Sunday, October 17, 2010

-Love@d'FirstSight- Part 3

Sudah 3 bulan berlalu, masih diiringi kunjungan setiap hari ke rumahnya, atau Ray ke rumahku.

Ray semakin terlihat sehat, dan gembira.

Aku yakin keadaannya membaik karena ia rutin mengikuti terapi dan minum obat yang dokter berikan.

Malam ini aku dan Ray akan pergi bersama ke suatu tempat. Masih rahasia menurut Ray.

“RAY! Ayo cepetan!” panggilku setengah berteriak.

Aku di antar ke rumah Ray, dan kami akan pergi bersama nanti.

Kebetulan Ray sedang sendirian, karena papa mamanya mengantar anak kedua mereka, adik Ray yang bernama Mikael menghadiri acara sekolah.

Tidak ada jawaban.

Aku memberanikan diri masuk ke kamarnya.

“RAY!” teriakku melihatnya.

Ia terduduk di tepi ranjang, memegangi kepalanya seperti orang pusing.

Aku segera berlari ke dapur, mengambilkannya segelas air minum dan obat pereda sakitnya.

“Vekaa..” Ray merintih keras.

“Iya! Tunggu!” jawabku panik sambil berjalan ke arah kamarnya.

Sampai di kamarnya,

“Surprise! Kena deh!” Ray menyambutku di depan pintu. Lalu ia tertawa lepas.

Huh! Rupanya ia mengerjai ku, pikirku dalam hati sambil memasang wajah sebal.

Aku menaruh obatnya di meja belajarnya.

“Apaan sih, Ray? Bikin orang takut, tahu!” aku masih kesal.

“Kamu takut?” tanya Ray tiba-tiba serius dengan seulas senyum.

“Kenapa?” lanjutnya, masih dengan ekspresi yang sama.

“Aku..” jawabku tergagap.

“Udah ah, berangkat aja!” ucapku mengalihkan pembicaraan.

“Iya, udah sana keluar dulu.” Ray mengusirku.

Aku lalu duduk di sofa ruang tamu keluarganya.

Nggak lama kemudian Ray keluar sambil membawa kunci mobilnya.

“Yuk berangkat,” katanya.

Ternyata, Ray mengajakku ke daerah Gombel. Di sini kami memang bisa melihat seluruh kota Semarang, dengan lampu-lampu malam yang berwarna warni.

Kami Cuma terdiam di sana, saling berkutat dengan pikiran sendiri.

Tapi kehangatan terasa di antara kami, aku harap saat ini nggak akan berakhir.

“Ve... Aku ngajak kamu ke sini buat bilang sesuatu sama kamu.” Ray mulai bicara.

“Aku takut aku nggak bisa mengatakannya nanti, tapi yang jelas, aku pengen kamu tahu, aku bener-bener sayang kamu.” Ray melanjutkan.

Seketika itu juga air mataku mulai meleleh.

Ketika ia merangkul pundakku, aku tidak melepaskannya. Malahan aku mendekapkan kepalaku dipelukannya.

“Aku juga sayang sama kamu dan aku nggak mau kamu pergi...” kataku. Suaraku terdengar bergetar.

Tuhan, tolong supaya dia sembuh!

-*^^*-

Besok paginya,

Bunyi HP membangungkan ku. Ada yang sms, pikirku dalam hati.

Nama Ray muncul di layar, seulas senyum langsung tampak di wajahku.

Tapi begitu aku melihat isinya, aku tidak bisa bergerak.

Membuat duniaku serasa runtuh.

“Kak Veka, ini Mike/Mikael adiknya kak Ray. Kakak sekarang lagi ada di rumah sakit. Kak Veka bisa datang?”

Aku langsung bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan berganti baju, lalu menyuruh supir yang tidur di rumahku untuk mengantarku ke rumah sakit, yang telah diberitahukan Mike sebelumnya.

Begitu tiba, aku langsung berjalan cepat menuju kamar yang di maksud.

Di dalam, papa mama dan Mike sudah menunggu aku.

Mereka menjelaskan tentang Ray.

Ternyata sepulang dari acara Mike, papa dan mama Ray menemukanya tergeletak di samping tempat tidurnya.

Sampai sekarangpun, Ray belum sadar.

Aku jadi takut, apa waktu 3 bulan kami sudah habis?

10 menit kam berbincang-bincang, tiba-tiba Ray sadar!

Ia membuka matanya perlahan, seolah memulihkan kesadarannya.

“Ma, pa..” sapanya begitu melihat orangtuanya.

Ia tidak menanyakan bagaimana ia bisa ada di sini, seolah tahu apa yang akan terjadi.

Dia memang tabah dan kuat..

“boleh aku bicara berdua sama Veka, ma, pa?”

Tanya Ray pada orang tuanya. Aku yang di sebut agak kaget, tapi cukup mengerti untuk tetap diam.

Mamanya terlihat mengangguk pada papanya, lalu keluar bersama Mike.

Aku lalu duduk di kursi di samping tempat tidurnya.

“Veka, maafin aku....” katanya dengan suara serak.

“Kamu nggak salah, Ray. Jadi kamu memang udah minum obat yang aku kasi karena sakit, dan yang kemarin itu enggak Cuma pura-pura?”

Ia mengangguk dalam.

“Aku ngerti, Ray. Aku bisa ngerti.” Kataku mencoba tabah.

“Veka, aku mau lihat kamu bahagia. Kamu harus janji 1 hal sama aku. Kamu mau kan, bikin aku bahagia juga?” tanya Ray agak ragu.

“Kalau aku bisa, aku bakal ngelakuin hal itu.” Jawabku sederhana.

“Tapi kamu harus janji!” ia menegaskan.

Akhirnya aku mengangguk.

-*^^*-

Permintaannya mungkin adalah yang terakhir.

Dan yang membuatku semakin sedih, aku nggak tahu apakah aku bisa melakukannya.

-*^^*-

“Veka, kalau aku nggak bisa lagi nemenin kamu, janji sama aku untuk cari seseorang yang bisa jaga kamu.” Pintanya sungguh-sungguh.

APA??!!

“Biar aku perjelas, kamu minta aku untuk cari pengganti kamu? Kamu nggak bercanda, kan Ray?”

“Aku serius, aku nggak main-main. Dan kamu udah janji, Veka, jadi kamu nggak akan mengingkarinya kan?”

Aku Cuma terdiam lesu.

“Aku coba..” jawabku lemah.

Tangan Ray lalu membelai rambutku, sentuhan yang mungkin sekali seumur hidup.

“Aku nggak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan, tapi aku yakin selama kamu ada di sisi aku, aku akan baik-baik aja, Veka, jangan khawatir.” Ray mencoba meyakinkan aku.

“Iya,” aku hanya membalas pendek.

Mulai hari itu, aku bergantian berjaga dengan orang tuanya, dan memang benar, setiap aku menjaganya ia akan baik-baik saja.

Dan aku, Veka yang berumur 17 tahun sekarang, berjanji akan selalu ada disamping nya, apapun yang terjadi, karena hatiku telah jadi miliknya, pada pandangan kami yang pertama..

-*^^*-

10 tahun kemudian..

Hari ini aku menggenakan gaun selutut berwarna hitam. Aku mampir ke toko bunga untuk membeli sebuah buket, lalu mengendarai mobil ke sebuah tempat.

PEMAKAMAN ROYAL ITY

Begitulah bunyi papan yang ada di depannya.

Aku memantapkan diri dan memarkir mobilku.

Aku turun dan melangkah ke sebuah makam.

Nisan itu bertuliskan sebuah nama yang nggak akan pernah aku lupakan,

REINALD KRISTOFER

Aku duduk kursi yang disediakan di samping tiap makam, meletakkan buket itu di makam dan mulai berbicara.

“Ray, apakah kamu baik-baik saja? Aku harap kamu juga baik seperti aku. Sebenarnya aku harap kamu masih di sini, bersama-sama dengan aku, kita bisa bercanda lagi, tertawa, aku kangen suaramu Ray.

Aku kangen hangatnya pelukanmu, cara kamu membelai rambutku, aku kangen matamu yang selalu menyorotkan kelembutan. Aku kangen kamu Ray, aku sayang sama kamu...”

Air mata mulai mengalir di pipiku.

Sambil terisak aku melanjutkan.

“Ray, sekarang sudah 10 tahun dan aku sudah bisa melakukan janjiku. Aku sudah menemukan orang yang bisa menjaga aku sampai sekarang. Aku sebenarnya lebih berharap orang itu kamu. Tapi aku akan tetap melakukan janjiku. Aku sudah berjanji dan akan melakukannya, lagipula itu akan membuat kamu senang, kan? Kalau kamu senang, aku juga senang. Namanya Janson. Kapan-kapan aku akan mengajaknya ke sini.”

Angin sepoi-sepoi tiba-tiba bertiup.

Biasa, orang menandakan bahwa bila ada angin sepoi-sepoi, orang itu bisa mendengar kita.

“Ray, kamu bisa dengar aku?”

Tapi aku rasa hal itu tidak terlalu mungkin.

Aku kembali fokus pada bicaraku.

“Aku nggak tahu apakah aku akan bisa benar-benar sayang sama dia. Asal kamu tahu, Ray, kamu akan selalu ada di hatiku, walaupun nanti dia akan masuk di kehidupanku, kamu akan selalu jadi orang yang aku sayang. Kamu udah mengajari aku banyak hal Ray. Walaupun kamu sakit, aku nggak pernah menyesal mengenal kamu. Kamu orang yang baik, kamu nggak mau menyakiti hati orang yang kamu sayang, meski itu artinya mungkin suatu saat kamu akan hilang dari orang itu. Tapi kamu harus ingat, Ray. Kamu nggak akan hilang dari hatiku...”

Setelah cukup puas aku kembali ke mobil dan makan pagi di sebuah kafe kecil sebelum kembali ke kantor tempat aku bekerja sekarang.

“Nona Veronika, tadi ada seorang pemuda datang mencari anda. Dia sudah menunggu di ruangan anda.”

Kata seorang suster di resepsionis rumah sakit padaku.

“Oh, iya Sus. Terimakasih.”

Pemuda? Siapa? Yang pasti bukan Janson karena suster-suster di sini sudah tahu namanya.

Aku bergegas melangkahkan kaki, dan melihat seorang pemuda yang familiar duduk di depan mejaku.

0 comments:

Post a Comment