kamarnya, mengambil sandal lalu keluar ke Rumah Pohonnya.
Nggak terlihat ada siapa-siapa di sana.
Tapi, ada sebuah tape recorder. Tricia penasaran, ia tahu itu pasti punya Derrick, akhirnya ia memutar hasil rekaman recorder itu.
“Ehh, hai. Ini Derrick. Hari ini tepat seminggu Tricia pindah. Aku merasa, yah, kesepian.. Aku.. Aku udah terbiasa bercerita panjang lebar, atau dengerin suaranya yang ceria tiap pulang sekolah, tapi sekarang, aku tidak bisa lagi. Aku harap dia udah punya banyak teman di sana. Oh ya, aku selalu pakai jaket dari Tricia kemanapun aku pergi.”
Sejenak, terdapat sebuah jeda. Lalu terdengar suara lagi.
“2 bulan setelah Tricia pindah.. Beberapa kali aku berlayar. Tapi nggak seperti biasa, sepi banget. Aku udah mulai terbiasa Tricia nggak ada di sini, tapi rasanya tetep nggak enak. Aku pengen banget kamu di sini Triz. Jaket Tricia semakin sering aku pakai, aku selalu merasakan Tricia ada di dekatku.”
Rupanya ini semacam diary milik Derrick. Tricia jadi merasa tidak enak, dan mematikan tape itu.
Dia lalu turun dan berjalan ke dermaga. Sejenak Tricia terperanjat. Ia tak mengira kapalnya masih tetap bersih, bahkan seperti baru. Terimakasih, bisiknya. Entah berapa kali ia harus berterimakasih pada Derrick.
Tricia menimbang-nimbang. Sepertinya sekarang ini dia terlalu capek buat berlayar, jadi Tricia memilih naik Speedboat aja. Tricia segera menyalakan speadboatnya dan keluar dari dermaga.
Hmm.. Segera saja angin yang sejuk menerpa wajahnya. Ia sedikit merasa kedinginan, untung ia membawa jaket pemberian Derrick. Ia merasa lebih hangat setelah memakainya.
Ia teringat saat-saat waktu ia masih tinggal di sini. Hampir setiap akhir pekan Tricia menyendiri atau berekreasi ke laut ini. Atau bila cuaca kurang baik, ia akan berjalan-jalan menyusuri pantai.
Setelah beberapa saat di laut, Tricia membalikkan Speedboatnya dan kembali ke dermaga. Ia lalu pulang ke rumah dan ternyata papa mama sudah menunggu. Tricia membersihkan tubuh, lalu mereka pergi makan malam. Makan malam itu diadakan oleh perusahaan papa. Walaupun sudah tidak bekerja dicabang Oceanica, teman-teman dan bawahan papa dulu masih sering berhubungan dengan papa. Sedangkan mama memiliki teman-teman dari kursus merajut yang diikutinya dulu. Sampai sekarang, mama Tricia masih dekat juga dengan mereka. Dari kursus itu, mama Tricia membuka sebuah butik sederhana bergaya elegan hasil rajutannya, dan beberapa temannya.
Tricia menikmati makan malam yang dulu sering ia ikuti itu.,
“Hei, Tricia!” kata seseorang melambai ke arah Tricia. “Megan!” Tricia balas melambai dan menghampiri temannya itu. Uuhh, baju yang dipakai Tricia adalah gaun yang nggak nyaman. Walau nggak tomboy, Tricia nggak pernah suka pake gaun.
“Apa kabar, Triz?” Tanya Megan. Megan adalah salah satu teman Derrick yang Tricia kenal baik. Ayah Megan juga bekerja di perusahaan papa Tricia.
“Aku baik-baik kok, thanks. Kamu sendiri gimana?”
“Aku baik.” Kata Megan tersenyum ramah.
“Kamu udah ketemu Derrick?” tanya Megan lagi. Kali ini ia terdengar agak serius. Ada apa?
“Eh, belum. Aku baru sampai sore tadi, jadi aku belum sempet ke tempatny. kenapa?” Tricia menjawab, dengan nada yang dibuat setenang mungkin.
“Kamu belum tahu, ya? Derrick demam beberapa hari ini. Sampe nggak masuk sekolah segala.” Kata Megan.
“Tapi jangan kuatir, waktu denger kamu mau pulang, dia langsung membaik.” Megan cepat-cepat menambahkan sebelum Tricia sempat cemas. Namun ternyata itu nggak banyak membantu.
“Apa? Di-dia sakit? Tapi.. Tapi dia nggak bilang apa-apa. Gimana dia sekarang? Kok dia bisa sakit?” kata-kata meluncur cepat dari mulut Tricia.
Lalu setelah menyadari ia bicara terlalu cepat, dia mengulangi kata-katanya dengan lebih tenang.
“Bagaimana keadaannya sekarang, Meg?”
“Hmm… Aku yakin pasti udah baikan dari 2 hari yang lalu.”
“Memang dia sakit apa?” Tricia membuat suaranya terdengar tenang. Tapi tentu saja, tak berhasil.
“Apa kamu nggak mau menjenguknya sendiri dan bertanya lengkap tentang sakitnya itu?” kata Megan setengah tertawa. “Terus terang, aku belum sempat menjenguknya juga. Tadinya kami sekelas mau menjenguk Derrick. Tapi Derrick bilang dia sudah baikkan dan nggak perlu dijenguk.” Lanjut Megan.
“Mmm.. Aku akan menjenguknya. Terimakasih informasinya. Bagaimana Oceanica sekarang?”Tricia mulai sedikit lebih tenang.
“Yah, pantainya masih putih dan lembut, pohon palem masih tertiup angin, langit masih biru, dan ombak masih berkejar-kejaran. Apa yang lebih baik dari itu?” gurau Megan. Tricia ikut tertawa. Dari dulu, Megan memang seseorang yang mudah membuat Tricia tertawa, dan ia sangat ramah.
Beberapa teman lain lalu bergabung dengan Tricia dan Megan, beramah-tamah serta saling menanyakan kabar. Sudah beberapa bulan mereka tidak bertemu, dan banyak cerita yang harus mereka sampaikan.
Hari itu Tricia merasa capek banget, dan seperti biasa, begitu sampai di rumah dia langsung mengucapkan selamat malam ke papa mama dan masuk ke kamar.
Saat ia bersiap tidur, ia teringat pada Derrick.
“Kak? Kakak udah tidur belom?
Katanya kakak sakit, ya? Beneran?
Kakak kok nggak cerita sih?”
Terbesit keraguan sebelum Tricia mengirim pesan itu. Tapi toh kalo Derrick sudah tidur, ia bisa membalasnya besok pagi. Tricia lalu kembali bersiap untuk tidur.
Derrick sebenarnya nggak bisa tidur malam itu. Tubuhnya terasa lemah, memang, tapi kantuk tak kunjung menyerbu matanya. Hal ini bikin Derrick sedikit jengkel. Dia jadi nggak bisa apa-apa.
Tiba-tiba..
Riiinnggg.. Riiinnggg..
Ada pesan masuk.
Siapa yang akan mengirim pesan malam-malam begini?
Dirabanya meja kecil di sebelah ranjang, lalu dibukanya ponsel itu.
“Tricia,” gumam Derrick perlahan sambil tersenyum lebar.
Ia segera memencet tombol dan membaca pesan Tricia.
Secepat ia membaca pesan Tricia, secepat itu pula ia membalasnya.
“Tricia, aku nggak papa kok.
Sempat demam, tapi udah nggak papa.
Btw, kamu tahu dari siapa kakak sakit?
Oh ya, Tricia, udah malem loh, kamu kok belum tidur sih?
Cepetan tidur, ntar nyusul kakak loh. J”
Beberapa menit kemudian, terdengar bunyi HP lagi. Derrick yang masih menggenggam ponselnya langsung membuka pesan itu.
“Mmm, Megan yang kasih tahu.
Kakak beneran udah nggak papa?
Aku tadi baru pulang dari makan malam bersama di kantor papa,
tapi aku juga udah mau tidur.
Nggak mau ketularan kakak! :P
Kakak, aku tidur dulu yah?
Kakak juga tidur, SEKARANG!
Aku nggak mau kakak tambah sakit.
Selamat malam, kak. Get well soon.”
“oke oke, kakak akan tidur SEKARANG.
:P
Selamat malam, Tricia. Mimpi indah..”
Tiba-tiba saja rasa kantuk membuat Derrick tertidur.
Pagi-pagi benar, Derrick terbangun. Ia sudah merasa baikkan daripada beberapa hari belakangan ini. Ia segera keluar dan membawa tas ransel warna orange-hitam yang kelihatan penuh. Ia mengambil sebuah roti dan membuat segelas susu cokelat. Ia lalu segera keluar dan menuju ke tempat di mana ia menghabiskan sebagian besar waktunya minggu ini.
Di Rumah Pohon
Ia memanjat tangga ke rumah pohon. Segera dia ambil kamera favorit yang menjadi temannya beberapa saat itu tanpa memperhatikan sekitarnya dulu. Diarahkannya kamera itu ke arah matahari terbit, dan…
“KAKAK!” sebuah teriakan riang memecahkan kesunyian pagi itu.
Sebuah sososk juga tiba-tiba muncul di depan lensanya.
“AA!” Teriak Derrick. Karena kaget, dia bahkan samapi terduduk ke belakang dan yang dilihatnya hanyalah seorang perempuan duduk manis dan tertawa kecil.
Untunglah kamera itu nggak sampai jatuh.
“Tricia? Kamu ngapain di sini? Papa mama kmamu tahu kalo kamu di sini?” Derrick membuka percakapan setelah pulih dari keterkejutannya.
”MM, enggak,” kata Tricia menggeleng mantap. “Aku Cuma pengen ke rumah pohon. Boleh kan?”
“ya pasti boleh lah, tapi nggak usah pake ngagetin orang ya..” Gerutu Derrick sambil memutar bola mata.
“Aku minta maaf. Maaf yaa?” kata Tricia tanpa penyesalan sedikitpun. Ia masih tertawa senang melihat wajah kaget Derrick tadi.
“Hmm.. Gimana ya? Okeh deh, asal kamu ikut kakak piknik siang ini.” Jawab Derrick sambil pura-pura berpikir keras dan menemukan jawaban.
“Ahh, aku mau!!” seru Tricia pura-pura memohon.
“Oke deh kalo gitu. Pukul 11 siang ini.”
Tawa mereka lalu pecah.
“Oh ya, kakak udah sembuh?” tanya Tricia dengan nada yang lebih serius setelah puas tertawa.
“Yah, kamu bisa lihat kan? Kakak udha baikan.” Kata Derrick sambil meraih kameranya lagi dan mulai mengarahkan pada pantai.
“Beneran nggak papa?” desak Tricia.
“Kamu nggak percaya? Hmm.. Bisa-bisanya kamu nggak percaya sama kakakmu sendiri.” Kata Derrick pura-pura marah. Tricia lalu tertawa.
Sebelum disadarinya, Derrick meraih tangan Tricia dan menempelkannya ke keningnya.
“Tuh kan, aku nggak papa.” Sahut Derrick santai menatap ke mata Tricia yang sedikit bingung.
Dilepaskannya tangan Tricia lalu mulai mengambil gambar lagi. Tricia Cuma bisa terbelalak, kaget atas tindakan sahabatnya.
Mereka lalu melihat-lihat hasil jepretan kamera Derrick beberapa minggu ini.
Menjelang pukul 9, mereka pulang ke rumah masing-masing. Keduanya akan bertemu lagi dalam 2 jam.
Tricia mau pulang meminta ijin papa mama.
Sedangkan Derrick harus menyimpan lagi kameranya itu. Orangtuanya lagi pergi, dia dirawat oleh bibi-nya, dan hari ini beliau tidak akan datang, mendengar keadaan Derrick yang sudah tidak apa-apa.
Tepat pukul 11, mereka bertemu lagi di Rumah Pohon. Derrick sudah menyiapkan beberapa makanan, sementara Tricia menata semua itu.
Tricia menggelar kain bermotif kotak-kotak merah dan putih, lalu mengeluarkan makanan dari tempatnya dan menaruhnya di piring-piring kertas.
Mereka lalu makan, dengan pemandangan orang-orang yang berlibur di pantai, dan suara deburan ombak. Mereka tertawa, dan bergembira bersama.
Nggak lama, ketika keduanya selesai makan, Derrick dan Tricia sudah berada di pantai dan berjalan-jalan. Derrick lalu bercerita tentang kegiatannya akhir-akhir ini, mengapa sampai ia bisa sakit.
Rupanya, ia sedang menekuni kegiatan baru, yaitu fotografi.
Sebenarnya memang bukan kegiatan baru juga. Derrick memang suka jeprat-jepret objek yang dianggapnya menarik. Tapi baru akhir-akhir ini Derrick bener-bener menggali kemampuannya di bidang foto.
Dia bangun pagi buta tiap hari, mengarahkan kameranya pada matahari terbit, orang-orang di pantai, kerang, dan banyak hal lain.
Itu semua ditekuni untuk mempersiapkan kuliahnya tahun depan.
Dia mau ambil beasiswa dan syaratnya adalah setidaknya menang 5 perlombaan fotografi atau ikut pameran fotogtrafi.
Nah, sekarang dia lagi giat-giatnya mengumpulkan foto-foto terbaiknya untuk diikutkan pameran.
Karena ia tak terbiasa capek, ia jadi demam.
“Kalau belum biasa, jangan dipaksain lah Kak. Mulai pelan-pelan saja.” Tricia menasihati.
Sahabatnya yang satu ini memang sedikit keras kepala. Setidaknya dia sudah berusaha menasihati, bukan?
“Yah, kakak tau.. tapi yang kakak takutkan bukan itu...” kata-kata Derrick yang terdengar sedikit frustasi terputus saat ada yang memanggil nama mereka.
“Tricia! Derrick!” Itu Megan. Lagi.
“Hi, Megan, sedang apa di sini?” tanya Tricia setegah terkejut.
“Aku sedang bersama orangtuaku, kalian sendiri?” jawab Megan dengan suara seceria biasanya.
“Kami sedang lihat-lihat saja. Mau bergabung?” Derrick menawarkan.
“Tidak, terimakasih. Rasanya sebentar lagi aku juga harus pulang karena kakek dan nenekku akan berkunjung. Yah, nikmati sore kalian!” Megan menjawab dan melambai menjauh.
“Dia memang orang yang sangat lucu dan periang, ya, Kak?” tanya Tricia, setengah kagum karena ada orang yang sangat ceria seperti Megan, setengah melupakan percakapan mereka barusan.
“Iya, memang, tapi kadang-kadang dia bisa keterlaluan banget. Pernah dia mengacau waktu pelajaran bahasa Indonesia Ibu Andyta karena tertawa terus.” Derrick tertawa mengingat kejadian itu.
Mereka menyusuri pantai sampai matahari terbenam.
Mereka bercerita tentang kehidupan masing-masing beberapa bulan ini.
Keduanya dapat merasakan perasaan kehilangan itu, namun mereka semakin terbiasa.
0 comments:
Post a Comment