Sunday, October 17, 2010

-Love@d'FirstSight- Part 2

1,5 tahun berlalu..

“Halo?” tanyaku sambil mengantuk. Baru jam 5 pagi! Siapa sih yang telpon sepagi ini?

“Ini aku, Ray. Baru bangun?” jawab seseorang di ujung sana. Eh, maksudku Ray, dengan santainya.

Aku menggerutu sebal, harus bangun sepagi ini di hari Sabtu!

“Iya, aku baru bangun setelah mendengar dering telepon. Ada apa?” kataku masih sebal.

“Ayo keluar! Kita jalan-jalan!” ajak Ray riang.

APA? SEPAGI INI?

“Jalan pagi kan sehat.” Lanjutnya sambil terkekeh.

“Iya, iya. Tunggu 10 menit lagi! Memang kamu di mana?” tanyaku mulai tertarik.

“Udah di depan rumahmu.”

Tidak bisa menghindar..

“Oke.. Tunggu 10 menit!” kataku tegas karena masih mengantuk sambil menutup sambungan telepon.

Aku bergerak dengan malasnya ke kamar mandi, mencuci muka dengan air dingin, tapi ternyata tidak banyak membantu.

Lalu aku berganti pakaian dengan sehelai kaus polos berwarna pink dan celana training. Aku mengambil 2 botol minuman dingin dari kulkas, lalu keluar.

“Lama banget?” tanyanya sambil mengambil sebotol air dingin yang kubawa.

Tapi kuserahkan begitu saja, toh memang aku ambil buat dia...

“Belum sampe 10 menit kan?” tanyaku tak acuh.

Dia hanya menghela nafas, lalu kamipun berkeliling kompleks bersama.

Masih sepi, maka itu kami sering jalan-jalan hari Sabtu pagi.

Kami lari pagi sambil ngobrol banyak hal, tertawa juga mengejek satu sama lain dengan bercanda.

Setelah 30 menit berjalan, kami istirahat di ayunan dekat rumahku, yang dibuat untuk anak-anak di kompleks perumahan ini.

Tiba-tiba saja wajahnya agak pucat, seperti terlalu lelah.

“Kamu nggak apa-apa?” tanyaku panik.

Bukannya menjawab, dia malah berdiri dan berjalan ke rumahku.

Ray lalu duduk di salah satu kursi panjang yang ada. Akupun mengambil tempat di sebelahnya.

“Kamu nggak apa-apa, Ray?” kuulang kalimatku.

“Aku enggak apa-apa.” Jawabnya singkat sambil meletakkan kepalanya dibahuku!

Aneh, bukannya marah atau mejauh, aku jadi takut. Jangan-jangan dia kenapa-kenapa...

“Aku pulang dulu, ya, mama sudah telepon aku.” Pamit Ray sambil mengangkat kepalanya. Ternyata ia sudah dijemput oleh supirnya.

Karena terlalu asik melamun, aku sampai nggak tahu kalau Ray baru saja mengangkat telepon dari mamanya!

“Iya, hati-hati.” Aku membalas setengah hati, masih khawatir ia kenapa-kenapa.

Ia sadar akan hal ini, jadi ia berbalik lagi ke arahku dan memegang kedua pundakku.

“Aku baik-baik saja, Veka. Ingat itu.” Kata Ray sambil tersenyum lemah.

Kini ia terlihat benar-benar pucat.

Ray, cepat sembuh.

Setelah Ray benar-benar pulang, aku segera masuk ke kamar lalu mandi dengan air dingin yang segar sebelum semuanya bangun.

Setelah mandi, aku menelpon Meili, memberitahunya kejadian pagi ini. Sebenarnya yang menjadi sorotanku adalah masalah pucatnya Ray, tapi dia malah ngelantur kemana-mana.

“Aku udah bilang beribu-ribu kali, kan. Ray itu suka sama kamu!”

Apa alasannya? Karena ia merebahkan kepalanya di pundakku? Karena ia tak mau aku khawatir walau aku tahu dia pasti kenapa-kenapa?

-*^^*-

Sudah setahun lebih kami berteman.

Entah mengapa aku bisa langsung cocok dengannya, bahkan menurut Meili, hanya dalam waktu beberapa hari aku bisa langsung menyukainya.

Aku tak tahu apakah hal ini benar, namun,

Aku cukup bisa merasakan kalau ia juga suka padaku.

Ke-Ge-eRan? Bisa jadi.

Atau mungkin dia cuma menganggap aku sebagai adiknya? Bisa juga.

Tapi kalau benar ia menyukaiku..

Kenapa kami hanya berteman saja?

Jawaban datang tak lama kemudian..

Dan aku sempat menyesal, kenapa aku pernah mempertanyakan hubungan kami yang ‘ngambang’..

-*^^*-

Sore itu aku menjenguk seorang kerabat yang masuk rumah sakit. Jujur, aku bosan ketika berada di sana. Karena nggak begitu dekat, aku jadi nggak bisa mengikuti pembicaraannya, yang menurut pendapatku, hanya bisa dimengerti orang-orang yang lebih tua.

“Bunda, aku turun beli minum dulu, ya?” pintaku. Sebenarnya aku nggak haus sih, tapi BOSAN!

Aku memang anak yang mudah bosan, lebih tertarik pada hal-hal baru yang menantang.

“Ya sudah, itu uangnya ambil di dompet,” Bunda menjawab dengan lembut, seperti biasa.

Aku tersenyum tanda terimakasih sambil mengambil selembar uang 10.000an dan keluar.

-*^^*-

Sudah lumayan lama aku hanya berputar-putar di koridor rumah sakit.

Aku memutuskan untuk kembali ke kamar kerabatku.

Sampai di satu pintu yang nggak tertutup begitu rapat...

“Jadi dok, gimana hasilnya?” tanya suara yang tak asing di telingaku.

Suara Ray! Pikirku.

“Saya takut hasilnya kurang memuaskan, Ray. Bisa dilihat di sini tumor yang ada bertambah besar. Meskipun obat yang kita pakai berdampak pada pertumbuhannya yang melambat, tapi tetap tidak baik.” Kata dokter sambil menggeleng.

Tumor? Siapa yang saki tumor? Pikirku.

Mungkin saudaranya, tebakku asal. Mungkin ia yang diminta melihat hasil CT Scan saudaranya itu.

Tak lama pintu terbuka.

“Hei, Ray,” sapaku tenang.

Bukan wajah senang yang aku lihat seperti biasa, tapi panik, dan kaget.

Kenapa?

“Ve, Veka, sedang apa di sini?” tanyanya tergagap.

“Aku sedang menjenguk saudaraku. Kamu sedang melihat CT Scan siapa?” balasku dengan nada riang, sama sekali tidak menghiraukan kekagetannya.

Tanpa menunggu jawaban, aku melihat ke arah amplop berisi hasil pemeriksaan.

REINALD KRISTOFER

Reinald? Itu punya RAY? Otakku tidak bisa mencerna apa-apa.

Terlalu kaget, terlalu tidak percaya,

Terlalu takut..

Ia lalu menuntun tanganku, lalu duduk di sebuah bangku di lorong yang sama. Aku, nggak bisa bilang apa-apa, Cuma bisa mengikutinya.

“Maaf, aku harus sembunyiin ini sekian lama dari kamu. Sebenernya yang tadi itu CT Scan ku.”

“Jadi yang dibilang dokter, itu semua bener?” tanyaku masih nggak percaya.

Pertanyaanku hanya dibalas sebuah anggukan yang dalam.

Saat itu seluruh duniaku seakan runtuh.

Saat itulah aku mulai berlinang air mata.

“Waktu aku ke Bali 1,5 tahun lalu, sebenernya dokter udah bilang waktu hidupku tinggal 6 bulan. Maka itu papa dan mama mengajakku ke Bali untuk menghibur. Tapi aku tahu harapaku udah terbang jauh, seperti layang-layang yang aku mainkan.” Ray berhenti sebentar sebelum melanjutkan.

“Saat aku sedang merenung, aku melihat seorang anak kecil, timpang jalannya, karena memakai alat penopang kaki. Menurut dugaanku dia terkena polio sehingga harus dibantu alat penyangga itu. Ternyata anak manis itu berjalan ke arah seorang gadis cantik. Kasih sayang pada seorang anak kecil yang bisa dibilang cacat, terpancar dari matanya. Ia tidak malu akan keadaan adiknya. Aku jadi ingin mengenal gadis itu, lalu untuk mendapat perhatiannya, kutabrakkan layang-layangku ke layangan miliknya. Ternyata cara itu berhasil, aku bisa berkenalan dengannya.”

Suaranya hampa, tapi terdengar harapan di sana.

“Beberapa lama kami berkenalan. Tak kusangka, gadis itu memulihkan harapanku. Aku jadi lebih semangat menjalani terapi karena gadis itu. Lihat hasilnya, aku bisa bertahan hidup lebih dari 1 tahun bahkan.”

Tanpa diberitahu pun, aku tahu siapa gadis itu.

Gadis itu adalah gadis yang sedang menangis mendengan cerita sahabatnya yang sangat sayang padanya.

Adikku memang terkena polio waktu kecil, jadi saat berjalan ataupun berdiri harus menggunakan penyangga kaki.

“Namun Tuhan berkehendak lain. Obat-obatan yang aku minum hanya bisa menghambat pertumbuhan tumor yang ada. Waktuku nggak lama, Ve. Dan aku nggak mau kamu menyia-nyiakan waktumu untuk deket sama orang yang sakit dan nggak akan bertahan lama kaya aku. Kamu tahu kenapa? Karena aku sayang sama kamu. Mungkin banyak orang gak percaya hal ini, tapi satu hal, aku sayang kamu mulai detik pertama aku melihat kamu.”

Di detik itu aku juga sayang kamu.. ucapku dalam hati, gak punya kekuatan untuk mengatakannya.

Tapi kurasa ia menyadari hal ini. Ia membawaku ke dalam pelukannya yang hangat untuk pertama kalinya.

Air mataku bener-bener enggak terbendung!

Ini pasti salah, dia pasti cuma bercanda, kan?

Dia nggak akan pergi dan meninggalkan aku, bukan?

Dia enggak sakit apa-apa!

“Tumor itu tempatnya bahaya banget buat di operasi, yang bisa dilakukan cuma menghambat pertumbunannya...” lanjut Ray tanpa ekspresi.

Tapi ia seperti tersentak, seakan tahu tugasnya, ia segera memasang senyum yang selalu aku sukai itu.

Sambil menyeka air mataku, dia terus tersenyum.

“3 bulan terakhir sebelum aku harus istirahat di rumah, aku yakin kita akan melakukan banyak hal menyenangkan, bukan?”

Entah mengapa aku nggak kaget.

3 bulan, memang bukan waktu yang panjang..

Sambil terisak aku menangguk pelan, “Kita akan melakukan banyak hal yang menyenangkan..”

Lalu suara ayah, bunda, dan Sofi terdengar di ujung lorong.

“Sebaiknya aku segera pulang,” kataku pelan.

Ia melepaskan pelukannya dan aku segera pergi ke tempat yang menjual minuman, setelah aku membasuh muka dengan sedikit air.

Tuhan, jangan ambil dia dariku, aku sayang Ray..

-*^^*-

Sejak kejadian di rumah sakit, aku jadi rutin mengunjungi Ray setiap hari.

Kami akan melakukan berbagai hal meyenangkan.

Aku dan Ray bahkan membuat taman kecil di halaman rumahnya dan rumahku.

Ya, ayah dan bunda sudah kuceritakan tentang Ray, tentang penyakitnya, dan hey, ternyata Ray juga cepat akrab pada Sofi. Mungkin karena Ray merasa memiliki keadaan yang sama dengan Sofi.

-*^^*

0 comments:

Post a Comment