Duh. Bosen banget liburan ke Bali lagi.
Ini yang ke-3 kali dalam setahun aku liburan ke sini. Soalnya, ayah dan bunda lagi ada urusan bisnis. Tapi bisnis itu sebenernya memang enggak harus dilakukan di Bali/ Sekalian liburan, kata bunda.
Sebagian besar waktu kami, kami habiskan di hotel saja, atau di mall. Sesekali kami juga pergi ke Ubud untuk jalan-jalan, tapi kali ini kami hanya akan jalan-jalan di pantai saja.
Aku suka Bali, tapi 1 kali setahun sudah cukup!
Tapi apa boleh buat, aku dan adikku harus ikut.
Hotel yang kami tempati berada di seberang pantai, jadi aku boleh pergi dan pulang kapan saja aku mau. Lagipula ayah dan bunda akan bertemu patner bisnis mereka sore ini.
Aku langsung memakai sandal jepit bermotif bunga dan topi lebar yang sudah sangat sering aku pakai.
Tanpa berpamitan aku melangkahkan kakiku ke pantai.
Angin lagi berhembus kencang, cocok buat main layangan. Banyak juga orang yang sudah siap dengan layangannya. Aku jadi tergoda untuk mencoba. Untung ibu-ibu yang menjual layangan itu mau membantuku menaikkan layangan setelah aku membeli sebuah layangan yang ia jual.
“Kak Veka lagi ngapain?” sebuah suara mengagetkanku saat aku lagi asyik dengan layanganku.
Ternyata hanya adikku, yang usianya banyak denganku.
“Sofi, sama siapa di sini? Kakak lagi mau main layang-layang. Mau ikut?” kataku menawarkan.
“Sofi tadi diajak ayah ke sini, terus ayah malah ketemu temennya jadi ngobrol. Terus Sofi lihat kak Veka, jadi Sofi ke sini aja,” kata Sofi dengan gaya khas anak kelas 2 SD, seraya mendekat, tanda ingin ikut main.
“Hmm, anginnya dingin ya, Kak,” Sofi merapatkan jaketnya.
Aku mengangguk.
Sore ini memang udah enggak begitu panas, gak seperti biasanya.
“SOFI!!” terdengar seorang pria memanggil Sofi. “Mau ikut ayah atau Veka?” ayahku memanggil dari kejauhan. Ayah sudah selesai berbincang dengan temannya dan pasti lagi terburu-buru kembali ke hotel dan bersiap ke rapat nanti.
Ayah memang terlalu banyak bicara! Hihihi. Ayahku memang tipe orang yang banyak bergaul, jadi jangan heran kalau kemana-mana ayah pasti akan bertemu temannya.
“Ikut ayah!” Sofi berjalan ke arah ayahku. Anak kecil memang plin-plan! Baru sebentar ikut aku udah balik lagi ke ayah.
Aku cuma bisa melambai kecil.
Sofi dan ayah membalas lambaianku.
Ketika aku mendongak lagi ke langit, ups! Layanganku menabrak sebuah layang-layang lain! Bukan cuma itu, tapi sepertinya juga tersangkut.
Aduh! Ingin rasanya melepas gulungan tali ini terus lari kembali ke hotel. Tapi layangan-layangan itu keburu turun dan mendarat tak jauh dari tempatku karena angin juga tiba-tiba berhenti.
“Layangan kamu?” tanya seorang laki-laki sambli membawa 2 buah layangan.
“Iya, maaf udah nabrak layangan kamu. Ada yang rusak?” aku berusaha menunjukkan sedikit sikap menyesal.
Ia mengangkat alis dengan heran sebentar, sebelum melanjutkan.
“Enggak kok, enggak rusak. Ya udah, ini,” ia menyerahkan layangan merah besar milikku. Lalu dia berbalik dan berjalan pergi begitu aja.
“Kamu bukan orang Bali, ya?” tanyaku tiba-tiba. Pertanyaan enggak mutu dan enggak sopan. Tapi terlintas di kepalaku saat logat yang digunakannya berbeda.
“Iya, aku orang Semarang.” Ternyata dia bersedia berbalik ke arahku dan bicara padaku. Dan, hei! Dia juga berasal dari Semarang!
“Aku juga dari Semarang lho! Kelas berapa?” aku SKSD banget ya? Alias Sok Kenal Sok Dekat.
“Emang aku kelihatan seperti masih sekolah, ya?” dia mengerutkan alisnya. GUBRAK!
“Emm, ii-iya.” Jawabku ragu.
“Aku memang masih sekolah kok. Kelas 11. Kamu?”
“Oh, kirain. Eh, aku baru kelas 10. Sekolah di mana?”
“Aku home schooling. Tahu nggak artinya?” tanya nya dengan tatapan merendahkan.
“Tahu dong! Aku juga home schooling!” kataku dengan nada penuh kemenangan. Memangnya dia aja yang bisa home schooling gitu?
“Ooo. Kenalin, aku Reinald. Panggil Ray aja.”
Reinald. Ray. Nama yang bagus kan? Sopan pula..
“Eh, aku Veronica. Veka.” Kataku sambil mengulurkan tangan. Ia menjawab uluran tanganku.
Enggak nyangka, peristiwa layangan nabrak bisa bikin kenalan baru!
Ganteng lagi...
Ah, ada-ada aja.
“Duduk di situ, yuk.” Ray menyarankan.
Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya yang enggak begitu besar.
Aku enggak menyangka ada orang yang begitu ramah pada kenalannya yang baru.
“Mau minum?” tanya dia setelah duduk di sebuah tempat duduk. Sebenarnya tempat itu hanya bagian dari pagar pantai, tapi cukup nyaman karena terdapat sebuah pohon besar di sampingnya, dan beberapa penjual makanan dan minuman tersebar di sekitar tempat itu.
“Terserah kamu, aja.” Kataku sopan.
“Tunggu di sini, ya.”
Aku mengangguk samar, nggak yakin akan apa yang akan dia lakukan.
Dia lalu menghampiri seorang pedagang minuman dan kembali membawa 2 botol minuman ringan.
“Nih, buat kamu.” Kata Ray sambil menyodorkan sebuah botol minuman kepadaku.
“Mmm, makasih.” aku bergumam pelan.
Kami lalu mulai ngobrol beberapa saat. Dan sepanjang kami bicara, yang ada Cuma tertawa dan bercanda. Setelah beberapa saat baru kami bisa serius.
“Jadi, kamu orang Semarang juga? Kok bisa nyasar ke sini sih?”
“Iya, ayah lagi banyak urusan di Bali. Jadi kami sekeluarga ke sini. Sekalian liburan gitu,” balasku dengan cerewet.
Penasaran, aku balik bertanya, “Kalau kamu?”
Dia seperti tersentak lalu dengan terbata-bata menjawab, “Eh, iya, sama. Ada urusan.”
“Ooo,” aku Cuma mengangguk, gak berusaha tanya lebih lanjut.
“Mmm, boleh minta nomer HP?” tanyanya ragu. Selama beberapa menit aku berkenalan dengan dia, baru pertama ini dia terlihat benar-benar ragu.
“Tentu saja.”
Aku lalu memberikan nomor Hpku padanya, dan dia juga begitu.
Hal teraneh yang pernah aku lakukan dalam hidup.
Aku baru kenal dia mungkin 10 menit, tapi aku sudah percaya sama dia.
Entah apa yang membuat aku percaya. Yang pasti bukan hipnotis atau semacamnya.
Hehehe...
Tibar-tiba suara ponsel berdering, ternyata ponselnya.
Dia berdiri dan menjauh beberapa saat, lalu kembali.
“Sori, aku harus pulang sekarang. Enggak apa kan?”
Ray ternyata harus pulang, tapi ia kelihatan masih ingin tingga
“Iya, enggak apa-apa.” Jawabku memaksakan seulas senyum yang kaku.
“Bohong, iya kan? Ya udah, aku tungguin sampe sunset.” Katanya dengan senyuman manis.
Aku cuma bisa tersipu. Sejauh ini, aku cukup dikatakan pintar berbohong oleh teman-temanku. Baru kali ini ada orang yang mengetahui aku bohong.
Tapi kenapa aku nggak mau dia pulang? Toh kami mungkin bisa kenal hari ini aja..
“Kamu kapan pulang ke Semarang?”
“Minggu depan. Kenapa? Kamu sendiri?”
Aku tahu nggak baik menjawab orang dengan pertanyaan, tapi aku juga ingin tahu.
“Enggak, Cuma mau tahu aja. Boleh kan? Aku juga masih seminggu lagi.”
Aku mendengarkannya berceloteh kemudian tentang liburannya ke Jogja minggu lalu, sambil diiringi suara ombak yang berdebur riang.
“Terus aku terbang deh, ke Bali..” begitu ia menyelesaikan ceritanya, ia langsung memutar wajahku, dari yang melihat ke beberapa pedagang, sekarang memandang ke laut.
Sunset kesekian yang pernah aku lihat, tapi yang pertama dengan seorang teman.
“Nah sekarang aku pulang, ya? Besok kita ketemu lagi di sini. Bisa kan?” tanya Ray sambil menatap dalam ke mataku. Matanya ternyata berwarna cokelat tua.
Aku seperti tenggelam dalam kedua matanya sampai-sampai lupa menjawab.
“Iya, aku usahakan. Sampai besok,” balasku sambil melambai ke arahnya.
Aku tak tahu, tapi bahkan mobilnya belum berbelok di tikungan itu, aku sudah agak merindukannya.
Mungkin keceriaannya, suaranya yang jernih dan lantang, atau cerita-ceritanya yang menghibur.
Tapi aku juga nggak bisa memutuskan, bisa aja kan, dia itu ternyata cowok nakal yang kerjaannya bikin cewek terpesona, tapi ternyata dia Cuma iseng gitu?
Entahlah, tapi rasanya hati kecilku sudah tahu kalau dia bukan tipe orang yang seperti itu.
Entah bagaimana aku yakin dia adalah orang baik-baik.
Sampai besok, Ray...
-*^^*-
Seminggu kemudian...
“Ray, kamu di mana? Aku udah sampai di Semarang.”
Pesan singkat itu aku lihati sebentar, lalu aku kirim.
Aku pulang dari Bali lewat Jogja, sedang dia lewat Jakarta.
Kami menghabiskan seminggu terakhir bersama. Menyusuri pantai, main layang-layang dan kegiatan lain yang menyenangkan. Menikmati sunset berdua bahkan sudah jadi hal rutin yang kami lakukan.
Karena hari ini kami akan pulang, jadi kami memutuskan untuk melihat matahari terbit. Jam 4 aku sudah dibangunkan dengan sms darinya.
Kami jalan-jalan lalu melihat matahari
Tak lama, ada balasan dari Ray.
“Aku udah mau boarding nih. Di Semarang panas nggak? Atau mendung?”
Aku melihat keluar jendela. Gak panas. Gak mendung. Apa dong namanya?
“Mmm, enggak panas dan enggak mendung. Hhehe.. Ya udah, hati-hati ya.. J”
Aku cerita tentang Ray ke sahabatku, Meili, lewat telepon sore itu.
“Aku yakin 60% dia suka sama kamu!” katanya berapi-api.
Dunia serasa jungkir balik.
“Tapi kami baru bertemu sebentar. Masa bisa sih orang suka langsung pada pandangan pertama?” tanyaku nggak percaya.
“Bisa, tau! Enggak pernah denger?” tanya nya.
“Ooo, enggak pernah denger tuh.” Aku berkata dengan lugunya.
“Kalo gitu enggak usah cari tau! Kamu kan udah mengalaminya sendiri.”
Enak aja kalo dia ngomong! Tapi aku jadi tertarik..
“Emang gimana ciri-cirinya gitu?”
“Iya yang paling jelas, kamu kangen kan sama dia sekarang, walaupun kamu baru ketemu dia tadi pagi?”
Ya ampun! Meili bisa membaca pikiranku!
“Terus rasanya pasti seneng kan kalo ketemu dia?”
2 kali, bahkan!
“Itu ciri-ciri utamanya. Jadi bagaimana? Kau benar-benar suka padanya, ya? Oh tidak! Aku harus mengangkat air rebusan untuk mandi air hangatku. Sampai nanti!”
Kata Meili terburu-buru, lalu menutup telepon. Meili memang selalu terburu-buru.
Tapi yang dia katakan ada benarnya,
Mungkin aku, suka pada Ray..
Hanya mungkin.. dan mungkinkah dia menyimpan perasaan yang sama?
0 comments:
Post a Comment