Heeyyyaa!
Maaf baru sempat upload lagi yaa..
Ini ada cerita baru, wrote it 2 months ago and kept it for myself..
But i guess it's time to present,
Dua
:D:D:D
This story is highly inspired by Dee Lestari's Perahu Kertas,
Jadii maaf kalo mirip di sana sini
*sama sekali nggak bermaksud ng-copy lhoo :'( *
here it is
ENJOY :D
Dua
Cinta tidak pernah bertepuk sebelah tangan..
Tapi, untuk tetap berada bersama pemilik tangan yang cocok itu tidak mudah
Karena dimensi, keluarga, keadaan, dan jarak yang memisahkan..
Cinta akan tetap ada untuk selamanya…
-*^^*-
Vita masih kaget melihat cincin yang sekarang berada di jari manisnya. Vita menatap Robin, kemudian jari manisnya, kemudian Robin lagi. “Aku nggak tahu harus bilang apa…” kata Vita. Robin tersenyum, “Iya, nggak papa. Nggak perlu kamu jawab sekarang kok. Take your time.” Vita mengangguk, tapi tidak tersenyum. Pikirannya dipenuhi berbagai macam hal. Seharusnya dia senang, Robin melamarnya, tapi entah kenapa yang dirasakannya selain senang adalah sedih.
Tiba-tiba Vita berkata, “Dua hari. Terlalu lama?” tanyanya. Robin menggeleng, “Aku menunggu 5 tahun untuk hari ini. Dua hari nggak akan terlalu lama.” Tapi lalu Vita menambahkan, “Tanpa kontak?”
Robin tersentak, “Tanpa kontak? Sama sekali?” Vita mengangguk, “Aku cuma mau memastikan aku benar-benar siap. Aku janji, di hari yang ketiga aku akan menghubungimu, menjawabnya.” Robin bergumul sebentar dengan dirinya sendiri, sebelum akhirnya mencium pipi Vita, “Will you be alright? Kalo iya, nggak apa-apa. Aku tunggu.”
Bangun pagi, Vita sengaja nggak langsung beraktifitas. Hari ini kantor libur, jadi dia akan bermalas-malas sampai siang. Tapi mulai sore nanti, dia akan benar-benar memikirkan, mencari jawaban bagi hatinya. Kegiatan pertama yang dilakukannya pagi ini setelah berdoa: mematikan HP.
Sore, pukul 4, Vita mengangkat gagang telepon rumahnya, menghubungi sang bunda, memohon restu dari keluarga. Lalu Vita terpekur di depan telepon sampai beberapa lama, sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi, keluar rumah, entah ke mana.
Aneh, kakinya malah mengantar ke sebuah kafe. Memasuki kafe langganannya itu, Vita langsung mengarahkan diri ke tempat duduk yang paling ujung, dan memesan secangkir kopi. Pesanan datang, dan Vita meminum seteguk. Langsung, dia paham setetes kesedihannya kemarin, karena kopi ini mengingatkannya.
Dia berharap Robin itu Rio.
Vita jadi ingat, ketika pertama kali datang ke kafe ini, berdua dengan Rio. Saat itu mereka masih SMA kelas 3, masih pacaran. Rio mentraktir Vita karena nilainya yang tertinggi di angkatan itu. Tapi di tempat itu pula, pada kesempatan lain, Vita memutuskan hubungannya dengan Rio.
Terlalu susah dijalani, terlalu banyak perbedaan, pertengkaran, dan sekarang Rio akan melanjutkan kuliah entah-di-mana. Di negeri nun jauh sana yang tidak bernama. Sayangnya baru beberapa bulan kemudian, saat semua sudah berubah, Vita menyesal.
Dia merindukan Rio, dengan sepenuh hati dan jiwanya. Karena Vita baru sadar, ada sesuatu tentang Rio yang tidak dimiliki orang lain, sesuatu yang dia butuhkan, yaitu penerimaan dan pengertian. Hanya itu.
Sering kali, cowok-cowok yang dekat padanya hanya sebatas ‘berusaha mengerti’, tapi Rio nggak. Rio benar-benar mengerti sampai kedalaman hati Vita, dan menerima semuanya itu tanpa banyak
babibu. Sepenuhnya. Bahkan sampai hari ini, Vita tahu Robin belum bisa menerima beberapa hal dari Vita.
Selain itu, dia juga mencintai Rio, dengan sepenuh hatinya. Lebih dari dia bisa menyayangi Robin. Dan sekarang, ada bagian dihidupnya yang kosong, yang hanya bisa diisi oleh Rio.
Sayangnya, sampai hari ini juga, Vita belum pernah bertemu Rio lagi. Dia kangen sama Rio, tapi tidak berusaha mencarinya. Sudah terlambat, sudah 10 tahun mereka berpisah, sebentar lagi dia akan menjadi istri Robin.
“Boleh duduk di sini?” sebuah suara familiar menyapa. Vita terkaget dan mendongak perlahan, takut ini semua hanya mimpi. “Rio?” tanya Vita pelan. “Hai,” Rio membalas singkat sambil menarik kursi dan duduk. Kalimat pertama yang keluar dari mulut Vita, “Lo dari mana?” Lirih.
Vita sangat kaget, sehingga bukannya menyapa, dia langsung saja bertanya. Sebuah pertanyaan yang sudah lama ia ingin ketahui jawabannya.
Rio mendesah pelan, langsung tahu maksud Vita. “Gue kuliah di Amrik, Vit.”
Iya, walaupun sempat pacaran, Rio belum benar-benar memutuskan akan kuliah di mana, sedang saat benar-benar diambil keputusan, hubungannya dengan Vita sudah berakhir.
Rio untuk pertama kalinya hari itu terlihat agak sedih. Oh, bukan sedih, dia melepas rindu. Rio membelai pelan rambut Vita. Seakan berkata pada dirinya sendiri, dia beneran Vita.
Karena ini seperti mimpi bagi keduanya. Sepuluh tahun tidak bertemu, dan keduanya tiba-tiba bertemu di kafe ini. Saling mengenali. Sepertinya semesta yang mengantarkan mereka berdua ke sini. Sepertinya keduanya juga sudah melupakan masalah di masa lalu.
Lebih-lebih untuk Vita, yang baru saja memikirkan Rio. Sekarang dia ada dihadapannya. Dan Vita merasa mendapat kebahagiaan baru, kelengkapan. Vita juga untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, berubah sedikit lebih ceria.
“Apa kabar lo? Baik-baik aja kan? Kok bisa nyampe sini?” Rio tersenyum kecil, masih meyakinkan diri kalau ini bukan mimpi. “Iya, sebenernya gue sih baru aja nyampe dari Amrik. Terus gue tiba-tiba pengen aja ke sini.”
“Nah elo ada angin apa balik Indo? Udah berapa tahun nggak balik lo?” Kali ini Rio terkekeh. “Elo masih aja jadi wartawan, Vit. Tanya-tanya melulu. Gini deh, lo mau makan nggak? Sekalian makan malem gitu. Gue traktir deh, soalnya gue laper nih.”
Oops, Vita langsung tersadar. Orang ini baru saja tiba, langsung dihujani pertanyaan yang sama sekali nggak nyambung dengan tempat ini. Kafe. “Emm, boleh deh, gue juga belom makan. Lo mau makan di sini?” tanya Vita.
“Kalo nggak di sini gimana? Lo tahu tempat makan yang enak? Maksudnya suasananya enak.” Vita berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Tapi agak jauh, sekitar 45 menit dari sini.”
45 menit kemudian, mereka sudah ada di restoran yang dikatakan oleh Vita. Letaknya di daerah bukit, sehingga udaranya sejuk. Langit juga mulai gelap. Perfect.
Keduanya memesan, ngobrol ringan atau basa-basi, lalu makan ketika hidangan disajikan, sambil ngobrol. Entah ada yang menyadari atau tidak, keduanya seperti sedang mengejar hubungan mereka yang ketinggalan 10 tahun. Pacaran yang di pause, bukan di stop, dan sekarang di play, karena kalau diamati betul, keduanya seperti orang jatuh cinta, pada satu sama lain.
Tapi pertanyaan Vita tadi belum terjawab. Dan Vita menanyakannya sekali lagi. “Gue terakhir pulang 3 tahun yang lalu. Jadi ya Sebetulnya ini kali kedua gue pulang sejak gue berangkat kuliah. Gue sempat stay setengah tahun kok waktu itu. Sori, waktu itu gue nggak nyari lo.” Vita mengangguk.
Rio meneruskan, “Kalo alasan gue pulang, jujur gue nggak tahu Vit. Kepengen aja rasanya, kaya ada sesuatu yang kuat yang bilang sama gue untuk pulang. Tapi gue nggak lama di sini. Cuma 2 malem termasuk malam ini.”
Alis Vita terangkat, “Sebentar banget? Rugi lo. Mahal kan pulang-pergi gitu? Nah sekarang elo udah ada ide belom, kenapa hati nurani lo nyuruh elo pulang?” Rio mengangguk, “2 hal. Satu, karena gue kangen sama lo, Vit. Kangen banget ternyata. Gue baru sadar waktu ngeliat siluet lo di kafe. Dan alasan kedua, mungkin malah lo yang harus ngasi tahu gue.”
Vita kaget setengah mati. Rio masih menyimpan perasaan yang sama dengan dirinya?
Tapi sadar Rio memperhatikan dirinya menunggu jawaban, Vita mengangkat sebelah tangannya. “Yo, gue habis dilamar sama cowok gue.”
Nggak tahu kenapa, begitu melihat sebentuk cincin perak di jari Vita, detik itu juga Rio merasakan sedih, tatapannya langsung nanar, dan semangatnya hilang. Menyadari perubahan itu, entah juga kenapa, Vita menambahkan dengan gamang, “Belum gue jawab sih tapi.” Rio langsung merasakan setetes kelegaan.
Lalu tiba-tiba saja kata-kata mengalir dari bibir Rio. Ini bukan perkataan dari otak, tapi dari hati yang paling dalam, yang pernah dikuburnya selama 10 tahun. “Vit, gue tahu, kita mungkin udah nggak ketemu 10 tahun. Lo juga udah punya cowok. Tapi gue nggak bisa bohong sama hati gue Vit. Gue cinta sama elo. Cinta banget. Gue sadar waktu tadi gue masuk ke kafe itu dan ngeliat siluet lo. Gue baru sadar setelah sekian lama, gue bukan sekedar kangen sama elo. Gue kangen karena gue nggak ketemu cinta gue selama 10 tahun.”
Vita nggak bisa mengatakan apa-apa. Dia kaget, karena dia juga merasakan hal yang persis sama. Vita sama sekali nggak memikirkan tentang apapun juga waktu dia berada dekat Rio, dia hanya bisa memikirkan betapa senang dirinya karena Rio ada di sampingnya. Dia bahkan tidak memikirkan Robin.
Keduanya diam, kali ini duduk bersampingan. Kepala Vita di bahu Rio, dan kepala Rio bersandar di kepala Vita. Melepas rindu, memikirkan cinta, memikirkan kebahagiaan di hati masing-masing karena ternyata, cinta itu belum pergi. Hanya sempat terkubur.
“Tapi Vit, gue tahu cepat atau lambat lo pasti tetep jadi tunangan pacar lo sekarang. Dan gue juga nggak bisa menetap di Indo lagi. Bahkan gue nggak tahu apa gue bakal balik Indo lagi. Bokap gue sakit, dan harus dirawat intensif di sana. Untung belum sampe parah, tapi butuh perhatian gue seratus persen. Kalau gue mau turutin kata hati gue, gue maunya di sini aja, Vit. Sama elo. Tapi gue tahu itu nggak mungkin bagi orang di sekitar gue. Dan elo juga nggak bisa menetap di sisi gue. Jadi istri gue.”
Hati Vita mencelos mendengar kata-kata Rio tadi. Ada kemungkinan dia nggak bisa ketemu Rio lagi, selamanya? Nggak, Vita nggak mau itu. Dia mau berada bersama Rio, terus dan terus. Tapi kali ini giliran keadaannya yang tidak mengijinkan. Dia nggak mau meninggalkan bunda sendirian di tanah air. Membawa bunda ke Amerika? Bukan perkara mudah, karena bundanya membuat ketetapan untuk tidak mau meninggalkan tanah leluhur mereka, tanah air mereka. Rio pasti mengerti tentang ini, karena ketetapan itu sudah berlaku sejak dulu.
Vita lalu punya sebuah pemikiran gila, tapi hatinya tidak bisa menolak.
“Yo, gimana kalo besok, kita have fun berdua. Kita lupain semua persoalan yang ada, bokap lo, cowok gue, kita lupain khusus untuk besok. Kalo gue nggak bakal ketemu lo lagi, gue mau kenangan yang indah, bukan yang galau kaya gini. Apalagi habis itu lo pulang kan?” Vita mencoba bercanda, tapi serius.
Bukan menjawab, Rio menatap Vita, lalu berkata dengan sungguh, “Vit, would you be my girl? Kalo kita mau membuat kenangan indah, have fun berdua untuk terakhir kalinya, gue mau itu elo sebagai cewek gue. Lo bener-bener milik gue, dan gue bener-bener milik elo. Gue ingin bebas mencintai elo karena lo cewek gue, khusus besok Vit.”
Vita terharu, hatinya penuh kegembiraan, karena akhirnya perasaan ini memiliki wadah penampung yang cocok. “Gue janji gue akan jadi pacar yang lebih baik dari Vita yang dulu pernah ngecewain elo, Yo,” Vita berbisik perlahan, setengah menahan tangis gembira.
“Jadi, mo ke mana kita?” tanya Rio saat sudah berada di depan rumah Vita. “Kok lo tau alamat rumah gue? Terus, itu mobil siapa?” Vita cukup kaget saat melihat Rio. “Dari temen, yang minjemin ini mobil juga. Naik dulu, Vit. Ntar ke mananya gampang deh.” Vita mengangguk patuh dan langsung masuk ke mobil. “Oh iya, lo bisa nyetir di Indo?” tanya Vita. “Buktinya, gue selamat sampe di depan rumah elo kok,” Rio tertawa kecil. “Oke, jadi mau ke mana, Sayang?”
Vita tertegun mendengar kata ‘sayang’ itu, tapi tidak bisa dipungkiri, dia senang.
“Ke…. Ke dufan mau nggak?” Rio hampir tertawa keras-keras kalo nggak langsung dipukul kecil oleh Vita. “Heh! Kenapa ketawa?” “Nggak, lucu sih lo. Masak nge-date ke dufan? Nggak ada yang lebih romantis gitu?” Vita melengos. “Ya udah, mau ke mana, Rio sayang?” Rio menatap Vita sebentar, lalu tersenyum nakal, “Ke Dufan aja deh.”
Mereka menghabiskan separuh hari, bermain di dufan. Naik ini-itu. Yang serem-serem. Yang lucu-lucu sengaja nggak dicoba, ngabisin waktu aja, kata Rio.
Benar-benar keduanya memanfaatkan hari itu dengan maksimal. Seperti pacar yang nggak pernah lepas selama 10 tahun, bukan dari dua orang yang kemarin baru ketemu lagi. Bergandeng tangan ke mana-mana, melekat terus seperti ada tali-tali tak kasat mata yang mengikat mereka, Vita menyuapkan gulali ke Rio, dan ucapan-ucapan terimakasih yang disampaikan dengan ciuman di pipi.
Menjelang sore, keduanya memutuskan untuk pulang. Sengaja nggak mau sampai malam, karena mereka masih punya satu tempat tujuan. Sebuah atap rumah.
“Permisi, Tante. Mau ‘manjat’ dong,” kata Vita dengan senyum semanis mungkin. “Iya, tumben bawa temen,” kata tantenya. “Eh, iya. Ini Rio, Tan. Pengen liat pemandangan, siapa tahu object bagus buat kapan-kapan di foto,” Vita mengarang cerita. “Oh, fotografer? Iya, kata Vita pemandangan di atas memang bagus. Tante sih belum pernah naik,” kata tantenya Vira ke Rio, dan Rio hanya mengangguk sopan. “Oh ya, Robin mana, Vit?” Vita sedikit menegang, “Sibuk, Tan. Biasa, urusan kantor.” Tantenya hanya mengangguk-angguk, “Tante tunggu di bawah aja ya,” kata wanita pemilik rumah. Vita dan Rio lalu mengangguk sopan, dan bergegas naik ke atas atap.
Vita sedikit lega, berita lamarannya belum menyebar ke mana-mana.
Dulu, Vita dan Rio memang sering ‘manjat genteng’ di sini, alias naik ke atas atap. Dulu Vita sih memang agak tomboy, jadi perkara begituan adalah hobinya. Lagian mana ada orang pacaran di atas atap?
Nah, semenjak Vita pindah rumah, rumah itu sekarang dihuni oleh adik dari Bundanya, jadi kapan saja Vita mau ke atas atap, tinggal ijin.
Begitu sampai di atas, keduanya langsung tersenyum puas, tanpa perlu dikomando apa-apa. Vita langsung mengambil posisi duduk, dan Rio duduk persis di sebelahnya. Tangannya yang satu menopang tubuhnya, dan yang satu merangkul Vita. Vita sendiri membenamkan kepalanya di dada Rio.
Tanpa perlu banyak bicara, keduanya tahu apa yang ada di pikiran masing-masing. Pesona tempat ini. Kenapa mereka buru-buru pulang dari Dufan, khusus untuk ke tempat ini. Bukan ke pantai yang masih satu kompleks dengan Dufan, atau taman-taman.
Karena dari atas atap rumah ini, mereka bisa melihat langit yang luar biasa indah. Hari yang sudah sore membuat udara tidak panas, tapi warna biru muda langit masih begitu indah dan tajam. Pemandangan yang cantik, ditambah dengan matahari yang hangat berwarna kuning-oranye-emas.
karena ini adalah pemandangan yang jarang mereka lewatkan waktu masih pacaran dulu. Dan tidak ingin mereka lewatkan sekarang, walaupun usia mereka sudah bukan 18 tahun.
“Eh, Yo, ntar kita pulangnya gimana?” tanya Vita. Mobil yang tadi dipinjam Rio sudah dikembalikan. Karena memang mau digunakan oleh pemiliknya. “Ntar gampang, naik taksi juga bisa,”Rio menjawab simple. Keduanya hening lagi, merekam setiap detik yang berlalu baik-baik.
Vita mulai digerogoti kesedihan. Dia sangat senang hari ini. Date di Dufan, hidup tanpa beban, bersama Rio. Semua ini sangat amat menyenangkan. Otaknya gembira, hatinya tidak bisa berkata apa-apa sangking senangnya. Tapi sayang, semua ini hanya untuk satu hari.
Matahari mulai terbenam, dan peristiwa sunset hari itu adalah sunset terindah yang pernah mereka berdua lihat. Bukan dari pantai, bukan dari puncak gunung, bukan dari tengah hutan. Dari atas atap.
Lalu hari berubah gelap, dan bulan hanya bisa memberi sedikit penerangan. Vita dan Rio turun ke teras, dan melanjutkan ngobrol di teras.
“Robin siapa, Vit?” tanya Rio tiba-tiba. “Temen.” Vita hanya menjawab singkat. “Gue, temen lo juga?” Vita menengok ke arah Rio, memegang pipi Rio supaya menoleh ke arah dirinya. “Enggak, lo kan cowok gue.”
“Oh. Tapi tadi lo bilang ke tante lo kalo gue temen lo, tapi lo bilang ke gue, gue cowok lo. Jadi Robin itu siapa?”
Vita terdiam, “Tolong, Yo. Lo pasti tau lah siapa Robin itu. Kalo nggak, kenapa tante gue bisa sampe nanya? Gue nggak mau ngungkit-ngungkit masalah itu, gue cuma mau nyiapin mental gue buat apa yang terjadi setelah ini, dan menikmati momen ini sama elo.”
Rio menunduk, mengucapkan maaf yang digumamkan.
Lalu Vita berkata lagi, “Tapi setelah dipikir, gimana gue bakal siap ya untuk besok? Gue akan melanjutkan hidup dengan orang yang nggak gue cintai. Dan gue nggak akan pernah bisa ketemu lo lagi.”
“Tapi lo harus bisa, Vit. Gue percaya lo pasti bisa menghadapi masa depan lo sendiri, dengan siapapun lo akan menghabiskannya.” Vita menggeleng. “Nggak yakin,” kata Vita. Tapi lalu tiba-tiba Rio berdiri dari duduknya, menarik Vita untuk berdiri. Dengan lembut, tangan kanannya mengangkat dagu Vita perlahan sehingga mata mereka bertemu, dan pertama kalinya dari awal mereka pacaran dulu sampai sekarang, Rio mencium bibir Vita.
Rio lalu memeluk Vita, melingkarkan kedua tangannya di pinggul Vita, seperti halnya Vita melingkarkan kedua lengannya di leher Rio. Vita mulai menarik nafas dalam dan panjang, menahan tangis. Tapi Rio segera berbisik pelan, “Jangan nangis, Vit. Lo jalanin aja semua buat gue. Demi gue.” Vita berhenti menangis dan melepas pelukannya, menatap Rio. “Dan lo akan bertahan? Demi gue?” tanyanya pada Rio. Rio menjawab dengan anggukan mantap. Vita ikut mengangguk, “Gue akan melanjutkan hidup gue, apapun yang akan dihadapkan ke gue, dan gue akan bertahan demi elo.” Rio tersenyum puas, dan kembali menarik Vita dalam pelukan singkat.
Lama mereka berdiri berdua, sampai akhirnya Vita kembali pada kesadarannya akan hidup yang sedang berlangsung. “Udah malem, Yo. Pulang yuk?” Rio termenung sebentar, “Gue nganterin lo pulang, lalu lo harus melihat gue pergi? Gue harus nyakitin lo?” Vita terkejut, nggak menyangka Rio berpikir sejauh itu.
“Nggak, Vit. Lo pulang. Gue tunggu sampe lo pergi, baru gue pulang. Biar gue yang ngeliat lo pergi.” “Dan gue nyakitin lo, Yo?” Vita bertanya tajam, tapi dengan bijak Rio menggeleng, “Nggak akan sakit. Karena gue tahu lo nggak tersakiti oleh tindakan gue.”
Vita ingin berargumentasi lagi, tapi Rio membungkam mulut Vita. “Nggak ada argumentasi lagi, Vit. Udah ya, gue telponin taksinya sekarang.”
Taksipun datang, dan waktunya untuk mereka mengucapkan kata perpisahan, untuk yang terakhir kalinya.
“Makasih, Yo, buat hari ini. Buat kesempatan jadi cewek lo sekali lagi. Dulu gue pernah berandai-andai, pengen satu hari aja kita jadian lagi. Gue nggak nyangka, 10 tahun kemudian hal itu akan beneran terjadi. Maaf kalo gue pernah nyakitin lo, Yo.”
“Kalo nanti ada kesempatan gue pulang ke Indonesia, mungkin gue nggak akan nyari elo Vit. Maaf. Tapi gue rasa itu buat kebaikan kita berdua. Lagipula kalo emang semesta mau, kita pastinya bisa ketemu lagi tanpa harus saling cari. Gue juga seneng, Vit. Akhirnya gue bener-bener bisa berada bersama orang yang gue cintai, walaupun cuma sehari. Terima kasih lo udah mau jadi cewek gue, dan terima kasih karena lo masih mencintai gue,” kata Rio.
Vita pamit pada yang empunya rumah, lalu menatap Rio sekali lagi yang mengangguk, merelakan Vita.
Vita tersenyum dan berjalan ke arah taksi, tapi lalu berhenti dan berbalik, berlari ke arah Rio yang masih memperhatikannya lekat-lekat. Vita, untuk yang terakhir kalinya, memberi sebuah ciuman pada Rio, di bibirnya, dan memeluknya erat. Lalu tersenyum dengan lebih tulus, dan melangkah pergi.
-*^^*-
EPILOGUE
Sebuah keluarga kecil terlihat gembira, berlibur di negeri Paman Sam. Sang anakperempuan tersenyum lebar, digandeng oleh Papa dan Mamanya dari sisi kanan dan kirinya. Mereka berjalan di jalanan padat Times Square, New York, yang walaupun masih siang hari, terlihat sangat menakjubkan. Sang anak menunjuk ke sebuah toko yang menarik, dan mengajak kedua orang tuanya untuk menyeberang jalan dan masuk ke toko itu. Karena jalanan sangat dipenuhi orang-orang, sang ayah menggendong putrinya untuk menyeberang jalan. Sang istri menggandeng tangan suaminya dan mereka bertiga berjalan menyeberang.
Lalu tiba-tiba, wanita itu terpaku pada satu sosok, yang berjalan ke arah yang berlawanan. Wajah oriental, wajah yang tidak pernah berubah.
Dan wajah itu menengok ke arahnya.
Jam seakan berhenti berdetak selama beberapa detik, waktu mereka saling tersenyum satu sama lain, dan menyadari bahwa keduanya, masih menyanyangi, mencintai.