ada 2 part, and here's the 1st part :)
-*^^*-
LUCKY 2
“Gimana sekolah barunya?” Aldi langsung bertanya begitu Valeri masuk ke mobil putih itu. “Bikin bete! Temen-temennya nggak enak,” keluh Valeri. “Nggak enak gimana?” tanya Aldi sambil tersenyum. Masa baru pertama sekolah udah langsung nge-judge gitu sih?
“Waktu denger nama belakangku yang nggak tahu kenapa disebutin sama gurunya, semua langsung sadar kalo aku anaknya Papa, dan semua pengen ketemu Papa. Mereka semua langsung aja deket-deket, nempel, sok kenal, biar ketularan kaya katanya. Coba kalo aku anak jalanan, mana mau mereka temenan sama aku!” Valeri menumpahkan semua uneg-unegnya pada Aldi, yang hanya bisa tertawa pelan. “Maksud kamu, mereka ngeliat harta gitu?”tanya Aldi. Valeri mengangguk.
Aldi nggak menuduh Valeri sok tahu atau semacamnya, untuk langung nge-judge temen-temennya, karena Valeri memang tipe orang yang bisa menentukan sifat orang dari pertemuan pertama dengan orang-orang baru. Di sekolah Aldi sendiri, hal semacem ini nggak terjadi. Mereka semua enak aja temenan, sahabatan, tanpa peduli-peduli banget sama latar belakang masing-masing.
“Di, aku mau ngomong,” Valeri tiba-tiba berkata, berarti penting, karena kalo enggak, dia udah nyeplos aja dari tadi. “Ngomong apa?” Aldi balas bertanya.
“Aku sayang banget sama kamu,” kata Valeri. Aldi tersenyum, “Aku juga sayang banget sama kamu, Val.” Bukan, bukan ini yang mau Valeri katakan. Hal ini cuma menunjukkan kalau yang mau dikatakan Valeri ini penting pake banget.
“Di, boleh nggak aku bilang sama temen-temen di sekolah ini kalo, mmmm,” Valeri nggak melanjutkan kalimatnya. “Kalo apa, Val?” Aldi mendesak, karena dia tahu ini pasti penting buat Valeri.
“Kalo aku nggak punya pacar?”
CIITT! Mobil berhenti tiba-tiba. Klakson dari mobil belakang langsung ramai terdengar, marah. Untungnya jarak antar mobil cukup banyak sehingga nggak sampe tabrakan. Valeri yang menyadari hasil omongannya barusan langsung membeku. “Eh, lupain deh yang barusan aku bilang.” Dan keduanya pun diam, sampai 10 menit kemudian, saat mobil yang lalu melaju dengan kecepatan sangat tinggi ini akhirnya berhenti.
Saat mobil berhenti di depan rumah mewah Valeri, mesin tak langsung dimatikan. Keduanya masih larut dalam pikiran masing-masing. “Kenapa?” suara serak Aldi serasa meremas hati Valeri. “Nggak, lupain aja, Di. Makasih ya, udah nganterin. Mau masuk dulu, nggak?” tanya Valeri, berusaha tenang, tapi Aldi nggak mendengarkan. “Kenapa? Aku ada salah? Kamu malu pacaran sama aku?”
Valeri langsung menggeleng kuat-kuat. “Bukan gitu, Di. Udahlah, nggak usah dipikirin lagi. Ya?” Setelah pernyataan barusan, barulah Aldi tersadar dari pikirannya. Itupun nggak sadar sepenuhnya. “Gue nggak turun deh. Gue langsungan ya,” Aldi berkata sambil membuka kunci mobil. Valeri menepuk kepalanya, tahu kalo Aldi sampe kelepasan ngomong lo-gue, berarti dia lagi melamun hebat.
Valeri akhirnya nggak jadi turun. Dia akhirnya menjelaskan juga pada Aldi. Dia nggak tega juga melihat pacarnya kaya gitu. “Aku tahu kamu nggak bakal suka kumpul sama orang-orang kayak mereka. Kalo mereka tahu aku punya pacar, apalagi yang ganteng kaya kamu, pasti mereka nyuruh aku ngajak kamu kalo mereka jalan-jalan,” Valeri berusaha menjelaskan dan menyelipkan candaan kecil, yang akhirnya memunculkan senyum kecil di wajah Aldi. Valeri tahu Aldi punya trauma kecil dengan cewek-cewek model gituan.
“Nggak usah gitu juga kan, tapi. Pasti ada cara lain, kan?” Aldi masih nggak setuju. “Makanya, aku bilang lupain aja, Aldi,” Valeri berusaha menghilangkan pikiran itu dari otak Aldi.
Alasan itu nggak cukup buat Aldi, tapi ada satu alasan lain yang membuat dia mau mengabulkan permintaan ceweknya itu. “Apa itu bikin kamu seneng?”
Valeri tahu kalau Aldi udah bilang gitu, artinya dia terpaksa. Tapi nggak ada gunanya Valeri berbohong dengan, “Nggak seneng, makanya nggak jadi,” karena Aldi nggak akan pecaya. Tapi kenyataannya memang dia nggak senang. Dia hanya ingin melindungi Aldi.
“Nggak, aku nggak seneng. Tapi bikin aku ngerasa lebih, mmm, tenang.” Jawab Valeri, jujur.
Aldi akhirnya mengangguk, “Terserah deh. Terus kamu mau anggep aku apa?” tanyanya agak ketus, bahkan tanpa melihat Valeri. Valeri langsung tersentak. “Nggak akan ada yang berubah, Aldi. Cuma di depan temen-temen sekolahku aja.” Aldi menghela nafas berat dan akhirnya menatap Valeri, “Kamu bilang ke mereka, aku siapanya kamu? Kan tiap pagi dan sore aku anter dan jemput kamu. Nggak mungkin mereka nggak lihat aku, dan mereka pasti tanya, apalagi kalo mereka lihat aku ganteng.”
Valeri tertawa kecil. “Aku panggil kamu kakak sepupu ganteng kalo gitu.”
Aldi tersenyum dan hanya bisa ngikut kata ceweknya. “Ya udah deh kalo gitu.”
-*^^*-
Awalnya semua berjalan menyenangkan. Valeri menertawakan perasaan cemburu kecilnya saat semua temen-temennya minta dikenalin ‘kakak sepupunya’ yang ganteng itu. Tapi memang Valeri benar, Aldi jadi ngerasa terlindungi banget dari mereka yang super centil dan gila harta.
Tapi ada sesuatu berbeda lambat laun yang Aldi rasakan. Ada satu nama yang selalu di sebut-sebut dalam tiap percakapan mereka sekarang.
Namanya Rian. Menurut Valeri, dia adalah satu-satunya temen sekelasnya yang bisa menganggap dia sebagai temen beneran, bukan sebagai gadis kaya yang wajib dijadikan teman, dan bank.
Mereka jadi agak dekat, karena di sekolah, Valeri jadi sering ngobrol sama Rian. Dan hampir tiap pulang sekolah, Valeri menceritakannya ke Aldi. Mau nggak mau, Aldi merasa sedikit jealous. Membayangkan kenapa nggak dirinya aja yang ada di posisi Rian. Tapi nggak mungkin, karena mereka beda sekolah dan beda level.
Dua bulan ini Valeri terus menceritakan tentang Rian. Aldi berusaha sabar, dengerin aja ceweknya bercerita panjang lebar. Tapi di satu titik, nggak tahan lagi. Masa’ pacarnya lebih banyak ngomongin tentang orang lain.
“Di, hari ini, Rian..” “Nggak bisa apa, sehari ajak nggak ngomongin dia? 2 bulan, pasti kamu ngomongin Rian ini lah, Rian itu lah. ” Kata-kata Valeri yang terpotong nggak diselesaikannya. Valeri cepat-cepat minta maaf, “Ya ampun, sori Di! Abis, yang penting di sekolah cuma itu kok, nggak ada yang bisa diomongin lagi.”
“Selama 2 bulan ini, di sekolah cuma dia yang penting ya, Val?” tanya Aldi. Aduh, Aldi salah ngerti! Valeri cepat-cepat meluruskan. “Bukan gitu, Aldi. Kamu tahu kok maksudnya.”
“Terus apa maksudnya? Udah habis ini nggak usah ngomongin dia lagi, ya. Omongin apa kek. Pelajaran, atau apa. Jangan dia terus,” pinta Aldi.
“Cemburu nih Aldi?” tanya Valeri sambil tersenyum. “Iya lah! Orang setiap hari kamu ngomonginnya dia melulu,”jawab Aldi. “Iya, iya deh. Maaf ya, Di.”
Untung Aldi cowok yang sabar banget, batin Valeri. Sebenarnya, Valeri sih fine-fine aja kalo dia nggak usah ngomongin Rian lagi. Tapi masalahnya….
“Di, turun dulu, ya?” pinta Valeri saat mereka sudah sampai di depan rumah Valeri. “Iya deh,” jawab Aldi, lalu dia turun dan memutari mobil, membukakan pintu buat Valeri.
“Aldi, aku mau ngomong sesuatu.” Kata Valeri sambil mengajak Aldi berjalan ke taman besar di belakang rumahnya. “Ngomong apa, Val? tanya Aldi, walaupun dia sudah bisa menebak jawabannya.
“Aku sayang sama kamu,” kata Valeri. “Iya, aku juga sayang banget sama kamu,” kata Aldi. Bukan kata-kata ini yang ditebaknya, tapi yang berikut ini. “Tentang Rian, Di.”
Aldi menghempaskan tubuhnya ke bangku panjang yang ada di dekatnya. “Kenapa lagi? Bukannya tadi aku udah bilang ya? Dan kamu udah mengiyakan lho, Val.”
Valeri duduk di samping Aldi, lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sekotak cokelat dibungkus pita merah. “Dari dia. Tapi karena kamu nggak suka aku ngomongin dia, mending kamu bawa aja cokelat ini. Tanda aku minta maaf dan nggak bakal ngomongin dia lagi.”
Aldi menatap cokelat itu. Ada 2 masalah yang dia punya. Satu, cokelat dengan merk kesukaan Valeri, pasti Valeri pengen banget memakannya, tapi Valeri malah memberikannya ke Aldi. Aldi meraih kotak itu dari tangan Valeri dan membukanya. Mengambil sepotong cokelat lalu mengamat-amatinya. “Ihhh pasti kamu sengaja biar aku pengen!” Valeri berkata gemas. Aldi mengarahkan tangannya ke mulutnya, tapi malah gerakan selanjutnya membuat potongan cokelat itu berada tepat di depan Valeri.
Valeri tetap diam. Bingung apa yang sedang dilakukan oleh Aldi. “Mau nggak sih? Kayaknya kamu pengen banget loh.” Valeri tersenyum lalu melahap cokelat dari tangan Aldi. “Enak?” tanya Aldi. Valeri mengangguk, “Iya lah.” Aldi ikut memakan sepotong cokelat, tapi pikirannya melayang ke masalah keduanya. Ngapain sih orang bernama Rian itu ngasih cokelat ke Valeri?? Kalo dia sendiri, kasih cokelat ke cewek ya buat PDKT. Jangan-jangan… “ALDI! Kok ngelamun? Mikirin apa sihh?” Valeri berteriak tepat di samping telinganya. Aldi jadi langsung tersadar. “Apaan sih Valeri teriak-teriak,” Aldi mengusap-usap telinganya. “Udah, ni makan aja nggak papa kok. Aku pulang dulu ya, Val. Ntar kalo aku udah sampe rumah aku sms, oke?” Aldi menyerahkan kotak cokelat itu dan bangkit dari duduknya. Valeri ikut berdiri dan menutup kotak cokelatnya dan mengantar Aldi ke pintu depan. Aldi menggandeng Valeri selama berjalan dari taman ke pintu depan, bahkan sampai ke mobilnya. “Duluan ya, Val!”
-*^^*-
Entah kenapa, sejak hari itu Aldi hampir setiap hari memberikan sesuatu buat Valeri. Bisa berupa barang, yang paling ekstreme berupa ciuman di pipi, dan yang tambah membingungkan adalah, mereka diberikan tanpa alasan apa-apa!
Seperti hari ini, tiba-tiba saja sepotong cheesecake sudah berada di meja makan Valeri saat dia sarapan. Untungnya cheesecake itu masih utuh. Coba kalau Papa ada di rumah, pasti udah di habiskan. Tapi meja makan ini memang selalu kosong, hanya Valeri yang ada di sini, karena Papa dan Mamanya selalu pergi-pegi, kalo nggak ke luar kota ya ke luar negeri. Jadi segala macam cake aman buat Valeri.
“Dari Aldi lagi ya, Bik?” tanya Valeri pada Bik Sum. “Iya Non. Tadi pagi-pagi wes ke sini mas Aldinya.”
Valeri tersenyum, senang tapi seperti biasa, bingung. Nanti tanya ah, waktu Aldi jemput. Walaupun dia tahu, bertanya justru akan membawa dia semakin tersesat alias nggak akan menemuka jawaban, dia tetep berusaha bertanya. Yaahh berusaha nggak ada salahnya kan?
Dia nggak menyadari kalo Aldi sebenarnya lagi berjuang untuk menenangkan hatinya sendiri dengan berusaha ‘PDKT’ juga. Juga? Maksudnya?
Iya,sejak hari itu, Rian juga memberi hadiah lagi buat Valeri. Dari awal Aldi sudah menyadari, kalo Valeri bilang ‘nggak punya pacar’, pastilaha ada satu-dua anak yang ambil langkah untuk menyukai Valeri. Dan inilah konsekuensinyaa. Sekali hadiah dari Rian berupa berupa boneka beruang kecil, dan sekali berupa sekotak cokelat yang lebih besar, sekali berupa sepotong cake, dan sekali berupa ngerjain tugas buat Valeri. Hal ini yang pasti membuat Aldi cemburu berat. Jadi itu sebabnya dia memberikan bermacam-macam cake, cokelat, boneka, bunga, supaya Valeri nggak terpesona banget sama hadiah-hadiah dari Rian.
Valeri sudah meminta keduanya untuk stop. Enak sih, tapi ntar dikira dia cewek matre. Tapi keduanya tetep ngotot. Aldi tetep ‘PDKT’, dan Rian malah semakin sering membawa ini itu buat Valeri.
Suara mobil terdengar dari kejauhan. Valeri langsung menyelesaikan makan cheesecake itu dan berangkat ke sekolah.
0 comments:
Post a Comment