Sebungkus sandwich mendarat di lekukan buku di depan Litta.
Litta melirik tajam ke pemberinya, sahabatnya yang super bawel itu.
“Udah seminggu lo miss lunch. Nggak sehat belajar terus,
makan gih,” Art menjelaskan.
Litta menggeleng. “Enggak laper kok, lagian nggak boleh
makan di sini,” katanya sambil menunjuk ke salah satu dinding perpustakaan, ke
poster bertuliskan peraturan-peraturan perpustakaan.
“Ayolah, ntar belajar lagi. Gue tahu lo nervous buat exam
minggu depan, tapi belajar terus kayak gini nggak bakal bikin lo tambah pinter.
Yang ada tambah stress lo ntar. Gue kan udah janji mau ajarin lo juga weekend
ini. Yuk.”
Litta mengalah. Sandwich dihadapannya terlihat menarik.
Dengan cepat dia meringkas buku dan alat tulisnya, dan mengikuti Art yang sudah
duluan menuju pintu keluar.
Art memilihkan mereka sebuah kursi taman di bawah pohon
besar di ujung lapangan luas ini. Sembari menyeberangi lapangan, Litta
merasakan angin berhembus kencang ke arah wajahnya. Juga jantungnya yang berdebar
cepat dan kupu-kupu yang mulai berterbangan di perutnya saat melihat Art
berjalan di depannya.
Momen seperti ini…
Art mengeluarkan sandwich bagiannya begitu mereka berdua
duduk, dan di lima menit pertama, mereka makan dalam diam.
“Thanks ya, udah bawain gue ini,” Litta memecahkan
keheningan di antara mereka.
Art tersenyum kecil dan mengangguk seadanya.
“Tau nggak, gue belajar sebuah filosofi baru loh waktu bikin
sandwich ini. Gue belajar kalo perasaan gue tuh kaya sandwich gini.”
Litta mengerutkan alisnya. Apa sih artinya? Dia tidak yakin
apakah itu hal yang baik atau malah sebaliknya. Jantungnya kembali berdebar
cepat. Khawatir.
“Gini nih, di dalam sandwich ini, ada banyak layers kan? Ada
roti, ada mayo, ada lettuce, tomat, ham, keju. Nah, tiap layer punya rasa
masing-masing. Roti sama lettuce mungkin nggak terlalu ada rasa lah. Tomat, gue
nggak suka. Cenderung kecut, lo tau gue nggak suka yang kecut gitu. Kebalikannya,
ham gue doyan banget. Keju gue juga enjoy.”
Litta sempat tertawa kecil mendengar separuh penjelasan Art
ini. Art berhenti sebentar, ikut terkekeh, walaupun matanya masih bersorot
serius. Lalu dia siap melanjutkan.
“Layers ini satu per satu mungkin mereka not much. Ada yang
nggak enak, ada yang enak banget, ada yang biasa aja. Tapi tanpa elemen-elemen
ini, sandwich gue nggak bakal seenak gini. Dijadiin satu, semua layers ini
menyumbang sebuah rasa yang unique, yang membuat makanan ini taste good.”
Di sini, Litta mulai bisa menebak arah pembicaraan ini. Topik
yang selalu membuat hatinya bergejolak dan lidahnya kelu. Menyiapkan diri,
Litta melemparkan pandangannya ke tengah lapangan, mencari ruang untuk berpikir.
“Gue sadar, ini yang lagi gue rasain, Lit. A sandwich of
feelings. Ada perasaan yang nggak enak. Sisi yan harus berkorban lah, yang
nggak pasti lah, yang confusing juga. Ada yang enak juga. The ecstasy is there.
It’s like a rainbow. Like a roller coaster. Like you want to only give out your
best. You just want to smile all the time. Ya lo tau lah, all those craziness yang
gue sering ceritain ke elo.”
Art berhenti sebentar, menarik sebuah nafas panjang, dan
mengangguk mantap. “This sandwich has a name, Lit. Falling in love. Sekarang
gue ngerti kalau apa yang gue itu rasain itu namanya falling in love.”
Litta sedikit terperangah, Art akhirnya sadar?
Art memang sering menceritakan arrhythmia perasaannya, tapi
tanpa menyebutkan sebuah nama yang spesifik. Nggak heran, walaupun mereka sudah
kenal selama 3 tahun, Art memang orang yang super tertutup. Tapi kalau sekarang
Art sudah mendefinisikan perasaannya.. Bolehkah dia bertanya? Beranikah hatinya
menerima apapun jawabannya?
“Perasaan lo ini, Art…
Emang lo lagi falling in love sama siapa?”
Art membiarkan hembusan angin yang kencang ini berlalu,
sebelum merumuskan jawabannya. Dia terkekeh. “Gue belum bisa kasih tahu
siapanya sekarang Lit. Tapi soon gue pasti kasih tahu ke elo kok, gue cuma belum
siap aja. Gue masih berusaha belajar menikmati sandwich ini as a whole, nggak
coba memilah-milah layersnya lagi.”
Litta coba tersenyum. Dan mengangguk. Dalam hati dia sungguh
berharap…
“Lit, kalo ntar gue butuh bantuan elo, lo mau bantuin gue
kan?”
Di sini, harapan Litta langsung pupus. Butuh bantuan…mendekati
orang itu kah? Begitukah?
Pikiran Litta langsung blank diberi asumsi seperti ini. Art meminta
bantuan, artinya untuk pihak ketiga kah? Berarti… Berarti bukan dirinya? Bagaimana
dia bisa membantu Art mendekati orang lain ketika dia yang begitu dekat sendiri
menyimpan rasa yang besar untuk Art? Tapi Litta tidak bisa menjawab ‘tidak’
kepada sahabatnya ini, cepat dia cuma mengangguk satu kali. Sambil menggigit
bibir.
Art tersenyum lebar. Dengan lebih ringan, dia menghabiskan
sandwichnya, memaknai setiap gigitannya sebagai menerima kenyataan bahwa
dirinya jatuh cinta.
Sementara Litta mendadak tidak lapar. Sandwichnya terasa
hambar sekarang.
-*^^*-
March 28, 2015 - Litta,
ini adalah hari pertama gue menyatakan perasaan gue. Over a sandwich. Lo terlihat
langsung pucet waktu gue bilang minta tolong. Pasti lo pikir gue minta tolong
untuk deketin gue ke cewek lain kan? Padahal kebalikannya.
Maaf ya udah bikin lo shock gitu. Tapi bukan ini harinya elo tahu.
Someday, gue akan bilang dengan lebih jujur. Dan kalau nanti lo dan gue udah
sama-sama siap, we’ll slay the dragons of this world together. I promise.
-*^^*-