Sunday, March 1, 2015

Why won't you come with me, Blue?

Ah, aku tersentak. Mataku langsung mengerjap dua kali, tanganku kemudian mengusapnya.
Rupanya aku jatuh tertidur, melewatkan hampir separuh perjalanan ini.
Aku lalu menatap jendela di samping kananku. Gambar pemandangan bergerak seakan perlahan, namun sebenarnya lumayan cepat. Di kejauhan, terhalang hanya oleh deretan rumah-rumah kayu yang jarang.

Laut.

Saat itu juga aku seperti bisa mendengar deburannya. Ombak. Hatiku serasa langsung luluh.
Tapi lalu aku menengok jendela di samping kiri sana. Pemandangan yang serupa, rumah-rumah kayu itu ada. Bedanya adalah apa yang menjadi latar mereka. Pepohonan. Semakin lama semakin lebat.

Instan, seperti bubuk kopi yang diseduh air mendidih, aku teringat kamu.

Duh.
 Pergi sejauh ini, masih saja kamu menghantui?

‘Hutan’ memang tempat yang kamu puja-puja. Bukan cuma hutan, tapi juga lapangan rumput, kebun raya, ya yang semacam itu. Bagaimana aku tahu? Tidak usah pura-pura tidak tahu. Tentu saja aku tahu. Aku hafal kamu.

Kamu, kecintaanmu pada petualangan yang fisik dan nyata. Camping, hiking, semua yang menempatkanmu pada zona bahaya. Yah, walaupun bukan itu saja yang kamu suka.

Kamu suka bertemu orang baru. Menjelajah tempat-tempat baru yang unik dan yang sekilas tampak tidak bersahabat. Kamu bilang kamu menyukainya karena it feels like entering a new cycle, everytime. Hidupmu jadi tidak membosankan.

Jujur saja, kamu bingung dengan orang-orang seperti aku kan?

Aku. Laut adalah sudah menjadi rumah kedua bagiku. Impianku adakah bisa suatu saat memiliki rumah di tepi pantai. Bukan seperti impianmu yang malah ingin suatu saat nanti bisa mengunjungi pedalaman Amazon, mencari tahu apa yang sebenarnya membuat tempat itu sangat terkenal.

Aku suka semua yang statis. Rutin, tertebak. Aku suka berdiam diri dengan bukuku, dan hanya duduk membaca. Kemudian, memikirkan dalam-dalam semua yang sedang terjadi disekitarku. Aku tidak perlu mengutarakan banyak kata untuk ‘hidup’, jauh berbeda denganmu.

Kamu sering bilang, ‘Lighten up!’ Kamu mengira hidupku tidak senang.

Aku senang. Aku suka semua yang predictable, dengan begitu aku merasa lebih punya control atas semua yang terjadi dalam hidupku, sehingga aku tahu aku harus bagaimana.

Lihat, satu per satu perbedaan kita mulai muncul ke permukaan.

Dalam beberapa hal kita mungkin serupa. Latar belakang kita – memang harus diakui – mirip. Selera kita dalam hal musik dan makanan hampir sama. Tapi lebih jauh dari itu, hal-hal yang lebih dalam, jalan kita seperti terpisah.

Sayangnya, perbedaan kita itu lebih seperti minyak dan air. Most of the time, kita sulit menerima pendapat satu sama lain. Ya, kita meng-acknowledge-nya. Tapi tidak memahaminya. Itu sulit bagiku, dan bagimu juga, to some extend.

Itu yang membuat aku akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan kedekatan kita. Daripada salah satu dari kita nantinya sakit, lebih baik sebelum benar-benar di mulai, diselesaikan dulu.

Tapi rupanya hanya menyelesaikannya tidak cukup. Aku masih sering duduk di pojok sofaku terpekur memikirkan kamu. Makanya aku ke sini, berharap aku lupa kamu. Malah kamu ikut sampai ke sini. Haduh.


Begini kalau aku melihatnya dalam spektrum warnaku. Aku suka semua yang tenang, monoton. Aku suka laut dan langit. Aku menyebut diriku biru.

Kamu, kamu suka semua yang ‘baru’ dan semua yang terperbaharui karena itu adventurous. Renewal is like a second chance not everyone gets to have. Kamu suka berpetualang dan hutan. Aku memberimu nama hijau.

Oke. Hijau dan biru. Serupa tapi tak sama.
Kenapa hijau tidak disebut biru, dan biru disebut hijau? Iya, di beberapa negara nama mereka mirip – kalau tidak sama. Tapi mereka tetap adalah dua warna yang berbeda. Keduanya indah dengan cara mereka sendiri-sendiri. Mereka tidak perlu menjadi sama untuk bisa memberi warna yang indah kepada dunia itu, kepada pelangi.

Tapi bukannya tidak ‘bisa’ kan?

Deg.
Jantungku melewatkan satu degupan. Pertanyaan satu ini buatku jelas menakutkan.
 Kamu yang pernah menanyakannya, kan?

“Why don’t you open up to new possibilities? Aku tahu kenapa kamu suka semua yang kayak gini. Yang mungkin aku anggep ‘biasa’ aja. Dan, iya oke aku hargailah. Tapi sadar nggak sih, lama-lama kamu jadi kayak kurang bahagia. Aku nggak rela banget kalau punya temen yang nggak bahagia. Sayang banget hidupnya. So, why don’t you give ‘new’ a shot?”

Kamu mengajakku mulai menjelajah. Mulai mencoba hal-hal yang baru. Membawa sedikit matahari ke dalam hidupku. Sedikit ‘riang’. Sedikit energi. Kuning.
Hijau, apakau kamu sedang mengajakku mengikutimu? Biru bercampur sedikit kuning akan mulai menunjukkan warna hijau.

Tapi, tidak-tidak. Hei! Bukan ini yang harusnya aku pikirkan. Jauh-jauh aku ke sini, kenapa malah jadi berpikiran seperti ini? Kacau. Pikiran macam pula apa itu? Tidak jelas, tidak berstruktur.

Ahh..

‘Jelas’, ‘struktur’…

Kata-kata yang jelas hilang dari kamusku saat kamu menatapku dengan sepasang mata hijaumu itu, Hijau.
 

Tunggu. Tidak. Oh tidak. Di mana aku sekarang? Aku sedang melarikan diri ke tempat yang sama sekali asing. Hanya punya satu tujuan memang, laut. Tapi aku selebihnya sedang meraba dan menebak.

Hijau, adakah ajakanmu mulai berhasil?

-*^^*-

0 comments:

Post a Comment