-*^^*-
“Pagi Val sayang, udah di makan cake nya?” tanya Aldi begitu Val duduk manis di sampingnya. “Pagi, udah kok. Enak deh. Makasih, ya,” jawab Valeri, yang lalu bertanya, “Tapi, kenapa harus repot-repot gitu sih?” Aldi tersenyum, “Kan bikin kamu seneng.”
Valeri tertawa singkat. Lalu di saat itulah dia baru benar-benar memperhatikan wajah Aldi, pucat. “Lho, kamu sakit, Di?” Aldi mengangkat alis, kaget Valeri menyadari hal itu. “Cuma agak demam dikit. Nggak papa kok,” kata Aldi. “Masa?” Valeri bertanya nggak percaya. Tapi Aldi mengangguk, membuat Valeri nggak bertanya apa-apa lagi.
-*^^*-
“Di? Lo nggak papa?” Henita, ketua kelasnya Aldi kaget waktu lihat Aldi menelungkupkan kepalanya di meja. Biasanya, Aldi pasti lagi megang HP, sms Valeri, atau hilang nggak tau kemana. Yang pasti nggak di kelas dan nggak duduk-duduk aja, apalagi sampe kaya gini.
“Gue ke UKS ya, Hen.” Aldi membalas kata-kata Henita. “Lo nggak pulang sekalian? Nanggung, udah jam terakhir lho.” Aldi berikir sebentar, dan 5 detik kemudian dia mengangguk. “Gue ijin dulu deh.”
Setelah ijin keluar, diapun segera melangkahkan kaki ke parkiran, dan pulang. Sampai di rumah, barulah dia inget, “Valeri!”
Valeri berdiri di gerbang, sendirian. Kenapa nggak jemput-jemput nih? Batinnya. “Hei, kok nggak pulang, Val?” Rian tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. “Iya nih, gue belum di jemput. Nah elo sendiri, kenapa belum pulang?” balas Valeri. Jawaban Rian membekukan tubuh Valeri, “Soalnya elo belum pulang.”
Untunglah suasana kaku itu berhasil dicairkan oleh dering HP Valeri. “Halo?”
“Val, aku nggak bisa jemput.” Suara pelan Aldi terdengar di ujung sana. “Ehm, sakit beneran ya?” tanya Valeri. “Iya nih. Maaf ya, baru kasih tahu sekarang.” Jawab Aldi. “Iya nggak papa. Udah istirahat aja,” kata Valeri. “Nah kamu pulang sama siapa?” tanya Aldi, berharap bukan satu nama itu yang akan terdengar. “Gue pulang sendiri lah!” jawab Valeri, tapi saat Valeri mengatakan itu, Rian langsung tersentak dan dengan isyarat tangan mengatakan, dia mau nganter Valeri. “Eh, nggak, gue dianterin Rian.”
Seketika itu juga, Aldi bangkit dari berbaringnya di rumah. “Aku jemput aja, Val!” Valeri langsung gelagapan, dan berbisik, “Jangan! Kan kamu lagi sakit! Udah nggak papa, aku pulang sama Rian!” “Nggak! Udah tunggu aja!” Aldi membantah dengan agak keras, tapi Valeri bisa jadi lebih keras dari Aldi, “KENAPA SIH? GUE BILANG NGGAK YA NGGAK! LO ISTIRAHAT AJA! GUE BISA PULANG SENDIRI!” lalu, telepon dimatikan.
“Sepupu lo kenapa, Val? Sakit?” tanya Rian dengan muka super tenang. “Iya, sakit.” Jawab Valeri, sambil mengontrol emosi yang sempat naik habis ‘marah’ sama Aldi. “Ya udah gue anterin ya, Val?” Rian bertanya lembut. “Eh, nggak usah deh. Gue pulang sendiri aja,” Valeri buru-buru menjawab, tapi Rian menggeleng, “Nggak ngerepotin kok, kalo itu yang lo takutin.” Bukan itu yang gue takutin, Rian! Desah Valeri dalam hati, tapi rasanya Valeri nggak ada pilihan lain. Temen-temennya yang lain udah pada di mall, dan mau naik taksi juga nggak ada yang lewat. “Ya udah deh, makasih ya,” Valeri akhirnya mengiyakan tawaran Rian. Rian sendiri tersenyum dan segera mengajak Valeri menuju ke parkiran mobil.
Aldi, di rumahnya jadi panik. Bukan panik karena Valeri marah. Dia tahu Valeri cuma kelewat khawatir. Tapi kenyataan bahwa Valeri lagi ada bersama Rian, itu yang jadi masalahnya. Soalnya, beberapa hari yang lalu, dia baru aja ketemu sama orang bernama Rian itu. Makanya, dia langsung mengambil helm, menaiki motornya, berusaha meredam ketakutannya dengan secepat mungkin sampai di rumah Valeri.
“Jadi elo yang namanya Rian?” tanya Aldi sambil mengamati cowok yang berada di depannya itu. “Iya, gue Rian. Mmm maaf, lo siapa ya? Dari mana lo tau tentang gue?” jawab Rian. Aldi berdehem dan menggunakan satu istilah yang selalu menyakiti hatinya. “Gue Aldi, sepupunya Valeri.”
“Oo, iya iya. Kakak ada apa nyari saya?” tanya Rian dengan lebih sopan, setelah tahu lawan bicaranya lebih tua dari dirinya.
“Lo suka yah sama Val?” tanya Aldi langsung to-the-point, dengan nada datar dan wajah tanpa ekspresi. Lucunya, kalimat itu malah membuat senyum mengembang di wajah Rian..”Iya, saya suka sama Valeri, Kak,” jawab Rian jujur. “Nggak usah formal gitu, nggak papa kok,” Aldi mengkoreksi gaya bicara Rian. “Lo sayang sama Valeri?” tanya Rian lagi. “Iya, Kak. Saya,-ehm gue, sayang sama Valeri. Yah, walau kami baru kenal, tapi nggak tahu kenapa saya langsung suka sama dia, Kak. Bahkan bisa dibilang, cinta,” sekali lagi Rian berkata jujur.
Aldi cuma mengangguk-angguk, terhanyut dalam pikirannya. “Kak, menurut lo kira-kira Valeri suka sama gue?” tanya Rian malu-malu. Aldi, sayangnya, cuma mengangkat bahu. Karena walaupun dia tahu saat ini Valeri adalah miliknya, dia nggak tahu apakah dihati Valeri ada cowok lain ini atau nggak.
“Berarti Kakak belum tahu ya, kira-kira kalo gue nembak Valeri, dia terima atau enggak?”
Sekali lagi, Aldi mengangkat bahu.
“Mas? Kok melamun? Apa karena mas’e sakit? Tiduran di kamar tamu mau, mas?” tanya Bik Sum dengan logat jawanya. Awalnya Aldi menggeleng, tapi lalu mengangguk mengingat nggak mungkin dia tiduran di sofa mahal ini.
Sambil berbaring, Aldi menatap jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Kenapa nggak pulang-pulang sih kamu, Val? Aldi semakin panik. Dia bukannya takut akan terjadi hal-hal buruk sama Valeri, dia justru takut dalam waktu beberapa jam ini, hati Valeri akan berpindah, menjadi milik Rian.
-*^^*-
“Val, gue mau tanya sesuatu sama lo. Tapi jangan marah, ya?” kata Rian, justru setelah mereka berada di depan rumah Valeri. “Tanya apaan?” Valeri balik bertanya, berpikir paling juga soal keluarganya. Tapi ternyata apa yang tanyakan Rian nggak berkaitan sama sekali dengan keluarganya. Hanya berkaitan pada Valeri.
“Lo mau jadi cewek gue nggak?”
Senyum Valeri langsung menghilang. Dia menunduk berbisik lirih, “Sori, gue gak bisa.” Lalu Valeri mengangkat wajahnya dan memandang keluar jendela sejenak, sebelum akhirnya mengambil bawaannya. “Makasih ya,” kata Valeri, ingin segera keluar dari mobil dan suasana yang menurutnya sangat mencekam ini.
Tapi Rian memegang pergelangan tangannya. “Kasi gue kesempatan, Val.” Tapi Valeri kembali menggeleng. “Rian maafin gue, tapi gue nggak bisa.”
“Kenapa? Orang tua lo nggak ngijinin? Gue bisa nunggu, kok!” pinta Rian. “Tolong, Val. Gue nggak bakal nyakitin lo, gue bakal selalu jagain elo, gue sayang sama lo!”
Valeri, yang tadinya berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Rian, sekarang diam. “Gue nggak suka nyakitin orang, tapi maaf, gue nggak bisa.” Valeri berkata pelan tapi tegas. “Kenapa, Val?” tanya Rian, lalu dia melanjutkan, “Oke, nggak papa kok kalo lo nggak bisa, tapi tolong kasih gue alesan. Kenapa?"
Valerri menimbang-nimbang sejenak, lalu berkata, “Gue udah punya pacar.”
Rian langsung terbelalak. “Apa? Lo bilang ke temen-temenelo nggak punya pacar.” Wajahnya terlihat marah, kecewa. “Gue Cuma berusaha ngelindungi dia. Gue tau dia nggak suka kumpul sama orang-orang kaya temen kita di sekolah. Lagian gue belum bisa menganggap mereka temen gue, yang perlu tau semua tentang privasi gue.”
Rian tertegun. “Lo bener-bener orang yang baik, Val.” Valeri Cuma tersenyum, ”Gue sayang sama lo, tapi Cuma sebatas temen. Dan setelah hari ini pun, kita tetep temenan.” Valeri berhenti sebentar, lalu berkata, “Kakak sepupu gue.” Rian menatap Valeri. “Elo pacaran sama kakak sepupu sendiri??” tanyanya dengan tatapan agak horror. Valeri tertawa kecil, “Ya enggak lah. Dia bukan kakak sepupu gue, dia pacar gue.”
Rian tersenyum singkat, paling nggak dia tahu pacar Valeri memang sayang sama dia berdasarkan kemarin waktu Rian ketemu dia.
“Pokoknya, apapun yang lo lakukan, jangan sakitin Valeri!”
Walaupun ada rasa sedih di hatinya, Rian nggak menyesal Valeri nggak menerimanya. “Makasih Val, buat kesempatan untuk jadi temen lo.”
-*^^*-
Begitu Valeri masuk ke rumah, Bik Sum langsung berjalan kecil ke arahnya. “Non, ada Mas Aldi di kamar tamu.” Seketika itu juga, Valeri langsung melepaskan tasnya dan berlari menaiki anak tangga, naik ke kamar tamu. Begitu dia membuka pintunya, sesosok yang sangat di sayanginya terbaring di atas kasur double-bed itu. Valeri tersenyum sedih, Aldi terlihat tenang, tapi pucat. Valeri menyentuh lengan Aldi perlahan, tanpa ingin membangunkan Aldi dari istirahatnya. “Bik! Ambilin air hangat dan handuk!”
-*^^*-
Aldi merasakan ada handuk hangat di kepalanya. Baru setelah dia membuka mata, dia menyadari kalo Valeri yang meletakkan handuk itu. “Udah enakan?” tanya Valeri. Aldi mengangguk, lalu berusaha untuk duduk sambil mengambil handuk dari kepalanya. “Rian gimana?” tanya Aldi. Valeri langsung menegang, tapi tetap tenang. “Tadi dia nembak aku.” Aldi langsung lemes lagi, tapi dia tahu Rian memang akan melakukannya. “Terus gimana?”
Valeri malah menatap Aldi bingung, “Apanya yang gimana? Ya pasti aku bilang enggak lah! Aldi gimana sih?” Aldi menengok ke arah Valeri, “Kamu nolak?” Valeri jadi gemas. “Kamu itu siapa?” Aldi mengerutkan alisnya. “Nggak mungkin lah aku punya pacar 2, Aldi! Lagian aku nggak suka sama dia. Aku cuma nyaman deket sama dia sebagai temen.”
Tiba-tiba rasa lega membanjiri tubuh Aldi, dan dia tersenyum. Tapi Valeri malah justru tambah gemes. “Kamu kira aku suka sama Rian? Aldi kamu kenapa sih?? Kamu kira aku cewek apaan, nggak tau diri banget, udah punya pacar kaya kmu masih kurang—“ Valeri nggak menyelesaikan kata-katanya karena Aldi sudah membawanya dalam pelukannya. “Aku sayang sama kamu, Val. Aku nggak mau kamu pergi,” kata Aldi, berbisik tepat di sampping telinga Valeri. “Jadi itu sebabnya kamu ngasih barang macem-macem, supanya aku nggak terkecoh sama Rian? Aldi, nggak perlu kaya gitu. Aku juga sayang banget sama kamu, nggak bakal berbuat kaya gitu.”
Aldi tersenyum, terutama saat Valeri memberi satu ciuman di pipi Aldi, membuat Aldi tidak bisa menahan dirinya untuk berpikir, I’m lucky to have you in my life.
0 comments:
Post a Comment