True Friend, True Love
Chapter 1, Oceanica.
Sehari sebelum pindah..
Tricia bangun agak siang hari itu. Rasanya, ia nggak mau bangun lagi dari tidurnya, karena ia takut akan berpisah dengan teman-temannya. Selain itu terlalu banyak kenangan manis yang ada di Oceanica. Pantainya yang indah, pasir putih yang lembut, angin sepoi-sepoi sepanjang hari, ombak yang terus berkejar-kejaran tanpa lelah. Namun yang terutama adalah, Rumah pohonnya.
Terletak di sebuah pohon besar yang tertanam di samping rumahnya. Rumah pohon itu punya sebuah tangga untuk naik ke atas dan di atas sana sangat menyenangka. Tricia berani jamin kalau setiap orang yang naik ke sana bakal nggak mau turun. Ia sering membayangkan bahwa dirinya sedang berada di puncak menara Eiffel, melihat pemandangan yang begitu romantis, atau berdansa di lantai tertinggi dari suatu hotel bintang lima dengan dinding kaca dan ditemani lampu remang, bulan, dan bintang yang mengedipkan sebelah matanya padanya.
Walau kenyataannya, Tricia memang nggak lagi berada di tempat setinggi itu, dan pemandangan yang ada hanyalah pantai putih dengan ombak yang tak kunjung berhenti, Tricia teteap suka tempat itu. Pemandangan itu ngggak pernah membuat dia bosen.
Selain itu, banyak lagi hal yang membuat rumah pantai ini spesial.
Tricia membangun rumah ini bersama seorang sahabat yang paling dekat dengannya. Namanya Derrick.
Di rumah pohon ini juga, Tricia sering menghabiskan waktu bareng Derrick. Dia orangnya baik, pintar, dan ganteng. Mereka udah kayak kakak dan adik, bahkan nggak sedikit orang yang mikir kalo mereka adalah saudara kandung! Mereka memang punya beberapa kemiripan, seperti mata hitam kecokelatan yang nggak banyak dimiliki oleh orang-orang di Oceanica. Ibu dari Tricia dan Derrick memang nggak berasal dari negara itu. Mereka adalah teman dekat yang sama-sama pindah ke Oceanica, untuk belajar dan akhirnya menikah di sana. Itu sebabnya warna mata mereka hitam, dan hal itu menurun pada anak-anak mereka.
Seringkali Tricia dan Derrick belajar bersama, menceritakan masalah di sekolah, atau sekedar menertawakan hal-hal yang nggak penting. Mereka jadi dekat karena ibu mereka adalah teman baik juga Tricia dan Derrick sama-sama anak tunggal alias nggak punya saudara lain.
Derrick umurnya 3 tahun lebih tua dari Tricia. Tapi, walaupun usia mereka terpaut cukup banyak, dia nggak pernah menganggap Tricia anak kecil yang nggak tahu apa-apa. Dia memang sosok kakak yang baik. Derrick juga seorang pengemudi kapal yang hebat! Ya, di Oceanica, walaupun masih remaja, kebanyakan udah punya kapal yang cukup baik untuk berlayar selama beberapa jam. Disekolah-sekolah, bahkan juga ada extra kulikuler berlayar! Menyenangkan dan menantang banget. Tentu saja pelatih mereka adalah ahli, sehingga beliau dapat memastikan teknik yang dipakai udah benar.
Tricia dan Derrick sering pergi ke laut bersama, untuk berselancar, untuk memancing, menyelam, atau sekedar berlatih berlayar atau belajar di tempat yang sepi. Kedengaran memang sedikit lucu bukan? Namun mereka sangat menikmatinya. Di kapal milik Tricia, dipasang beberapa perangkat untuk memasak. Kompor kecil dengan tenaga listrik, kulkas kecil, dan beberapa alat masak.
Saat mereka pergi memancing, tak jarang mereka akan mengolah ikan itu menjadi makanan yang enak. Bumbu untuk memasak ikan khas Oceanica itu dapat ditemui di banyak Mini Market, seperti halnya salad dingin yang sering mereka bawa untuk menemani ikan yang digoreng itu. Ditemani segelas teh manis dingin yang dibuat dengan memasukkan gula saat teh benar-benar mendidih agar larut dengan sendirinya secara merata lalu dimasukkan ke lemari pendingin.
Tricia tidak akan bisa melupakan Oceanica, dan sebenanya ia ingin tinggal di sini lebih lama. Selamanya, bahkan. Tapi Tuan Alfonso sangat dibutuhkan di BayVille, dan Tricia harus ikut kedua orangtuanya pindah ke BayVille.
Kemarin malam, orangtuanya mengadakan acara perpisahan. Acara makan malam yang cukup mewah di rumah Tricia. Banyak tangis haru di sana-sini karena mereka akan segera berpisah, dan mungkin tidak bertemu dalam waktu yang cukup lama.
Tricia sendiri sudah membuat acara perpisahan dengan teman-temannya, akhir pekan kemarin. Di awali makan siang di sebuah restoran dengan masakan seafood yang paling enak di Oceanica. Semua teman-temannya datang untuk mengucapkan perpisahan dan memberi semangat pada Tricia. Lalu mereka ‘berpindah’ ke sebuah kolam berenang di kompleks perumahan Tricia. Kolam renang itu mirip seperti waterbom, hanya skalanya lebih kecil. Mereka tidak langsung berenang karena habis makan siang, tapi toh akhirnya mereka berenang sampai sore. Malamnya, beberapa teman perempuan yang dekat dengan Tricia menginap di rumah. Lebih ke arah ‘sleepover’ sebenarnya. Mereka nonton 3 film, makan snack ini dan itu, minum beberapa botol minuman ringan, main perang bantal, dan bercerita ini dan itu. Setelah semua capek dan kenyang, baru mereka tidur dalam kantung tidur masing-masing. Seru banget!
Hari ini adalah perpisahannya dengan Derrick.
Tricia bakal kangen suaranya, atau ekspresi wajahnya yang selalu – bukan kadang-kadang – agak berlebihan, belaian lembut tangannya di kepala Tricia. Ya, mereka memang kaya kakak adek banget.
Tentu saja Tricia nggak pengen pisah dari Derrick. Rasanya kaya berpisah sama saudara sendiri. Terlalu susah. Derrick selalu ada buat Tricia dan begitu juga sebaliknya.
Tricia merenung. Tanpa sadar, setetes air mata jatuh di pipinya. Ia langsung berlari ke tempat di mana ia bisa menenangkan diri.
Rumah pohon.
Dan di luar dugaan, sepertinya bukan cuma Tricia yang pengen menenangkan diri.
Derrick juga ada di rumah pohon.
“Kakak? Ngapain di sini?” tanyanya pada Derrick. Tricia memang terbiasa memanggilnya kakak sejak dulu. Wajah Derrick agak pucat, nggak seperti biasa. Tricia udah mau melanjutkan kalimatnya namun nggak 1 katapun keluar dari tenggorokannya. Triciapun mengurungkan niatnya.
Sepertinya Derrick menyadari mata Tricia yang agak sedikit sembab.
“Triz.. Kamu abis nangis? Kenapa?” tanya Derrick khawatir sambil menghampirinya. Derrick membelai rambut Tricia seperti biasa. Begitu menenangkan. Air matapun mulai mengalir pelan ke pipi Tricia. Derrick menatap wajah adiknya itu sambil menghapus air mata di wajah Tricia. “Jangan sedih dong,Triz. Semua bakal baik-baik saja kok.” Yahh, itulah Derrick. Dia nggak pernah menunjukkan kesedihanya kalo Tricia juga lagi. Mereka lalu duduk bersebelahan di pinggir teras rumah pohon. Mereka berdiam diri, berkutat dengan pikiran masing-masing sekian lama. Akhirnya Derrick membuka percakapan. “Triz, ini hari terakhirmu di sini kan?” tanya Derrick, seakan meyakinkan diri kalau sahabat terbaiknya akan pergi, walau untuk sementara.
Sepertinya memang agak berlebihan, untuk sedih berlarut-larut, tapi mereka memang udah terbiasa ketemu setiap hari. Udah menjadi kebiasaan mereka.
Tricia lalu mengangguk.
Derrick mengeluarkan suatu kotak kecil dengan kertas kado bercorak indah dari jaketnya.
“Ini hadiah dari kakak. Bulan depan, waktu kamu ulang tahun, kita belum tentu bisa ketemu. Jadi, happy birthday, Triz.” Katanya sambil memberikan kotak kado itu.
“Aku harap kamu nggak akan ngelupain kakak dan Oceanica.” Suaranya terdengar agak bergetar dan matanya menerawang jauh menatap matahari yang hampir terbenam.
“Sekarang, kamu pulang dan istirahat yah. Besok bakal jadi hari yang panjang, Triz. Kalau kamu ada apa-apa, bilang aja sama kakak. Oke?”
Katanya mantap. Tricia mengangguk.
“Tentu, kak. Terimakasih.” Jawab Tricia tulus. Sekali lagi Derrick membelai kepala Tricia, untuk terakhir kalinya sebelum ia pindah. Akhirnya Tricia berdiri dan pulang. Derrick mengantarnya sampai ke depan rumahnya. Mereka sadar kalo mungkin itu akan jadi terakhir kali mereka ketemu selama beberapa waktu kedepan. Derrick, entah apa yang mendorongnya, memeluk Tricia. Triz kaget, namun membalas pelukan itu. Pelukan perpisahan 2 sahabat, 2 saudara.
Tricia langsung masuk ke kamar dan berganti pakaian setelah Derrick pulang.
Tiba-tiba dia inget hadiah yang dikasih Derrick. Dia lalu membuka kado itu.
Ternyata isinya adalah sebuah sarung handphone beludru warna merah muda, dengan pinggiran yang pink tua, dan tulisan “Tricia” di bordir dengan warna perak.
“Terimakasih.” Bisik Tricia pelan. Ia mengenggam erat tempat HP itu. Ukurannya pas banget buat HP Tricia. Waktu dia mau memasukkan Hpnya ke tempat itu, ada surat yang terlihat di dalamnya.
“Dear Tricia..
Tricia harus lebih semangat di BayVille nanti..
Jangan sedih terus seperti beberapa hari ini..
I’m happy if you are.. J
Jangan lupain kakak dan semua teman-teman di sini..
Kami bakalan selalu sayang sama kamu dan inget kamu..
U are my best friend and sister ever..
I’ll miss you, Triz..
Derrick.”
Tricia membaca
Tricia lalu menyimpan surat itu di satu kotak khusus. Ada banyak hadiah kecil dari Derrick, foto-foto mereka, dan sekarang surat itu, yang terdapat dalam kotak kayu yang lagi dipegang Tricia itu.
Besok paginya..
Tricia bangun pagi-pagi. Sekarang ini, dia udah lebih siap pindah ke BayVille. Setelah saat teduh dan mandi, Tricia keluar ke ruang makan. Koper-koper papa dan mama sudah siap di depan pintu. Papa dan mama rupanya sedang sarapan pagi sambil berbincang-bincang.
“Triz? Sudah siap rupanya? Kita berangkat 30 menit lagi, sayang.” Kata mamanya.
“Ya ma, aku udah siap, kok.” Jawab Tricia sambil menarik kursi di meja makan dan duduk.
Sepotong cheese cake dan secangkir cokelat yang masih mengepul telah menunggunya pagi itu.
Hmm, makanan ini mengingatkan Tricia akan sebuah café di Oceanica dengan view yang bagus banget dan menyediakan makanan yang enak-enak. Dia sering makan di tempat ini sama Derrick.
Sambil menikmati cake, dia memikirkan sekolahnya di BayVille nanti.
Di BayVille nanti, Tricia akan bersekolah di BayVille Junior High. Untungnya, atasan Tuan Alfonso memindahkan beliau waktu kenaikan kelas, jadi Tricia nggak bakal kewalahan mengikuti kurikulumdi Bayville yang pasti berbeda dari kurikulum Oceanica.
Setelah sarapan, Tricia mengecek lagi barang-barangnya dan mengeluarkan koper dari kamarnya. 3 buah koper besar berwarna pink muda dimasukkan ke mobil. Keluarga Tuan Alfonso pun berangkat ke Bayville.
Mobil keluar dari halam rumahnya yang besar itu, menandakan perjalanan panjang keluarga Alfonso sudah dimulai. Mobil mereka lalu melewati lahan besar dengan sebuah pohon besar ditengahnya dan sebuah rumah di atas pohon itu. Rumah pohon Tricia.
Melihat pemandangan ini, mendadak Tricia jadi teringat Derrick. Berbagai kenangan merasuk pikirannya. Cara Derrick membelai kepalanya, menatapnya, menyayanginya sebagai adik satu-satunya membuat Tricia merindukan sahabatnya saat itu. Setetes air mata membasahi pipi Tricia. Tapi Tricia segera mengusap air mata dari pipi dan matanya sebelum papa dan mama sadar.
Keluarga Alfonso tiba di bandara GOCEANY tak lama kemudian. Setelah check-in, mereka menunggu pesawat di sebuah Lounge yang. Tricia lalu mengeluarkan ponsel kesayangannya dari kantung pink pemberian Derrick.
Tricia menatap layar gelap ponselnya yang mati sejak kemarin, berpikir sejenak, lalu menyalakan HPnya.
Ternyata sudah ada 3 sms. Tiga-tiganya dari Derrick.
“Triz.. apa kamu sudah tidur?”
“Rupanya sudah tidur ya? Baiklah, selamat malam Triz.. mimpi indah ya, besok hari yang panjang buat kamu.”
“Triz, makasih ya jaketnya. Tadi aku ke rumah pohon dan melihat bungkusan cokelat dari kamu. Aku suka warna birunya, biru laut, warna kesukaanku, kesukaan kita. Makasih Triz, aku suka banget. Aku mau pakai pagi ini untuk berlayar. Inget, kita tetep sahabat, tetep sodaraJ”
Oh, rupanya Derrick sudah menerima pemberian Tricia?
Dia memang tidak sanggup memberikannya sendiri. Tapi dia udah menulis sepucuk surat untuk Derrick dan menyelipkannya di bungkusan itu. Jadi, yahh, Derrick sudah tahu apa yang ingin Tricia katakana lewat surat itu. Dia juga senang Derrick suka jaket itu.
“Kak, maaf baru balas smsmu. Aku senang kakak suka jaketnya. Kak, aku berangkat dulu. Jaga diri kakak baik-baik yah. J” Ia membaca lagi pesan itu, lalu dikirim pada Derrick.
Ia meyakinkan diri, bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Ia masih akan bertemu dengan Derrick, mendapat banyak teman baru.
Tak lama, merekapun dipanggil untuk naik ke pesawat..
Tricia bergegas mematikan ponsel, memasukkannya ke kantung pinknya, dan memasukkannya ke dalam tas yang dibawanya. Sambil berjalan ke pesawat dia ingat surat yang dia kasih ke Derrick.
“Dear Derrick,
Makasih udah jadi sahabat yang baik,
Makasih udah jadi kakak yang sayang banget sama aku,
Maaf kalau aku sering salah,
Hope you’ll have a good life,
Ini bukan akhir persahabatan kita, kan?
Triz~”
Ya, ini bukan akhir dari segalanya, Triz. Ia meyakinkan diri.
0 comments:
Post a Comment