“Saya Veronika. Ada yang bisa dibantu?” aku memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.
“Boleh kita bicara sebentar?” tanya pemuda itu sambil membalas uluran tanganku.
Aku menganguk.
“Saya Mike, adik almarhum kak Ray.” Dia memperkenalkan diri.
Mike? Pikirku. Pantas saja mukanya familiar.
Ia lalu melanjutkan, “Hari ini peringatan 10 tahun kepergian kak Ray,”
Aku membenarkan perkataan itu.
“Kak Veka habis dari makam kak Ray, bukan?” ia melanjutkan dan membuat aku tersentak.
“Kakak juga selalu memakai baju hitam tiap tahun pada hari peringatan ini, iya kan?” katanya semakin membuat aku kaget.
“Aku mengerti dan sangat menghargai hal itu,” lanjutnya sambil tersenyum.
“Bagaimana kamu bisa tahu?” aku bingung.
“Setiap tahun, kakak selalu datang ke makan kak Ray. Lalu kakak akan makan di kafe yang ada di dekat situ lalu melanjutkan aktifitas lain.”
Aku mengangguk.
“Kak Ray yang minta aku untuk melihat apakah kakak benar-benar sayang sama kak Ray. Apakah kakak akan setia sama kak Ray, dan ternyata kakak memang setia. Aku biasa mengikuti kakak ke mana-mana 1 hari dalam setahun, dan kakak selalu memakai baju hitam sepanjang hari.”
“Ya, aku nggak akan pernah melupakan Ray.”
Gantian ia mengangguk.
“Kalau begitu ini ada surat dan rekaman kaset. Ada 2 surat dan 1 rekaman. Sebenarnya aku diminta memberikannya setiap 5 tahun pada kakak. Tapi aku pikir aku ingin melihat apakah kakak masih setia pada kak Ray. Jadi aku tunggu 10 tahun dan ternyata kakak masih tetap mengingat kak Ray.” Ia menghela nafas panjang lalu berkata.
“Sebelumnya, boleh aku tanya sesuatu? Kakak menjadi dokter specialis kanker otak. Kenapa?” pertanyaan yang selalu ditanyakan padaku.
Aku hanya tersenyum sedih dan berkata,
“Aku tidak mau ada orang lain yang harus merasakan kehilangan. Dulu, selama 1 bulan aku benar-benar kosong. Lalu aku berpikir, apa ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk orang lain dengan pelajaran ini. Ternyata ada. Sekarang aku sedang meneliti sebuah obat yan lebih ampuh menghambat bahkan menghilangkan tumor dan kanker. Andai Ray masih di sini, ia pasti bisa sembuh.”
Kami berdiam beberapa lama.
“Baiklah kak, saya pulang dulu.” Mike pamit.
“Ya, hati-hati Mike. Kalau perlu apa-apa, kamu bisa hubungi kakak.”
Setelah ia keluar aku langsung mengeluarkan surat pertama.
“Veka,
Gimana keadaan kamu?
Kamu baik baik saja kan?
Kamu harus tahu kalau aku baik-baik saja.
Sekarang kamu kuliah di mana? Jangan bilang kamu terlalu sedih sampai nggak mau kuliah. Hehehe, Cuma bercanda J
Veka,
Makasih kalau sampai hari ini kamu masih inget aku.
Aku harap kita akan bisa berteman selamanya, bersahabat selamanya,
Ray.”
Aku Cuma bisa tersenyum lemah membaca itu.
Surat kedua membuat aku tercengang.
“Veka-ku..
Ups! Apa aku boleh memanggil kamu Veka-ku?
Sudah 10 tahun aku nggak bisa menemani kamu.
Apa kamu udah menepati janji kamu?
Kenalin ke aku yah, kapan-kapan..
Gimana keadaan kamu, Veka?
Aku selalu berharap kamu baik-baik saja.
Seperti aku J
Veka,
Aku nggak tahu apakah kamu masih menyimpan aku dihatimu.
Tapi aku rasa kalau sampai hari ini kamu masih mendapat surat ini,
Setidaknya kita selalu berteman, bersahabat bukan?
Veka,
Maaf yah aku nggak bisa bertemu kamu sampai sekararang.
Maaf aku nggak bisa memeluk kamu kalau sedih, tertawa bareng kamu kalau senang..
Itu sebabnya aku mau kamu cari seseorang yang bisa menjaga kamu dan melakukan hal-hal itu buat kamu.
Aku nggak tahu apa 5 tahun lagi kita masih ketemu,
Kalau gitu ijinkan aku 1 kali lagi untuk panggil kamu,
Veka-ku.. J
Ray
Note: Sekarang kan Mike udah besar, kalau ada apa-apa kamu suruh-suruh dia aja, hehehe..”
Sontak aku menangis.
Isinya persis dengan yang aku bicarakan hari itu di makam Ray,
Seolah ia mendengar dan menjawab setiap perkataanku.
Lalu rekaman suara...
“Veka,
Udah 7 tahun ya kamu nggak ketemu aku.
Kamu kangen nggak? Hehehe..
Aku nggak berharap kamu kangen kok,
Kamu inget sama aku aja udah lebih dari cukup.
Aku ngerekam suara aku, karena tanganku capek nulis banyak-banyak.
Hahaha.
Veka,
Kamu sekarang udah kerja belom? Di mana?
Kerja yang rajin ya.
Atau kamu masih kuliah lagi?
Wah, rajin banget!
Yang rajin ya, kalau kamu sedih, kita punya tempat kenangan kan?
Kalau kamu emang kangen, kamu pergi ke sana, aku selalu ada di sana. Udah dulu ya? Sampe ketemu, hmm, bentar, oh ya! 3 tahun lagi.”
Lalu kaset berhenti.
Tempat kenangan?
Malam itu,
Cuaca mendung, maka itu bintang-bintang entah menghilang kemana.
Aku mengendarai mobil sedan hitamku ke Gombel.
Aku berhenti di tempat yang 10 tahun lalu kami kunjungi.
“Ray, kamu di mana?” ucapku dengan suara pelan.
Aku lalu keluar, dan duduk di bangku-bangku yang disediakan.
Aku melayangkan pandanganku ke seluruh kota.
Hmm, pemandangannya lebih indah, Ray, coba kalau kamu di sini.
Tapi aku nggak merasakan atau melihat Ray di mana pun.
Apa 3 tahun terlalu lama?
Atau aku yang terlambat datang? Kenapa aku nggak pernah memikirkan tempat ini lagi?
Aku hampir pulang, ketika lalu aku memandang ke langit.
Hanya ada 1 bintang yang menyala terang.
Seolah menyapa, bintang itu berkedip.
“Ray, itukah kamu?”
Aku melambai kecil.
Lalu masuk ke mobil sebelum akhirnya hujan.
Ray,
Aku nggak akan melupakan kamu,
My love at the first sight...