Saturday, March 28, 2015

Layers of Feelings

Sebungkus sandwich mendarat di lekukan buku di depan Litta. Litta melirik tajam ke pemberinya, sahabatnya yang super bawel itu.
“Udah seminggu lo miss lunch. Nggak sehat belajar terus, makan gih,” Art menjelaskan.
Litta menggeleng. “Enggak laper kok, lagian nggak boleh makan di sini,” katanya sambil menunjuk ke salah satu dinding perpustakaan, ke poster bertuliskan peraturan-peraturan perpustakaan.
“Ayolah, ntar belajar lagi. Gue tahu lo nervous buat exam minggu depan, tapi belajar terus kayak gini nggak bakal bikin lo tambah pinter. Yang ada tambah stress lo ntar. Gue kan udah janji mau ajarin lo juga weekend ini. Yuk.”
Litta mengalah. Sandwich dihadapannya terlihat menarik. Dengan cepat dia meringkas buku dan alat tulisnya, dan mengikuti Art yang sudah duluan menuju pintu keluar.

Art memilihkan mereka sebuah kursi taman di bawah pohon besar di ujung lapangan luas ini. Sembari menyeberangi lapangan, Litta merasakan angin berhembus kencang ke arah wajahnya. Juga jantungnya yang berdebar cepat dan kupu-kupu yang mulai berterbangan di perutnya saat melihat Art berjalan di depannya. 

Momen seperti  ini…

Art mengeluarkan sandwich bagiannya begitu mereka berdua duduk, dan di lima menit pertama, mereka makan dalam diam.

“Thanks ya, udah bawain gue ini,” Litta memecahkan keheningan di antara mereka.

Art tersenyum kecil dan mengangguk seadanya.

“Tau nggak, gue belajar sebuah filosofi baru loh waktu bikin sandwich ini. Gue belajar kalo perasaan gue tuh kaya sandwich gini.”

Litta mengerutkan alisnya. Apa sih artinya? Dia tidak yakin apakah itu hal yang baik atau malah sebaliknya. Jantungnya kembali berdebar cepat.  Khawatir.

“Gini nih, di dalam sandwich ini, ada banyak layers kan? Ada roti, ada mayo, ada lettuce, tomat, ham, keju. Nah, tiap layer punya rasa masing-masing. Roti sama lettuce mungkin nggak terlalu ada rasa lah. Tomat, gue nggak suka. Cenderung kecut, lo tau gue nggak suka yang kecut gitu. Kebalikannya, ham gue doyan banget. Keju gue juga enjoy.”

Litta sempat tertawa kecil mendengar separuh penjelasan Art ini. Art berhenti sebentar, ikut terkekeh, walaupun matanya masih bersorot serius. Lalu dia siap melanjutkan.

“Layers ini satu per satu mungkin mereka not much. Ada yang nggak enak, ada yang enak banget, ada yang biasa aja. Tapi tanpa elemen-elemen ini, sandwich gue nggak bakal seenak gini. Dijadiin satu, semua layers ini menyumbang sebuah rasa yang unique, yang membuat makanan ini taste good.”

Di sini, Litta mulai bisa menebak arah pembicaraan ini. Topik yang selalu membuat hatinya bergejolak dan lidahnya kelu. Menyiapkan diri, Litta melemparkan pandangannya ke tengah lapangan, mencari ruang untuk berpikir.

“Gue sadar, ini yang lagi gue rasain, Lit. A sandwich of feelings. Ada perasaan yang nggak enak. Sisi yan harus berkorban lah, yang nggak pasti lah, yang confusing juga. Ada yang enak juga. The ecstasy is there. It’s like a rainbow. Like a roller coaster. Like you want to only give out your best. You just want to smile all the time. Ya lo tau lah, all those craziness yang gue sering ceritain ke elo.”

Art berhenti sebentar, menarik sebuah nafas panjang, dan mengangguk mantap. “This sandwich has a name, Lit. Falling in love. Sekarang gue ngerti kalau apa yang gue itu rasain itu namanya falling in love.”

Litta sedikit terperangah, Art akhirnya sadar?

Art memang sering menceritakan arrhythmia perasaannya, tapi tanpa menyebutkan sebuah nama yang spesifik. Nggak heran, walaupun mereka sudah kenal selama 3 tahun, Art memang orang yang super tertutup. Tapi kalau sekarang Art sudah mendefinisikan perasaannya.. Bolehkah dia bertanya? Beranikah hatinya menerima apapun jawabannya?

 “Perasaan lo ini, Art… Emang lo lagi falling in love sama siapa?”

Art membiarkan hembusan angin yang kencang ini berlalu, sebelum merumuskan jawabannya. Dia terkekeh. “Gue belum bisa kasih tahu siapanya sekarang Lit. Tapi soon gue pasti kasih tahu ke elo kok, gue cuma belum siap aja. Gue masih berusaha belajar menikmati sandwich ini as a whole, nggak coba memilah-milah layersnya lagi.”

Litta coba tersenyum. Dan mengangguk. Dalam hati dia sungguh berharap…

“Lit, kalo ntar gue butuh bantuan elo, lo mau bantuin gue kan?”

Di sini, harapan Litta langsung pupus. Butuh bantuan…mendekati orang itu kah? Begitukah?
Pikiran Litta langsung blank diberi asumsi seperti ini. Art meminta bantuan, artinya untuk pihak ketiga kah? Berarti… Berarti bukan dirinya? Bagaimana dia bisa membantu Art mendekati orang lain ketika dia yang begitu dekat sendiri menyimpan rasa yang besar untuk Art? Tapi Litta tidak bisa menjawab ‘tidak’ kepada sahabatnya ini, cepat dia cuma mengangguk satu kali. Sambil menggigit bibir.

Art tersenyum lebar. Dengan lebih ringan, dia menghabiskan sandwichnya, memaknai setiap gigitannya sebagai menerima kenyataan bahwa dirinya jatuh cinta.

Sementara Litta mendadak tidak lapar. Sandwichnya terasa hambar sekarang.

-*^^*-

March 28, 2015 - Litta, ini adalah hari pertama gue menyatakan perasaan gue. Over a sandwich. Lo terlihat langsung pucet waktu gue bilang minta tolong. Pasti lo pikir gue minta tolong untuk deketin gue ke cewek lain kan? Padahal kebalikannya.
Maaf ya udah bikin lo shock gitu. Tapi bukan ini harinya elo tahu. Someday, gue akan bilang dengan lebih jujur. Dan kalau nanti lo dan gue udah sama-sama siap, we’ll slay the dragons of this world together. I promise.

-*^^*-

Wednesday, March 25, 2015

Catatan

Aku memandang tajam ke kejauhan. Memeperhatikan detil-detil kecil yang takut aku lewatkan. Bukan, bukan tulisan-tulisan di papan putih itu. Tapi dia, dia yang sedang bercengkerama dengan teman-temannya di sana. Entah apa yang mereka bicarakan.
Ah! Aku menangkap perubahan ekspresinya! Perlahan dia menyunggingkan ujung bibirnya, membentuk seulas senyum. Aku menggigit bibir, dia kelihatan keren tersenyum seperti itu. Cepat-cepat aku mengeluarkan ponselku, membuka fitur catatan. Mengetik: 

20/3, Dia tersenyum sebelah. Sexy as heck. 


Aku menutup fitur keyboard.
Aku lalu mengintip catatan-catatanku sebelumnya. 

17/3, Mata kami beradu sebentar tadi. Di cafetaria saat aku mencari tempat duduk dan dia mencari temannya.

1/3, Aku dapat nilai tertinggi di kelas matematika. Dia memberiku selamat setelah kelas selesai. GILA!

27/2, Aku nggak sengaja mendengar suara gitar dari dalam kelas selepas tambahan tadi, ternyata dia! ^^ now playing: Tenerife Sea

14/2, Kutitipkan rasaku kepada sebatang cokelat yang kuselipkan di buku Matematika yang super tebal. Lalu aku melihat dia tersenyum saat menemukan cokelatku. Bisakah kau merasakannya?

6/1, Hari pertama bertemu di tahun ini. Sempat berpapasan dan menyapa. ^^

1/1, Dia mengucapkan selamat tahun baru duluan! :D


Aku sadar aku tersenyum dan tersipu. 

-*^^*-

"Mon.."

Aku terlonjak kaget, spontan mematikan layar HPku.

Di depanku, Edison berdiri, kemudian menghela nafas panjang. Aku tahu, aku barusan tertangkap basah. 

"Bukannya katanya 'new year, new me'? Masih lo simpen juga tapi catatan lo itu?"

Aku menghembuskan nafas pendek. "Gue udah coba lho Ed. Gue coba untuk nggak keep a record. Tapi tetep aja, setiap ada sesuatu tentang dia, gue pasti bakal inget-inget terus. My mind just do it automatically now. Daripada semua itu di otak gue, mendingan gue tulisin."

Edison menggeleng. Aku tahu, alasanku kurang kuat.
"How is it better, Mon? Inget kan alasan pertama kamu mau stop? Udah lupa alasannya?"

Aku menggeleng. Tapi nggak semudah itu berhenti.

Dengan sabar, Edison duduk disampingku. "Coba ulangin. Kasih tahu gue lagi."

Aku menelan ludah, berat. Aku terpaksa membuka kotak memori yang tadinya sudah kukubur dalam. Alasan itu ingin kutiadakan saja, tapi terpaksa kuungkit lagi. "Gue nggak mau sakit sendiri saat dia nggak ngeliat gue seperti gue ngeliat dia."

Yep, bener. Rasa sakit itu mulai menggigit. Aku siapa, dia siapa? Dia cowok keren yang diburu semua cewek angkatanku bahkan dibawahku. Nggak mungkin lah dia bahkan ngelirik aku. Mungkin malah nggak akan ada.  

"Lo tau maksud gue bukan apa-apa kan, Mon? Gue cuma nggak mau lo sakit sendiri. Apalagi lo sendiri yang sebenernya udah sadar. Daripada ntar beneran tiba harinya ada 'kejutan' yang bikin lo sakit, mending lo berhenti dari sekarang." 

Aku tahu. Membayangkannya saja membuatku bergidik ngeri. Satu hari dia bisa saja tiba-tiba masuk ke kelas menggandeng seorang cewek di tangannya. Atau tiba-tiba status 'Single'nya di Facebook berganti menjadi 'In relationship'. Apa yang akan aku lakukan kalau begitu? Lebih baik bersiap dari sekarang dan berhenti berharap.

Kali ini aku mencoba memantapkan diri. 

Susah. Pasti susah. Tidak membayangkan wajahnya saat aku mendengar tawa renyahnya dari kejauhan. Tidak menantikan saat dia mengeluarkan kotak kacamatanya dan memperhatikan dia memakainya karena bagiku dia tampak lebih pintar dan cakep saat memakai kacamata. Tidak memikirkan dia, mengeluarkan dia dari pikiran - dan perlahan, hati. 

Aku tahu, Lebih baik menangis sekarang daripada nanti. Lebih baik airmataku jatuh karena merelakan, daripada terpaksa melepaskan. 


-*^^-

22-3-15
Tadi sore aku mendapati Monica senyum-senyum sendiri. Ternyata dia masih menyimpan catatan-catatannya. Ternyata dia masih tersenyum karena orang lain. Akankah senyum itu jadi milikku?

Sunday, March 15, 2015

Proses adalah Perjalanan

Aku termenung
Menekuk lutut
Memeluk diri sendiri

Dalam diam
Aku menyampirkan selimut di pundakku
Aku lelah
Aku kedinginan

Aku memejamkan mata sejenak
Dan begitu aku membuka mata
Aku berada di tempat yang berbeda

Diapit bukit-bukit
Aku berada di dalam lembah


Saat aku memandang sekelilingku
Semua berbeda

Cahaya merah kecokelatan berpendar
Gelap

Kenapa aku di sini sendiri?
Apa yang telah aku lakukan?

Sepi
Hening
Tapi tidak tenang

Dingin
Sendiri
Aku kebingungan

Rasa takut mulai merasuki
Ke mana jalan keluar?
Aku ingin ke sana!

Aku menunjuk ke puncak
Aku melihat serpihan hijau-biru
Aku ingin ke sana!

Puncak di belakangku
Bolehkah aku ke sana?

Tapi aku lalu menatap ke depan
Matahari hampir terbit
Sedikit, sedikit lagi ia terbit

Suara kecil dalam hatiku mengatakannya
Matahari itulah tujuanmu

Puncak yang harus kau daki bukan yang dibelakang itu
Tapi yang sejenak lagi akan disentuh cahaya sang surya

Aku berlari, melangkah,  tertatih, merangkak
Tanganku menggapai
Aku ingin ke sana!

Air mata hampir turun
Tapi aku terus bergerak maju

Satu kedipan lagi
Aku lalu mulai melihat objek lain....

Bukan 'apa', namun 'siapa'..
'Mereka'

Mereka yang juga tertatih
Mereka yang juga lelah
Mereka yang juga sedang terjebak dalam lembah

Kami berpandangan
Lalu berpegangan tangan
Membuat rangkaian panjang, menguatkan satu sama lain

Bersama, satu persatu,
Melangkahkan kaki menuju cahaya
Menuju bukit
Menuju puncak




Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman aku tidak takut bahaya sebab Engkau besertaku


-*^^*-


Sunday, March 1, 2015

Why won't you come with me, Blue?

Ah, aku tersentak. Mataku langsung mengerjap dua kali, tanganku kemudian mengusapnya.
Rupanya aku jatuh tertidur, melewatkan hampir separuh perjalanan ini.
Aku lalu menatap jendela di samping kananku. Gambar pemandangan bergerak seakan perlahan, namun sebenarnya lumayan cepat. Di kejauhan, terhalang hanya oleh deretan rumah-rumah kayu yang jarang.

Laut.

Saat itu juga aku seperti bisa mendengar deburannya. Ombak. Hatiku serasa langsung luluh.
Tapi lalu aku menengok jendela di samping kiri sana. Pemandangan yang serupa, rumah-rumah kayu itu ada. Bedanya adalah apa yang menjadi latar mereka. Pepohonan. Semakin lama semakin lebat.

Instan, seperti bubuk kopi yang diseduh air mendidih, aku teringat kamu.

Duh.
 Pergi sejauh ini, masih saja kamu menghantui?

‘Hutan’ memang tempat yang kamu puja-puja. Bukan cuma hutan, tapi juga lapangan rumput, kebun raya, ya yang semacam itu. Bagaimana aku tahu? Tidak usah pura-pura tidak tahu. Tentu saja aku tahu. Aku hafal kamu.

Kamu, kecintaanmu pada petualangan yang fisik dan nyata. Camping, hiking, semua yang menempatkanmu pada zona bahaya. Yah, walaupun bukan itu saja yang kamu suka.

Kamu suka bertemu orang baru. Menjelajah tempat-tempat baru yang unik dan yang sekilas tampak tidak bersahabat. Kamu bilang kamu menyukainya karena it feels like entering a new cycle, everytime. Hidupmu jadi tidak membosankan.

Jujur saja, kamu bingung dengan orang-orang seperti aku kan?

Aku. Laut adalah sudah menjadi rumah kedua bagiku. Impianku adakah bisa suatu saat memiliki rumah di tepi pantai. Bukan seperti impianmu yang malah ingin suatu saat nanti bisa mengunjungi pedalaman Amazon, mencari tahu apa yang sebenarnya membuat tempat itu sangat terkenal.

Aku suka semua yang statis. Rutin, tertebak. Aku suka berdiam diri dengan bukuku, dan hanya duduk membaca. Kemudian, memikirkan dalam-dalam semua yang sedang terjadi disekitarku. Aku tidak perlu mengutarakan banyak kata untuk ‘hidup’, jauh berbeda denganmu.

Kamu sering bilang, ‘Lighten up!’ Kamu mengira hidupku tidak senang.

Aku senang. Aku suka semua yang predictable, dengan begitu aku merasa lebih punya control atas semua yang terjadi dalam hidupku, sehingga aku tahu aku harus bagaimana.

Lihat, satu per satu perbedaan kita mulai muncul ke permukaan.

Dalam beberapa hal kita mungkin serupa. Latar belakang kita – memang harus diakui – mirip. Selera kita dalam hal musik dan makanan hampir sama. Tapi lebih jauh dari itu, hal-hal yang lebih dalam, jalan kita seperti terpisah.

Sayangnya, perbedaan kita itu lebih seperti minyak dan air. Most of the time, kita sulit menerima pendapat satu sama lain. Ya, kita meng-acknowledge-nya. Tapi tidak memahaminya. Itu sulit bagiku, dan bagimu juga, to some extend.

Itu yang membuat aku akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan kedekatan kita. Daripada salah satu dari kita nantinya sakit, lebih baik sebelum benar-benar di mulai, diselesaikan dulu.

Tapi rupanya hanya menyelesaikannya tidak cukup. Aku masih sering duduk di pojok sofaku terpekur memikirkan kamu. Makanya aku ke sini, berharap aku lupa kamu. Malah kamu ikut sampai ke sini. Haduh.


Begini kalau aku melihatnya dalam spektrum warnaku. Aku suka semua yang tenang, monoton. Aku suka laut dan langit. Aku menyebut diriku biru.

Kamu, kamu suka semua yang ‘baru’ dan semua yang terperbaharui karena itu adventurous. Renewal is like a second chance not everyone gets to have. Kamu suka berpetualang dan hutan. Aku memberimu nama hijau.

Oke. Hijau dan biru. Serupa tapi tak sama.
Kenapa hijau tidak disebut biru, dan biru disebut hijau? Iya, di beberapa negara nama mereka mirip – kalau tidak sama. Tapi mereka tetap adalah dua warna yang berbeda. Keduanya indah dengan cara mereka sendiri-sendiri. Mereka tidak perlu menjadi sama untuk bisa memberi warna yang indah kepada dunia itu, kepada pelangi.

Tapi bukannya tidak ‘bisa’ kan?

Deg.
Jantungku melewatkan satu degupan. Pertanyaan satu ini buatku jelas menakutkan.
 Kamu yang pernah menanyakannya, kan?

“Why don’t you open up to new possibilities? Aku tahu kenapa kamu suka semua yang kayak gini. Yang mungkin aku anggep ‘biasa’ aja. Dan, iya oke aku hargailah. Tapi sadar nggak sih, lama-lama kamu jadi kayak kurang bahagia. Aku nggak rela banget kalau punya temen yang nggak bahagia. Sayang banget hidupnya. So, why don’t you give ‘new’ a shot?”

Kamu mengajakku mulai menjelajah. Mulai mencoba hal-hal yang baru. Membawa sedikit matahari ke dalam hidupku. Sedikit ‘riang’. Sedikit energi. Kuning.
Hijau, apakau kamu sedang mengajakku mengikutimu? Biru bercampur sedikit kuning akan mulai menunjukkan warna hijau.

Tapi, tidak-tidak. Hei! Bukan ini yang harusnya aku pikirkan. Jauh-jauh aku ke sini, kenapa malah jadi berpikiran seperti ini? Kacau. Pikiran macam pula apa itu? Tidak jelas, tidak berstruktur.

Ahh..

‘Jelas’, ‘struktur’…

Kata-kata yang jelas hilang dari kamusku saat kamu menatapku dengan sepasang mata hijaumu itu, Hijau.
 

Tunggu. Tidak. Oh tidak. Di mana aku sekarang? Aku sedang melarikan diri ke tempat yang sama sekali asing. Hanya punya satu tujuan memang, laut. Tapi aku selebihnya sedang meraba dan menebak.

Hijau, adakah ajakanmu mulai berhasil?

-*^^*-