Tuesday, June 23, 2015

Untuk kamu yang selalu tersenyum

Hai kamu yang berumur 18 tahun 11 bulan 6 hari :)

Apa kabar?
Sudah terlalu lama kita nggak bertukar cerita.

Gimana kuliahmu? Bisa mengikuti dengan baik kan? I hope you're having so much fun :)

Aku seneng banget di sini. Ketemu banyak banget temen-temen yang nge-dukung terus, menyemangati terus sekolahku, walaupun enggak gampang. Semoga kamu juga punya temen-temen kayak gini ya :)

Eh, 1 bulan lagi kamu ulang tahun.
3 tahun lalu, aku di Amerika, di New York, di Pulau Liberty, menatap ke patung terkenal itu.
2 tahun lalu aku di Semarang, kota kelahiran kita.
1 tahun lalu aku di Pulau Sulawesi, di kota Palu.
Meski aku tidak selalu dekat, aku tidak pernah lupa ulang tahunmu. Dan berapapun pulsa yang harus aku keluarkan, aku selalu menyempatkan memberimu selamat.
Aku harap di hari-hari itu harimu menyenangkan :)

Maaf ya, tahun ini aku akan melewatkan menyelamatimu. Aku rasa sudah saatnya :)
Masih sebulan lagi ulangtahunmu, tapi rasanya sudah kuputuskan ini dari setahun lalu.
Bukan aku tidak peduli lagi padamu. Bukan aku lupa kamu. Tapi kamu sudah jadi milik orang lain—kamu sudah punya orang lain. Bukan tempatku lagi 4 tahun, 5 tahun berturut-turut tiba-tiba muncul di hari ulang tahun.

Meskipun demikian, doaku selalu ada untuk kamu. Doa untuk kamu selalu bahagia.
Tahukah kamu, setiap bisa mencuri kesempatan menanyakan kabarmu, hanya itu yang ingin aku dengar. Kamu sehat, dan bahagia. Aku berdoa juga kamu dikelilingi orang-orang yang bisa membuatmu lebih baik dari hari kemarin. Sama seperti, in a way, kamu pernah membantuku berubah menjadi orang yang lebih baik.

Hei kamu, sadarkah kamu kalau kamu itu seorang ‘history maker’? Kalau kamu belum mengubah dunia, setidaknya kamu sudah mengukir sejarah untukku. Gara-gara kamu, aku kecanduan Pulau Bali. Segala aspeknya kini terlihat cantik untukku, bahkan udaranya saja sudah sangat sakral untukku. Aku ingin selalu ada di sana.

Setiap tikungan jalan membawa kembali percakapan seru kita.
Setiap deburan ombak mengingatkanku untuk tersenyum.
Dari yang setiap dua tahun kelai, sekarang aku ketakutan kalau tidak bisa mampir ke pulau cantik itu.
Takut kebahagiaanku tidak nambah; takut pulau itu lupa cerita kita.

“Cerita kita”? Haha, iya. It sounds so wrong now. Lantas kenapa aku terus mengingatnya?
Entah. Semoga waktu menjelaskannya suatu hari nanti.

Oh ya, jangan khawatir kalau kamu tidak ingat semua ini—bagus malah.
Wanita mana yang mau pria-nya mengingat cerita lain selain cerita mereka berdua? :)
Tapi tolong jangan lupa kehadiranku di dunia.
Kalau kita tidak akan pernah bertemu lagi—kuharap sih kita akan tetap bertemu, tapi kalau sampai tidak—aku harap kamu tetap ingat aku.
Ingatlah aku sebagai mantan teman sekelasmu.
Ingatlah aku sebagai gadis dengan suara dan tawa aneh.
Ingatlah aku sebagai si pintar yang sayangnya malas.
Ingatlah aku sebagai apapun, aku tak peduli.
Tapi ingatlah aku dan mungkin—kalau ada—senyum yang pernah kumunculkan di wajahmu.

Aku mungkin akan segera lupa cerita kita.
Aku takut, sungguhan takut.
Tapi aku akan selalu ingat kamu. Kamu, teman, anak cowok dengan senyum paling keren seangkatan, dia yang lumayan cakep. Aku akan ingat kamu, Bali, Liberty Island, Lancaster, and all the fun we had.

Terima kasih…

Selamat ulang tahun yang lebih awal 1 bulan.
_7123_

Monday, June 15, 2015

Soul-Mate

Sore ini, Mike berbaik hati mentraktirku bubble tea kesukaanku. In return, untuk yang kesekian kalinya aku harus bersedia mendengar dia berceramah tentang semesta, kosmos, dan kadang, kami. “You really love this impulsive conversation yang kadang nggak penting ya, Mike?” Aku mengeluh.
Mike tertawa. “It keeps me sane, Rose.”

Aku menggeleng saja. Diam-diam aku sebenarnya menyukai percakapan-percakapan ini.

Mike adalah teman kecilku, yang tumbuh menjadi sahabat terbaik yang pernah kupunya. Di saat teman-teman perempuanku sibuk bergosip dan membicarakan model rambut terbaru di kafe paling hits, aku bisa asik nongkrong di samping lapangan basket bersama Mike.
Lama-lama, kami sadar kalau kami punya satu chemistry yang nggak dimiliki banyak orang. Kami bisa ketawa-ketawa bareng over simple things. Inside jokes, that’s what people call it. We have tons of those.

Sangking eratnya, kami nggak tahu bagaimana mendefinisikan hubungan kami. Sahabat? Iya. Sayang satu sama lain? Iya. Kalau begitu, pacaran? Nggak. Kami merasa hubungan kami belum sampai di sana – meski nggak menutup kemungkinan itu. Jadi, HTS? Hmmm.. Kira-kira begitu. Tapi mana kami peduli? Manusia terlalu sibuk melabeli segala sesuatunya, yang nggak sebenarnya perlu dijelaskan dengan one single word. Eh, mungkin itu nggak sepenuhnya benar. Entah, mungkin aku sudah terlalu banyak mendengar ceramah kosmosnya.

“Rose, can I ask you something very absurd?”
“Go for it,” kataku. Dia sudah terlalu sering menanyakan hal ini.

"Have you ever wondered if we ever got married?"
Aku hampir menyemburkan bubble tea dari mulutku. Lalu aku terbatuk kecil. Tertawa. Tiba-tiba nervous.  
"Kayaknya kecepetan deh, Mike. Belum waktunya mikirin gituan." Like I said, walaupun belum sampai sana, kemungkinannya ada.

Dia ikut tertawa, agak pilu. "Okelah, pacaran dulu."

Aku menghela nafas. "Nggak pernah kebayang," aku memelankan suaraku.

"Tapi kalau aku minta, kamu mau?"

Aku lantas diam. Berpikir. Keras.

Menolak dia? Hatiku bisa lonjak-lonjak marah. Aku sayang sama orang ini. Sepenuh hatiku, segenap pikiranku. Aku sudah mengenalnya sepanjang hidupku, dan akan sangat aneh untuk melanjutkan perjalanan hidupku tanpa dia, kalau aku menolaknya.
Tapi.. Menerimanya... sekarang?

Akhirnya aku hanya bisa mengalihkan arah pembicaraan.  "Aku belum ada plan buat serious relationship, Mike."
Ekspresi wajahnya tidak berubah, karena dia bukannya tidak tahu ini. Tetap agak tegang. Lalu dia bertanya, "Emangnya what do you have in plan?"

Ditanya tentang apa rencanaku, mataku agak berbinar. Berbicara tentang rencana dan mimpi selalu membuatku sedikit tersenyum, walau kali ini ada sedikit rasa miris.
"Kamu tahu aku pernah pengen keliling dunia, Mike. And I still do. Keliling pantai Indonesia, lalu pergi ke New York, London, Paris, South Africa. Menghabiskan setahun, minimal, di perjalanan itu. Terus kerja di dunia teater di New York, atau London, which will take at least two years. Aku pengen pergi ke kampung-kampung kecil juga, jadi volunteer di sana. I dream of a very free life, Mike."

"I remember. You want an adventure before you settle. With no string attached. Unbounded by anything. But that was, what, like 3 years ago? Kenapa kamu masih di sini sekarang? Kenapa kamu belum pergi?”

Aku menunduk. Aku tahu persis kenapa. Tapi aku ngak tahu apa aku bisa mengatakannya ke kamu.
 "I just want to be myself for that few years and do whatever I want. Tapi aku nggak tahu apa yang akan terjadi setelah semua itu. Aku nggak tahu apakah setelah itu aku bakal balik ke sini, atau aku bakal terus berkeliling. Aku nggak tahu apa yang bakal aku lakukan for a living setelah itu.”
Tapi sepertinya dia langsung mengerti walaupun hanya tersirat saja kusampaikan pesanku. Sorot matanya lantas melembut. Dia menggeleng perlahan, lalu menyentuh daguku pelan membuat wajahku menghadap langsung ke wajahnya.
"You need me, I need you, but you still need to go. You can't settle down just yet."

Aku belum bisa hidup dengan komitmen. Aku masih harus pergi, mengepakkan sayapku di luar sana. Tapi dia membutuhkanku. Dan aku membutuhkan dia.

Dia menangkap semuanya, secara jelas, hanya dalam tiga-empat pertanyaan.
Aku mengangguk.

Inilah kenapa aku belum pergi.
Dia bisa memahami jalan pikirku, tanpa perlu kujelaskan. Hal yang jelas membuatku kagum padanya, karena sering kali akupun tidak mengerti pikiranku sendiri. Dan kualitas ini tidak pernah kutemukan dalam diri orang lain.
Aku tidak bisa membayangkan berbagi hidup bersama orang yang tidak bisa mengerti apa yang sedang kupikirkan. Di saat yang sama, aku harus pergi: mimpi-mimpiku harus jadi kenyataan. Tapi kalau aku pergi, apa yang kami punya bisa saja hilang, dan aku belum siap mengambil resiko itu.
“Rose, don’t overcomplicate things. Mimpi-mimpi kamu sudah menghantui sekian lama. Go, live that dream. I haven’t completely achieve my dreams either, aku masih dalam perjalanan merebut mimpiku sepenuhnya.”
Aku masih kukuh, “Pergi nggak segampang itu, Mike.”
“Jangan dibuat susah, dong.  Kamu akan melakukan perjalanan yang bakal jadi memori seumur hidupmu. Be excited about it! Apa yang membebani kamu? Keluargamu? Beri tahu saja ke mereka, kalian masih ada di satu dunia yang sama. Teknologi sekarang sudah semakin maju, dan kalian masih bisa sering bertemu. Kamu bisa mengatur jadwal perjalananmu sehingga kamu bisa sering lewat Indonesia, atau ajaklah mereka mengunjungimu sesekali.”
Aku mengangguk, mau tak mau setuju. Orang tuaku akan paham: inspirasiku keliling dunia ya mereka itu. Tapi bagaimana dengan kamu, Mike?
“As for me, and ‘us’, we’ll just take it one day at a time. We’ve been best friends for twenty-something years, Rose. I’m sure we can still be best friend even when you’re halfway around the world. Dan kalau, kita ngerasa we need to be fighting for something more, ntar kita pikirin lagi. Lagian semesta bakal kasih tahu dan bantuin kita kok kalau emang kita beneran punya sesuatu yang lebih.”
Aku mengangguk lagi. See that universe-thingy? I’m really going to miss that. “Aku cuma takut kalau this magical connection we’re in bakal berhenti, Mike.”
Dia tersenyum dan menggeleng. “Never. It’s impossible to make this ride stop.”

Dia lalu memberi satu senggolan ke bahuku. “Jadi, kapan kamu mau berangkat? Aku ikut bantuin kamu bikin itinerary dan pesen-pesen tiketnya.”
“Mike, you’re very creepy, you know. Kamu tahu semua yang aku pikirkan, and you know all the right words to say,” bukannya menjawab, aku hanya mendesah lega dan menutup mataku dengan sebuah senyuman.

“Well, maybe that’s because I’m your soul mate.”

-*^^*-
Best friend first.

He sees right into me. Bukannya tanpa bertanya; dia mengartikan setiap kataku persis sebagaimana aku memaknainya.

Saturday, June 13, 2015

Get Well Soon

"Kamu di mana?"
"Di rumah kok."

Lalu,
Ting-Tong!

"Bukain dong."

Aku melihat intercom yang berdentang.  "Kamu..?"

"Dingin nih. Hehe," suaranya kini muncul dari speaker telepon dan intercom. Aku sekilas melirik piyamaku. Tapi, ah, masa bodoh. Tiba-tiba saja dia menelepon, ternyata sudah di bawah sana. Aku segera memencet tombol membukakan pintu depan dan memberi akses lift ke lantai unitku. 

Tidak lama, suara ketukan pintu terdengar, dan aku cepat membuka pintu. Begitu aku menangkap sorot matanya, aku menangkan perubahan di sana. Dia tersenyum pilu.

"Kamu pucet banget."

Aku menggaruk kepala, mengangguk. Badanku memang nggak bisa diajak kompromi. Suhu udara yang semakin dingin  berhasil membuat suhu tubuhku naik. Meriang hebat.

"Mau masuk?" Tanyaku, ragu.
Tapi dia menggeleng. "Nggak usah. Aku mau jalan lagi nih. Cari makan. Kamu udah ada makanan belum?"

Aku mengangguk. "Bubur tadi siang  masih banyak."

"Obat?"

"Udah minum barusan."

Dia mengangguk mantap. "Oke deh."

Sekali lagi pandanganku dan pandangannya beradu. Dia menyunggingkan seulas senyum, kecil. Cakep. 

Dia lalu mengangkat sebuah paper bag di tangan kirinya. "Nih buat kamu."

Aku spontan tersenyum kecil. "Apaan?" 

"Sweater, biar kamu anget. Udah ya, duluan. Kamu istirahat. Dah."

Dia mengangguk sambil mengangkat sebelah tangan. "Cepet sembuh." Lalu dia berlalu. 

Singkat saja pertemuan kami kali ini. Tapi berhasil membuatku tersipu dan tidur tersenyum. Dan paginya, setelah tidur sesore, aku bangun dengan tubuh yang jauh lebih segar. Masih dipeluk sweater baru. 


-*^^*-
Sincere. More action, less words. Selfless. 

Friday, June 5, 2015

Untuk Kamu Yang Hanya Ada di Sudut Pikiranku

Sial. Aku benci mengatakan kata ini, tapi kali ini aku benar-benar sial. 
Bisa-bisanya kamu begitu?

Ku kira kamu sahabatku. 
Tapi bagaimana bisa kamu tidak membiarkan aku benar-benar pergi? Utuh? Lepas?

Aku sudah berusaha pergi. Aku sudah berhasil lupa. Tapi kamu terus menahanku di sini; memberiku berbagai memori dan mimpi baru. 
Maumu itu apa?

Mauku, kamu tinggal bersama dia yang sudah 3 tahun penuh menemanimu, dan membiarkanku yang sudah 4 tahun tertatih akhirnya berjalan jauh. 
Maumu itu apa?

Di alam bawah sadarku, bukannya mengumbar foto romantis bersama kekasihmu, kamu malah hanya mengupload tempat romantis itu. Bukannya mengundangku ke acara bahagiamu, kamu malah tiba-tiba memintaku menjadi bagian intinya: menjadi orang yang berbagi bahagia denganmu.
Bagaimana lagi aku harus menolakmu?

Aku bahagia tanpa kamu!
Aku yakin itu. 
Berilah aku kesempatan untuk membuktikannya padamu. 
Kecuali..

-*^^*-

Kamu mendekat dan menjauh dalam setiap hembusan nafas
Seperti perahu kertas, terayun terbawa ombak.. Entah ke mana.....

Thursday, June 4, 2015

Antara 'Iyaa' dan 'Tidak'

“Hei, pipi bakpao.”
Aku langsung menoleh, merengut. “Apaan sih,” aku menanggapi singkat.
Dia cepat mengelus puncak kepalaku supaya aku tidak lama-lama merengut, tapi otakku keburu menyampaikan pesan lewat mulutku, “Cewek itu nggak suka dibilang gendut.”
Dia terkekeh, sambil duduk di sampingku. “Lho kan aku nggak bilang kamu gendut. Aku cuma bilang pipimu mirip bakpao.” Dia lalu memperagakannya, menaruh dua telapak tangan yang dicembungkan ke kedua pipinya. Aku tambah mendengus kesal.

Dia lalu tersenyum, menurunkan tangannya. “Bete kenapa nih ceritanya?” Dia menyadari ketidak-ceriaanku.
Aku menghembuskan nafas berat. “Tugasnya capek banget gila.” Aku menggeleng. Benar-benar seminggu ini aku seperti dilindas truk raksasa. Tubuhku remuk, otakku bahkan sudah tidak bisa berpikir. Tidurku super larut dan bangunku selalu kesiangan walaupun alarmku sudah frustrasi teriak-teriak.
Dia mengerti. Tugasnya juga tidak kalah berat. Apalagi jurusan bisnisnya menuntut dia untuk senantiasa aktif belajar.

Sebentar saja menikmati rumput tempat kami duduk dan angin yang sepoi, aku melirik jam. Sudah waktunya pulang. Waktu refreshing sudah habis, saatnya kembali ke tugas. Aku beranjak berdiri, dan membuat dia yang sedang menutup matanya terlonjak kaget. “Loh, mau ke mana?”
Aku tersenyum miris, “Nugas.”
Dia meggeleng, “Nggak boleh. Kamu udah keluar asep gitu. Udah nggak bisa ketawa. Sini dulu.”
Aku ganti menggeleng, “Masih banyak yang belom dikerjain.”
Dia menarik tanganku untuk duduk lagi, tapi malah dia yang akhirnya ikut berdiri. “Jangan pulang dulu lah. Hot chocolate mau nggak?” Dia membujukku. Ah, my Achilles’ heel. Tapi bukan moodku hari ini.
“Gelato boleh?”
Matanya membelalak, “Dingin-dingin gini kok minum es krim.”
Aku terkekeh. “Es krim itu bukan diminum, di makan,” aku mengkoreksi dengan teliti dan membeberkan alasanku, “Biar otaknya adem. Angin doang nggak nolong nih.”
“Ketawa juga akhirnya,” justru itu komentar pertamanya. “Tapi ntar sakit dingin-dingin. Besok aja kalo udah anget.”
Aku menyipitkan mata, berusaha membuatnya berubah pikiran. Dia akhirnya setuju untuk mengunjungi kedai es krim yang juga menjual hot chocolate. Best of both worlds.

Aku lalu sadar, dia belum juga melepaskan genggamannya.

-*^^*-

Kami duduk berseberangan beberapa menit. Dia menyesap hot chocolate-nya yang mengepul sambil berkutat dengan smartphonenya, sementara aku dengan giat menjilat es krim Bailey’s-ku yang sebenarnya tidak akan meleleh dengan cuaca seperti ini.

Tiba-tiba smartphone-nya berbunyi, dan dari ring tone-nya aku langsung tahu dari siapa.
“Halo? Iya bentar lagi nyampe kok. Bentar ya. Dahh.”
‘Gebetan’, ‘cewek’, ‘calon’, apapun sebutannya. Aku menggoda. “Udah dicariin calon?”
“Calon? Apaan sih.” Dia terlihat salah tingkah, walaupun lalu mulai mengemas dompet dan smartphonenya. Lalu sekali lagi dia menyentuh ujung kepalaku.

“Jangan sampe stress belajarnya. Tidur yang cukup. Aku duluan yah. Es krimnya kubayarin. Dahh.” Dia lalu beranjak pergi, tanpa memberiku kesempatan untuk berkata-kata. Hanya bisa melambaikan tangan dan tersenyum tipis.

Eh, aku bahkan tidak sempat menolak traktirannya.



Sekarang, saat aku hanya duduk sendiri, berbagai potongan rekaman dan perasaan mulai muncul ke permukaan pikiranku.
Muncul wajahnya saat dia mengajakku ke tempat ini. Sensasi saat tangannya menyentuh pucuk kepalaku. Perasaan hati yang hangat saat dia menggenggam tanganku agak terlalu lama tadi.
Betapa itu semua membuatku merasa sangat nyaman dan hangat.
Tapi buru-buru aku menepis semuanya. Sebentar lagi dia bakal jadi milik orang lain, dan aku tidak mau jadi orang ketiga di tengah-tengah mereka. Jadi aku menarik sebuah nafas, menyimpan semua rasa bahagianya di hati, lalu menghembuskan perasaan candunya keluar. Menarik sebuah nafas lagi, lalu menghembuskannya untuk melepas semua keinginan dan harapan, sepenuhnya.

Dia akan selamanya jadi sahabat baikmu. Orang yang peduli sama kamu. Dia akan terus memperhatikanmu. Tapi bukan dengan emosi yang seperti itu; jangan sampai kamu salah artikan, aku mengkuliahi diriku sendiri. Aku mengangguk sendiri, Makanya, cepet cari pacar. Dasar otak, bisa nyeletuk sendiri. Tapi aku setuju. Dan dia tidak akan masuk di daftar-pendekku.

Dia sangat, sangat baik. Cakep juga. Tapi sekali lagi, aku terpaksa jauh-jauh menghalau namanya dari hatiku. Dia sudah hampir menjadi milik orang lain, dan aku tidak akan bisa—heck, aku tidak mau—memisahkan mereka. Mereka terlihat terlalu cocok berdua. Apalagi karena ‘orang lain’ ini adalah orang yang pernah lebih dulu menempati rahim darimana aku dilahirkan.