Rupanya aku jatuh tertidur, melewatkan hampir separuh
perjalanan ini.
Aku lalu menatap jendela di samping kananku. Gambar pemandangan
bergerak seakan perlahan, namun sebenarnya lumayan cepat. Di kejauhan,
terhalang hanya oleh deretan rumah-rumah kayu yang jarang.
Laut.
Saat itu juga aku seperti bisa mendengar deburannya. Ombak.
Hatiku serasa langsung luluh.
Tapi lalu aku menengok jendela di samping kiri sana.
Pemandangan yang serupa, rumah-rumah kayu itu ada. Bedanya adalah apa yang
menjadi latar mereka. Pepohonan. Semakin lama semakin lebat.
Instan, seperti bubuk kopi yang diseduh air mendidih, aku
teringat kamu.
Duh.
Pergi sejauh ini, masih saja kamu menghantui?
‘Hutan’ memang tempat yang kamu puja-puja. Bukan cuma hutan,
tapi juga lapangan rumput, kebun raya, ya yang semacam itu. Bagaimana aku tahu?
Tidak usah pura-pura tidak tahu. Tentu saja aku tahu. Aku hafal kamu.
Kamu, kecintaanmu pada petualangan yang fisik dan nyata. Camping,
hiking, semua yang menempatkanmu pada zona bahaya. Yah, walaupun bukan itu saja
yang kamu suka.
Kamu suka bertemu orang baru. Menjelajah tempat-tempat baru
yang unik dan yang sekilas tampak tidak bersahabat. Kamu bilang kamu menyukainya
karena it feels like entering a new cycle, everytime. Hidupmu jadi tidak
membosankan.
Jujur saja, kamu bingung dengan orang-orang seperti aku kan?
Aku. Laut adalah sudah menjadi rumah kedua bagiku. Impianku
adakah bisa suatu saat memiliki rumah di tepi pantai. Bukan seperti impianmu
yang malah ingin suatu saat nanti bisa mengunjungi pedalaman Amazon, mencari
tahu apa yang sebenarnya membuat tempat itu sangat terkenal.
Aku suka semua yang statis. Rutin, tertebak. Aku suka
berdiam diri dengan bukuku, dan hanya duduk membaca. Kemudian, memikirkan
dalam-dalam semua yang sedang terjadi disekitarku. Aku tidak perlu mengutarakan
banyak kata untuk ‘hidup’, jauh berbeda denganmu.
Kamu sering bilang, ‘Lighten up!’ Kamu mengira hidupku tidak
senang.
Aku senang. Aku suka semua yang predictable, dengan begitu
aku merasa lebih punya control atas semua yang terjadi dalam hidupku, sehingga
aku tahu aku harus bagaimana.
Lihat, satu per satu perbedaan kita mulai muncul ke
permukaan.
Dalam beberapa hal kita mungkin serupa. Latar belakang kita –
memang harus diakui – mirip. Selera kita dalam hal musik dan makanan hampir
sama. Tapi lebih jauh dari itu, hal-hal yang lebih dalam, jalan kita seperti
terpisah.
Sayangnya, perbedaan kita itu lebih seperti minyak dan air. Most
of the time, kita sulit menerima pendapat satu sama lain. Ya, kita
meng-acknowledge-nya. Tapi tidak memahaminya. Itu sulit bagiku, dan bagimu juga, to some extend.
Itu yang membuat aku akhirnya memutuskan untuk tidak
melanjutkan kedekatan kita. Daripada salah satu dari kita nantinya sakit, lebih
baik sebelum benar-benar di mulai, diselesaikan dulu.
Tapi rupanya hanya menyelesaikannya tidak cukup. Aku masih
sering duduk di pojok sofaku terpekur memikirkan kamu. Makanya aku ke sini,
berharap aku lupa kamu. Malah kamu ikut sampai ke sini. Haduh.
Begini kalau aku melihatnya dalam spektrum warnaku. Aku suka
semua yang tenang, monoton. Aku suka laut dan langit. Aku menyebut diriku biru.
Kamu, kamu suka semua yang ‘baru’ dan semua yang terperbaharui
karena itu adventurous. Renewal is like a second chance not everyone gets to
have. Kamu suka berpetualang dan hutan. Aku memberimu nama hijau.
Oke. Hijau dan biru. Serupa tapi tak sama.
Kenapa hijau tidak disebut biru, dan biru disebut hijau?
Iya, di beberapa negara nama mereka mirip – kalau tidak sama. Tapi mereka tetap
adalah dua warna yang berbeda. Keduanya indah dengan cara mereka
sendiri-sendiri. Mereka tidak perlu menjadi sama untuk bisa memberi warna yang
indah kepada dunia itu, kepada pelangi.
Tapi bukannya tidak ‘bisa’ kan?
Deg.
Jantungku melewatkan satu degupan. Pertanyaan satu ini buatku
jelas menakutkan.
Kamu yang pernah menanyakannya, kan?
“Why don’t you open up to new possibilities? Aku tahu kenapa
kamu suka semua yang kayak gini. Yang mungkin aku anggep ‘biasa’ aja. Dan, iya
oke aku hargailah. Tapi sadar nggak sih, lama-lama kamu jadi kayak kurang
bahagia. Aku nggak rela banget kalau punya temen yang nggak bahagia. Sayang
banget hidupnya. So, why don’t you give ‘new’ a shot?”
Kamu mengajakku mulai menjelajah. Mulai mencoba hal-hal yang
baru. Membawa sedikit matahari ke dalam hidupku. Sedikit ‘riang’. Sedikit energi.
Kuning.
Hijau, apakau kamu sedang mengajakku mengikutimu? Biru
bercampur sedikit kuning akan mulai menunjukkan warna hijau.
Tapi, tidak-tidak. Hei! Bukan ini yang harusnya aku
pikirkan. Jauh-jauh aku ke sini, kenapa malah jadi berpikiran seperti ini?
Kacau. Pikiran macam pula apa itu? Tidak jelas, tidak berstruktur.
Ahh..
‘Jelas’, ‘struktur’…
Kata-kata yang jelas hilang dari kamusku saat kamu menatapku
dengan sepasang mata hijaumu itu, Hijau.
Tunggu. Tidak. Oh tidak. Di
mana aku sekarang? Aku sedang melarikan diri ke tempat yang sama sekali asing.
Hanya punya satu tujuan memang, laut. Tapi aku selebihnya sedang meraba dan
menebak.
Hijau, adakah ajakanmu
mulai berhasil?
-*^^*-
0 comments:
Post a Comment