Tuesday, December 7, 2010

flowers :D

In my front yard, there’s still enough space to plant something.

So i made 5 small flower garden.

1x1 m2 each.

They’re really small, but i love ‘em.

On each garden, i’m planting 1 kinds of flowers.

Which represents my hope and wishes.

Some flowers have its own representation.

Some others are my understanding.

The first flower is Tulip.

I plant 6 colors of tulips.

They represent my hope, that my life will be colorful and make people smile and feel happy when they see me.

The second flower is Iris.

Purple irises.

They represent faith, valor, and wisdom which I want to pursue together with royalty, nobility and prestige.

The third flower is Rose.

I plant 2 colors of rose, red and white.

Red roses represent love and passion.

White roses represent virginity and purity.

I hope I can pursue those things.

The fourth flower is Violet.

They represent my desire to be faithful and humble.

The fifth flower is Sunflower.

As many people said that the sunflower symbolized foolished passion, I have another representation.

Sun. Yellow.

They’re bright.

i want to be a bright candle, or star, for other people.

I want to bring light for people who need ‘em...

:D:D:D

Sunday, October 17, 2010

-Love@d'FirstSight- Part 4 (End)

“Saya Veronika. Ada yang bisa dibantu?” aku memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.

“Boleh kita bicara sebentar?” tanya pemuda itu sambil membalas uluran tanganku.

Aku menganguk.

“Saya Mike, adik almarhum kak Ray.” Dia memperkenalkan diri.

Mike? Pikirku. Pantas saja mukanya familiar.

Ia lalu melanjutkan, “Hari ini peringatan 10 tahun kepergian kak Ray,”

Aku membenarkan perkataan itu.

“Kak Veka habis dari makam kak Ray, bukan?” ia melanjutkan dan membuat aku tersentak.

“Kakak juga selalu memakai baju hitam tiap tahun pada hari peringatan ini, iya kan?” katanya semakin membuat aku kaget.

“Aku mengerti dan sangat menghargai hal itu,” lanjutnya sambil tersenyum.

“Bagaimana kamu bisa tahu?” aku bingung.

“Setiap tahun, kakak selalu datang ke makan kak Ray. Lalu kakak akan makan di kafe yang ada di dekat situ lalu melanjutkan aktifitas lain.”

Aku mengangguk.

“Kak Ray yang minta aku untuk melihat apakah kakak benar-benar sayang sama kak Ray. Apakah kakak akan setia sama kak Ray, dan ternyata kakak memang setia. Aku biasa mengikuti kakak ke mana-mana 1 hari dalam setahun, dan kakak selalu memakai baju hitam sepanjang hari.”

“Ya, aku nggak akan pernah melupakan Ray.”

Gantian ia mengangguk.

“Kalau begitu ini ada surat dan rekaman kaset. Ada 2 surat dan 1 rekaman. Sebenarnya aku diminta memberikannya setiap 5 tahun pada kakak. Tapi aku pikir aku ingin melihat apakah kakak masih setia pada kak Ray. Jadi aku tunggu 10 tahun dan ternyata kakak masih tetap mengingat kak Ray.” Ia menghela nafas panjang lalu berkata.

“Sebelumnya, boleh aku tanya sesuatu? Kakak menjadi dokter specialis kanker otak. Kenapa?” pertanyaan yang selalu ditanyakan padaku.

Aku hanya tersenyum sedih dan berkata,

“Aku tidak mau ada orang lain yang harus merasakan kehilangan. Dulu, selama 1 bulan aku benar-benar kosong. Lalu aku berpikir, apa ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk orang lain dengan pelajaran ini. Ternyata ada. Sekarang aku sedang meneliti sebuah obat yan lebih ampuh menghambat bahkan menghilangkan tumor dan kanker. Andai Ray masih di sini, ia pasti bisa sembuh.”

Kami berdiam beberapa lama.

“Baiklah kak, saya pulang dulu.” Mike pamit.

“Ya, hati-hati Mike. Kalau perlu apa-apa, kamu bisa hubungi kakak.”

Setelah ia keluar aku langsung mengeluarkan surat pertama.

“Veka,

Gimana keadaan kamu?

Kamu baik baik saja kan?

Kamu harus tahu kalau aku baik-baik saja.

Sekarang kamu kuliah di mana? Jangan bilang kamu terlalu sedih sampai nggak mau kuliah. Hehehe, Cuma bercanda J

Veka,

Makasih kalau sampai hari ini kamu masih inget aku.

Aku harap kita akan bisa berteman selamanya, bersahabat selamanya,

Ray.”

Aku Cuma bisa tersenyum lemah membaca itu.

Surat kedua membuat aku tercengang.

“Veka-ku..

Ups! Apa aku boleh memanggil kamu Veka-ku?

Sudah 10 tahun aku nggak bisa menemani kamu.

Apa kamu udah menepati janji kamu?

Kenalin ke aku yah, kapan-kapan..

Gimana keadaan kamu, Veka?

Aku selalu berharap kamu baik-baik saja.

Seperti aku J

Veka,

Aku nggak tahu apakah kamu masih menyimpan aku dihatimu.

Tapi aku rasa kalau sampai hari ini kamu masih mendapat surat ini,

Setidaknya kita selalu berteman, bersahabat bukan?

Veka,

Maaf yah aku nggak bisa bertemu kamu sampai sekararang.

Maaf aku nggak bisa memeluk kamu kalau sedih, tertawa bareng kamu kalau senang..

Itu sebabnya aku mau kamu cari seseorang yang bisa menjaga kamu dan melakukan hal-hal itu buat kamu.

Aku nggak tahu apa 5 tahun lagi kita masih ketemu,

Kalau gitu ijinkan aku 1 kali lagi untuk panggil kamu,

Veka-ku.. J

Ray

Note: Sekarang kan Mike udah besar, kalau ada apa-apa kamu suruh-suruh dia aja, hehehe..”

Sontak aku menangis.

Isinya persis dengan yang aku bicarakan hari itu di makam Ray,

Seolah ia mendengar dan menjawab setiap perkataanku.

Lalu rekaman suara...

“Veka,

Udah 7 tahun ya kamu nggak ketemu aku.

Kamu kangen nggak? Hehehe..

Aku nggak berharap kamu kangen kok,

Kamu inget sama aku aja udah lebih dari cukup.

Aku ngerekam suara aku, karena tanganku capek nulis banyak-banyak.

Hahaha.

Veka,

Kamu sekarang udah kerja belom? Di mana?

Kerja yang rajin ya.

Atau kamu masih kuliah lagi?

Wah, rajin banget!

Yang rajin ya, kalau kamu sedih, kita punya tempat kenangan kan?

Kalau kamu emang kangen, kamu pergi ke sana, aku selalu ada di sana. Udah dulu ya? Sampe ketemu, hmm, bentar, oh ya! 3 tahun lagi.”

Lalu kaset berhenti.

Tempat kenangan?

Malam itu,

Cuaca mendung, maka itu bintang-bintang entah menghilang kemana.

Aku mengendarai mobil sedan hitamku ke Gombel.

Aku berhenti di tempat yang 10 tahun lalu kami kunjungi.

“Ray, kamu di mana?” ucapku dengan suara pelan.

Aku lalu keluar, dan duduk di bangku-bangku yang disediakan.

Aku melayangkan pandanganku ke seluruh kota.

Hmm, pemandangannya lebih indah, Ray, coba kalau kamu di sini.

Tapi aku nggak merasakan atau melihat Ray di mana pun.

Apa 3 tahun terlalu lama?

Atau aku yang terlambat datang? Kenapa aku nggak pernah memikirkan tempat ini lagi?

Aku hampir pulang, ketika lalu aku memandang ke langit.

Hanya ada 1 bintang yang menyala terang.

Seolah menyapa, bintang itu berkedip.

“Ray, itukah kamu?”

Aku melambai kecil.

Lalu masuk ke mobil sebelum akhirnya hujan.

Ray,

Aku nggak akan melupakan kamu,

My love at the first sight...

-Love@d'FirstSight- Part 3

Sudah 3 bulan berlalu, masih diiringi kunjungan setiap hari ke rumahnya, atau Ray ke rumahku.

Ray semakin terlihat sehat, dan gembira.

Aku yakin keadaannya membaik karena ia rutin mengikuti terapi dan minum obat yang dokter berikan.

Malam ini aku dan Ray akan pergi bersama ke suatu tempat. Masih rahasia menurut Ray.

“RAY! Ayo cepetan!” panggilku setengah berteriak.

Aku di antar ke rumah Ray, dan kami akan pergi bersama nanti.

Kebetulan Ray sedang sendirian, karena papa mamanya mengantar anak kedua mereka, adik Ray yang bernama Mikael menghadiri acara sekolah.

Tidak ada jawaban.

Aku memberanikan diri masuk ke kamarnya.

“RAY!” teriakku melihatnya.

Ia terduduk di tepi ranjang, memegangi kepalanya seperti orang pusing.

Aku segera berlari ke dapur, mengambilkannya segelas air minum dan obat pereda sakitnya.

“Vekaa..” Ray merintih keras.

“Iya! Tunggu!” jawabku panik sambil berjalan ke arah kamarnya.

Sampai di kamarnya,

“Surprise! Kena deh!” Ray menyambutku di depan pintu. Lalu ia tertawa lepas.

Huh! Rupanya ia mengerjai ku, pikirku dalam hati sambil memasang wajah sebal.

Aku menaruh obatnya di meja belajarnya.

“Apaan sih, Ray? Bikin orang takut, tahu!” aku masih kesal.

“Kamu takut?” tanya Ray tiba-tiba serius dengan seulas senyum.

“Kenapa?” lanjutnya, masih dengan ekspresi yang sama.

“Aku..” jawabku tergagap.

“Udah ah, berangkat aja!” ucapku mengalihkan pembicaraan.

“Iya, udah sana keluar dulu.” Ray mengusirku.

Aku lalu duduk di sofa ruang tamu keluarganya.

Nggak lama kemudian Ray keluar sambil membawa kunci mobilnya.

“Yuk berangkat,” katanya.

Ternyata, Ray mengajakku ke daerah Gombel. Di sini kami memang bisa melihat seluruh kota Semarang, dengan lampu-lampu malam yang berwarna warni.

Kami Cuma terdiam di sana, saling berkutat dengan pikiran sendiri.

Tapi kehangatan terasa di antara kami, aku harap saat ini nggak akan berakhir.

“Ve... Aku ngajak kamu ke sini buat bilang sesuatu sama kamu.” Ray mulai bicara.

“Aku takut aku nggak bisa mengatakannya nanti, tapi yang jelas, aku pengen kamu tahu, aku bener-bener sayang kamu.” Ray melanjutkan.

Seketika itu juga air mataku mulai meleleh.

Ketika ia merangkul pundakku, aku tidak melepaskannya. Malahan aku mendekapkan kepalaku dipelukannya.

“Aku juga sayang sama kamu dan aku nggak mau kamu pergi...” kataku. Suaraku terdengar bergetar.

Tuhan, tolong supaya dia sembuh!

-*^^*-

Besok paginya,

Bunyi HP membangungkan ku. Ada yang sms, pikirku dalam hati.

Nama Ray muncul di layar, seulas senyum langsung tampak di wajahku.

Tapi begitu aku melihat isinya, aku tidak bisa bergerak.

Membuat duniaku serasa runtuh.

“Kak Veka, ini Mike/Mikael adiknya kak Ray. Kakak sekarang lagi ada di rumah sakit. Kak Veka bisa datang?”

Aku langsung bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan berganti baju, lalu menyuruh supir yang tidur di rumahku untuk mengantarku ke rumah sakit, yang telah diberitahukan Mike sebelumnya.

Begitu tiba, aku langsung berjalan cepat menuju kamar yang di maksud.

Di dalam, papa mama dan Mike sudah menunggu aku.

Mereka menjelaskan tentang Ray.

Ternyata sepulang dari acara Mike, papa dan mama Ray menemukanya tergeletak di samping tempat tidurnya.

Sampai sekarangpun, Ray belum sadar.

Aku jadi takut, apa waktu 3 bulan kami sudah habis?

10 menit kam berbincang-bincang, tiba-tiba Ray sadar!

Ia membuka matanya perlahan, seolah memulihkan kesadarannya.

“Ma, pa..” sapanya begitu melihat orangtuanya.

Ia tidak menanyakan bagaimana ia bisa ada di sini, seolah tahu apa yang akan terjadi.

Dia memang tabah dan kuat..

“boleh aku bicara berdua sama Veka, ma, pa?”

Tanya Ray pada orang tuanya. Aku yang di sebut agak kaget, tapi cukup mengerti untuk tetap diam.

Mamanya terlihat mengangguk pada papanya, lalu keluar bersama Mike.

Aku lalu duduk di kursi di samping tempat tidurnya.

“Veka, maafin aku....” katanya dengan suara serak.

“Kamu nggak salah, Ray. Jadi kamu memang udah minum obat yang aku kasi karena sakit, dan yang kemarin itu enggak Cuma pura-pura?”

Ia mengangguk dalam.

“Aku ngerti, Ray. Aku bisa ngerti.” Kataku mencoba tabah.

“Veka, aku mau lihat kamu bahagia. Kamu harus janji 1 hal sama aku. Kamu mau kan, bikin aku bahagia juga?” tanya Ray agak ragu.

“Kalau aku bisa, aku bakal ngelakuin hal itu.” Jawabku sederhana.

“Tapi kamu harus janji!” ia menegaskan.

Akhirnya aku mengangguk.

-*^^*-

Permintaannya mungkin adalah yang terakhir.

Dan yang membuatku semakin sedih, aku nggak tahu apakah aku bisa melakukannya.

-*^^*-

“Veka, kalau aku nggak bisa lagi nemenin kamu, janji sama aku untuk cari seseorang yang bisa jaga kamu.” Pintanya sungguh-sungguh.

APA??!!

“Biar aku perjelas, kamu minta aku untuk cari pengganti kamu? Kamu nggak bercanda, kan Ray?”

“Aku serius, aku nggak main-main. Dan kamu udah janji, Veka, jadi kamu nggak akan mengingkarinya kan?”

Aku Cuma terdiam lesu.

“Aku coba..” jawabku lemah.

Tangan Ray lalu membelai rambutku, sentuhan yang mungkin sekali seumur hidup.

“Aku nggak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan, tapi aku yakin selama kamu ada di sisi aku, aku akan baik-baik aja, Veka, jangan khawatir.” Ray mencoba meyakinkan aku.

“Iya,” aku hanya membalas pendek.

Mulai hari itu, aku bergantian berjaga dengan orang tuanya, dan memang benar, setiap aku menjaganya ia akan baik-baik saja.

Dan aku, Veka yang berumur 17 tahun sekarang, berjanji akan selalu ada disamping nya, apapun yang terjadi, karena hatiku telah jadi miliknya, pada pandangan kami yang pertama..

-*^^*-

10 tahun kemudian..

Hari ini aku menggenakan gaun selutut berwarna hitam. Aku mampir ke toko bunga untuk membeli sebuah buket, lalu mengendarai mobil ke sebuah tempat.

PEMAKAMAN ROYAL ITY

Begitulah bunyi papan yang ada di depannya.

Aku memantapkan diri dan memarkir mobilku.

Aku turun dan melangkah ke sebuah makam.

Nisan itu bertuliskan sebuah nama yang nggak akan pernah aku lupakan,

REINALD KRISTOFER

Aku duduk kursi yang disediakan di samping tiap makam, meletakkan buket itu di makam dan mulai berbicara.

“Ray, apakah kamu baik-baik saja? Aku harap kamu juga baik seperti aku. Sebenarnya aku harap kamu masih di sini, bersama-sama dengan aku, kita bisa bercanda lagi, tertawa, aku kangen suaramu Ray.

Aku kangen hangatnya pelukanmu, cara kamu membelai rambutku, aku kangen matamu yang selalu menyorotkan kelembutan. Aku kangen kamu Ray, aku sayang sama kamu...”

Air mata mulai mengalir di pipiku.

Sambil terisak aku melanjutkan.

“Ray, sekarang sudah 10 tahun dan aku sudah bisa melakukan janjiku. Aku sudah menemukan orang yang bisa menjaga aku sampai sekarang. Aku sebenarnya lebih berharap orang itu kamu. Tapi aku akan tetap melakukan janjiku. Aku sudah berjanji dan akan melakukannya, lagipula itu akan membuat kamu senang, kan? Kalau kamu senang, aku juga senang. Namanya Janson. Kapan-kapan aku akan mengajaknya ke sini.”

Angin sepoi-sepoi tiba-tiba bertiup.

Biasa, orang menandakan bahwa bila ada angin sepoi-sepoi, orang itu bisa mendengar kita.

“Ray, kamu bisa dengar aku?”

Tapi aku rasa hal itu tidak terlalu mungkin.

Aku kembali fokus pada bicaraku.

“Aku nggak tahu apakah aku akan bisa benar-benar sayang sama dia. Asal kamu tahu, Ray, kamu akan selalu ada di hatiku, walaupun nanti dia akan masuk di kehidupanku, kamu akan selalu jadi orang yang aku sayang. Kamu udah mengajari aku banyak hal Ray. Walaupun kamu sakit, aku nggak pernah menyesal mengenal kamu. Kamu orang yang baik, kamu nggak mau menyakiti hati orang yang kamu sayang, meski itu artinya mungkin suatu saat kamu akan hilang dari orang itu. Tapi kamu harus ingat, Ray. Kamu nggak akan hilang dari hatiku...”

Setelah cukup puas aku kembali ke mobil dan makan pagi di sebuah kafe kecil sebelum kembali ke kantor tempat aku bekerja sekarang.

“Nona Veronika, tadi ada seorang pemuda datang mencari anda. Dia sudah menunggu di ruangan anda.”

Kata seorang suster di resepsionis rumah sakit padaku.

“Oh, iya Sus. Terimakasih.”

Pemuda? Siapa? Yang pasti bukan Janson karena suster-suster di sini sudah tahu namanya.

Aku bergegas melangkahkan kaki, dan melihat seorang pemuda yang familiar duduk di depan mejaku.

-Love@d'FirstSight- Part 2

1,5 tahun berlalu..

“Halo?” tanyaku sambil mengantuk. Baru jam 5 pagi! Siapa sih yang telpon sepagi ini?

“Ini aku, Ray. Baru bangun?” jawab seseorang di ujung sana. Eh, maksudku Ray, dengan santainya.

Aku menggerutu sebal, harus bangun sepagi ini di hari Sabtu!

“Iya, aku baru bangun setelah mendengar dering telepon. Ada apa?” kataku masih sebal.

“Ayo keluar! Kita jalan-jalan!” ajak Ray riang.

APA? SEPAGI INI?

“Jalan pagi kan sehat.” Lanjutnya sambil terkekeh.

“Iya, iya. Tunggu 10 menit lagi! Memang kamu di mana?” tanyaku mulai tertarik.

“Udah di depan rumahmu.”

Tidak bisa menghindar..

“Oke.. Tunggu 10 menit!” kataku tegas karena masih mengantuk sambil menutup sambungan telepon.

Aku bergerak dengan malasnya ke kamar mandi, mencuci muka dengan air dingin, tapi ternyata tidak banyak membantu.

Lalu aku berganti pakaian dengan sehelai kaus polos berwarna pink dan celana training. Aku mengambil 2 botol minuman dingin dari kulkas, lalu keluar.

“Lama banget?” tanyanya sambil mengambil sebotol air dingin yang kubawa.

Tapi kuserahkan begitu saja, toh memang aku ambil buat dia...

“Belum sampe 10 menit kan?” tanyaku tak acuh.

Dia hanya menghela nafas, lalu kamipun berkeliling kompleks bersama.

Masih sepi, maka itu kami sering jalan-jalan hari Sabtu pagi.

Kami lari pagi sambil ngobrol banyak hal, tertawa juga mengejek satu sama lain dengan bercanda.

Setelah 30 menit berjalan, kami istirahat di ayunan dekat rumahku, yang dibuat untuk anak-anak di kompleks perumahan ini.

Tiba-tiba saja wajahnya agak pucat, seperti terlalu lelah.

“Kamu nggak apa-apa?” tanyaku panik.

Bukannya menjawab, dia malah berdiri dan berjalan ke rumahku.

Ray lalu duduk di salah satu kursi panjang yang ada. Akupun mengambil tempat di sebelahnya.

“Kamu nggak apa-apa, Ray?” kuulang kalimatku.

“Aku enggak apa-apa.” Jawabnya singkat sambil meletakkan kepalanya dibahuku!

Aneh, bukannya marah atau mejauh, aku jadi takut. Jangan-jangan dia kenapa-kenapa...

“Aku pulang dulu, ya, mama sudah telepon aku.” Pamit Ray sambil mengangkat kepalanya. Ternyata ia sudah dijemput oleh supirnya.

Karena terlalu asik melamun, aku sampai nggak tahu kalau Ray baru saja mengangkat telepon dari mamanya!

“Iya, hati-hati.” Aku membalas setengah hati, masih khawatir ia kenapa-kenapa.

Ia sadar akan hal ini, jadi ia berbalik lagi ke arahku dan memegang kedua pundakku.

“Aku baik-baik saja, Veka. Ingat itu.” Kata Ray sambil tersenyum lemah.

Kini ia terlihat benar-benar pucat.

Ray, cepat sembuh.

Setelah Ray benar-benar pulang, aku segera masuk ke kamar lalu mandi dengan air dingin yang segar sebelum semuanya bangun.

Setelah mandi, aku menelpon Meili, memberitahunya kejadian pagi ini. Sebenarnya yang menjadi sorotanku adalah masalah pucatnya Ray, tapi dia malah ngelantur kemana-mana.

“Aku udah bilang beribu-ribu kali, kan. Ray itu suka sama kamu!”

Apa alasannya? Karena ia merebahkan kepalanya di pundakku? Karena ia tak mau aku khawatir walau aku tahu dia pasti kenapa-kenapa?

-*^^*-

Sudah setahun lebih kami berteman.

Entah mengapa aku bisa langsung cocok dengannya, bahkan menurut Meili, hanya dalam waktu beberapa hari aku bisa langsung menyukainya.

Aku tak tahu apakah hal ini benar, namun,

Aku cukup bisa merasakan kalau ia juga suka padaku.

Ke-Ge-eRan? Bisa jadi.

Atau mungkin dia cuma menganggap aku sebagai adiknya? Bisa juga.

Tapi kalau benar ia menyukaiku..

Kenapa kami hanya berteman saja?

Jawaban datang tak lama kemudian..

Dan aku sempat menyesal, kenapa aku pernah mempertanyakan hubungan kami yang ‘ngambang’..

-*^^*-

Sore itu aku menjenguk seorang kerabat yang masuk rumah sakit. Jujur, aku bosan ketika berada di sana. Karena nggak begitu dekat, aku jadi nggak bisa mengikuti pembicaraannya, yang menurut pendapatku, hanya bisa dimengerti orang-orang yang lebih tua.

“Bunda, aku turun beli minum dulu, ya?” pintaku. Sebenarnya aku nggak haus sih, tapi BOSAN!

Aku memang anak yang mudah bosan, lebih tertarik pada hal-hal baru yang menantang.

“Ya sudah, itu uangnya ambil di dompet,” Bunda menjawab dengan lembut, seperti biasa.

Aku tersenyum tanda terimakasih sambil mengambil selembar uang 10.000an dan keluar.

-*^^*-

Sudah lumayan lama aku hanya berputar-putar di koridor rumah sakit.

Aku memutuskan untuk kembali ke kamar kerabatku.

Sampai di satu pintu yang nggak tertutup begitu rapat...

“Jadi dok, gimana hasilnya?” tanya suara yang tak asing di telingaku.

Suara Ray! Pikirku.

“Saya takut hasilnya kurang memuaskan, Ray. Bisa dilihat di sini tumor yang ada bertambah besar. Meskipun obat yang kita pakai berdampak pada pertumbuhannya yang melambat, tapi tetap tidak baik.” Kata dokter sambil menggeleng.

Tumor? Siapa yang saki tumor? Pikirku.

Mungkin saudaranya, tebakku asal. Mungkin ia yang diminta melihat hasil CT Scan saudaranya itu.

Tak lama pintu terbuka.

“Hei, Ray,” sapaku tenang.

Bukan wajah senang yang aku lihat seperti biasa, tapi panik, dan kaget.

Kenapa?

“Ve, Veka, sedang apa di sini?” tanyanya tergagap.

“Aku sedang menjenguk saudaraku. Kamu sedang melihat CT Scan siapa?” balasku dengan nada riang, sama sekali tidak menghiraukan kekagetannya.

Tanpa menunggu jawaban, aku melihat ke arah amplop berisi hasil pemeriksaan.

REINALD KRISTOFER

Reinald? Itu punya RAY? Otakku tidak bisa mencerna apa-apa.

Terlalu kaget, terlalu tidak percaya,

Terlalu takut..

Ia lalu menuntun tanganku, lalu duduk di sebuah bangku di lorong yang sama. Aku, nggak bisa bilang apa-apa, Cuma bisa mengikutinya.

“Maaf, aku harus sembunyiin ini sekian lama dari kamu. Sebenernya yang tadi itu CT Scan ku.”

“Jadi yang dibilang dokter, itu semua bener?” tanyaku masih nggak percaya.

Pertanyaanku hanya dibalas sebuah anggukan yang dalam.

Saat itu seluruh duniaku seakan runtuh.

Saat itulah aku mulai berlinang air mata.

“Waktu aku ke Bali 1,5 tahun lalu, sebenernya dokter udah bilang waktu hidupku tinggal 6 bulan. Maka itu papa dan mama mengajakku ke Bali untuk menghibur. Tapi aku tahu harapaku udah terbang jauh, seperti layang-layang yang aku mainkan.” Ray berhenti sebentar sebelum melanjutkan.

“Saat aku sedang merenung, aku melihat seorang anak kecil, timpang jalannya, karena memakai alat penopang kaki. Menurut dugaanku dia terkena polio sehingga harus dibantu alat penyangga itu. Ternyata anak manis itu berjalan ke arah seorang gadis cantik. Kasih sayang pada seorang anak kecil yang bisa dibilang cacat, terpancar dari matanya. Ia tidak malu akan keadaan adiknya. Aku jadi ingin mengenal gadis itu, lalu untuk mendapat perhatiannya, kutabrakkan layang-layangku ke layangan miliknya. Ternyata cara itu berhasil, aku bisa berkenalan dengannya.”

Suaranya hampa, tapi terdengar harapan di sana.

“Beberapa lama kami berkenalan. Tak kusangka, gadis itu memulihkan harapanku. Aku jadi lebih semangat menjalani terapi karena gadis itu. Lihat hasilnya, aku bisa bertahan hidup lebih dari 1 tahun bahkan.”

Tanpa diberitahu pun, aku tahu siapa gadis itu.

Gadis itu adalah gadis yang sedang menangis mendengan cerita sahabatnya yang sangat sayang padanya.

Adikku memang terkena polio waktu kecil, jadi saat berjalan ataupun berdiri harus menggunakan penyangga kaki.

“Namun Tuhan berkehendak lain. Obat-obatan yang aku minum hanya bisa menghambat pertumbuhan tumor yang ada. Waktuku nggak lama, Ve. Dan aku nggak mau kamu menyia-nyiakan waktumu untuk deket sama orang yang sakit dan nggak akan bertahan lama kaya aku. Kamu tahu kenapa? Karena aku sayang sama kamu. Mungkin banyak orang gak percaya hal ini, tapi satu hal, aku sayang kamu mulai detik pertama aku melihat kamu.”

Di detik itu aku juga sayang kamu.. ucapku dalam hati, gak punya kekuatan untuk mengatakannya.

Tapi kurasa ia menyadari hal ini. Ia membawaku ke dalam pelukannya yang hangat untuk pertama kalinya.

Air mataku bener-bener enggak terbendung!

Ini pasti salah, dia pasti cuma bercanda, kan?

Dia nggak akan pergi dan meninggalkan aku, bukan?

Dia enggak sakit apa-apa!

“Tumor itu tempatnya bahaya banget buat di operasi, yang bisa dilakukan cuma menghambat pertumbunannya...” lanjut Ray tanpa ekspresi.

Tapi ia seperti tersentak, seakan tahu tugasnya, ia segera memasang senyum yang selalu aku sukai itu.

Sambil menyeka air mataku, dia terus tersenyum.

“3 bulan terakhir sebelum aku harus istirahat di rumah, aku yakin kita akan melakukan banyak hal menyenangkan, bukan?”

Entah mengapa aku nggak kaget.

3 bulan, memang bukan waktu yang panjang..

Sambil terisak aku menangguk pelan, “Kita akan melakukan banyak hal yang menyenangkan..”

Lalu suara ayah, bunda, dan Sofi terdengar di ujung lorong.

“Sebaiknya aku segera pulang,” kataku pelan.

Ia melepaskan pelukannya dan aku segera pergi ke tempat yang menjual minuman, setelah aku membasuh muka dengan sedikit air.

Tuhan, jangan ambil dia dariku, aku sayang Ray..

-*^^*-

Sejak kejadian di rumah sakit, aku jadi rutin mengunjungi Ray setiap hari.

Kami akan melakukan berbagai hal meyenangkan.

Aku dan Ray bahkan membuat taman kecil di halaman rumahnya dan rumahku.

Ya, ayah dan bunda sudah kuceritakan tentang Ray, tentang penyakitnya, dan hey, ternyata Ray juga cepat akrab pada Sofi. Mungkin karena Ray merasa memiliki keadaan yang sama dengan Sofi.

-*^^*

Thursday, October 14, 2010

-Love@d'FirstSight- Part 1

ini dia cerita dari namaku :)

Duh. Bosen banget liburan ke Bali lagi.

Ini yang ke-3 kali dalam setahun aku liburan ke sini. Soalnya, ayah dan bunda lagi ada urusan bisnis. Tapi bisnis itu sebenernya memang enggak harus dilakukan di Bali/ Sekalian liburan, kata bunda.

Sebagian besar waktu kami, kami habiskan di hotel saja, atau di mall. Sesekali kami juga pergi ke Ubud untuk jalan-jalan, tapi kali ini kami hanya akan jalan-jalan di pantai saja.

Aku suka Bali, tapi 1 kali setahun sudah cukup!

Tapi apa boleh buat, aku dan adikku harus ikut.

Hotel yang kami tempati berada di seberang pantai, jadi aku boleh pergi dan pulang kapan saja aku mau. Lagipula ayah dan bunda akan bertemu patner bisnis mereka sore ini.

Aku langsung memakai sandal jepit bermotif bunga dan topi lebar yang sudah sangat sering aku pakai.

Tanpa berpamitan aku melangkahkan kakiku ke pantai.

Angin lagi berhembus kencang, cocok buat main layangan. Banyak juga orang yang sudah siap dengan layangannya. Aku jadi tergoda untuk mencoba. Untung ibu-ibu yang menjual layangan itu mau membantuku menaikkan layangan setelah aku membeli sebuah layangan yang ia jual.

“Kak Veka lagi ngapain?” sebuah suara mengagetkanku saat aku lagi asyik dengan layanganku.

Ternyata hanya adikku, yang usianya banyak denganku.

“Sofi, sama siapa di sini? Kakak lagi mau main layang-layang. Mau ikut?” kataku menawarkan.

“Sofi tadi diajak ayah ke sini, terus ayah malah ketemu temennya jadi ngobrol. Terus Sofi lihat kak Veka, jadi Sofi ke sini aja,” kata Sofi dengan gaya khas anak kelas 2 SD, seraya mendekat, tanda ingin ikut main.

“Hmm, anginnya dingin ya, Kak,” Sofi merapatkan jaketnya.

Aku mengangguk.

Sore ini memang udah enggak begitu panas, gak seperti biasanya.

“SOFI!!” terdengar seorang pria memanggil Sofi. “Mau ikut ayah atau Veka?” ayahku memanggil dari kejauhan. Ayah sudah selesai berbincang dengan temannya dan pasti lagi terburu-buru kembali ke hotel dan bersiap ke rapat nanti.

Ayah memang terlalu banyak bicara! Hihihi. Ayahku memang tipe orang yang banyak bergaul, jadi jangan heran kalau kemana-mana ayah pasti akan bertemu temannya.

“Ikut ayah!” Sofi berjalan ke arah ayahku. Anak kecil memang plin-plan! Baru sebentar ikut aku udah balik lagi ke ayah.

Aku cuma bisa melambai kecil.

Sofi dan ayah membalas lambaianku.

Ketika aku mendongak lagi ke langit, ups! Layanganku menabrak sebuah layang-layang lain! Bukan cuma itu, tapi sepertinya juga tersangkut.

Aduh! Ingin rasanya melepas gulungan tali ini terus lari kembali ke hotel. Tapi layangan-layangan itu keburu turun dan mendarat tak jauh dari tempatku karena angin juga tiba-tiba berhenti.

“Layangan kamu?” tanya seorang laki-laki sambli membawa 2 buah layangan.

“Iya, maaf udah nabrak layangan kamu. Ada yang rusak?” aku berusaha menunjukkan sedikit sikap menyesal.

Ia mengangkat alis dengan heran sebentar, sebelum melanjutkan.

“Enggak kok, enggak rusak. Ya udah, ini,” ia menyerahkan layangan merah besar milikku. Lalu dia berbalik dan berjalan pergi begitu aja.

“Kamu bukan orang Bali, ya?” tanyaku tiba-tiba. Pertanyaan enggak mutu dan enggak sopan. Tapi terlintas di kepalaku saat logat yang digunakannya berbeda.

“Iya, aku orang Semarang.” Ternyata dia bersedia berbalik ke arahku dan bicara padaku. Dan, hei! Dia juga berasal dari Semarang!

“Aku juga dari Semarang lho! Kelas berapa?” aku SKSD banget ya? Alias Sok Kenal Sok Dekat.

“Emang aku kelihatan seperti masih sekolah, ya?” dia mengerutkan alisnya. GUBRAK!

“Emm, ii-iya.” Jawabku ragu.

“Aku memang masih sekolah kok. Kelas 11. Kamu?”
“Oh, kirain. Eh, aku baru kelas 10. Sekolah di mana?”

“Aku home schooling. Tahu nggak artinya?” tanya nya dengan tatapan merendahkan.

“Tahu dong! Aku juga home schooling!” kataku dengan nada penuh kemenangan. Memangnya dia aja yang bisa home schooling gitu?

“Ooo. Kenalin, aku Reinald. Panggil Ray aja.”

Reinald. Ray. Nama yang bagus kan? Sopan pula..

“Eh, aku Veronica. Veka.” Kataku sambil mengulurkan tangan. Ia menjawab uluran tanganku.

Enggak nyangka, peristiwa layangan nabrak bisa bikin kenalan baru!

Ganteng lagi...

Ah, ada-ada aja.

“Duduk di situ, yuk.” Ray menyarankan.

Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya yang enggak begitu besar.

Aku enggak menyangka ada orang yang begitu ramah pada kenalannya yang baru.

“Mau minum?” tanya dia setelah duduk di sebuah tempat duduk. Sebenarnya tempat itu hanya bagian dari pagar pantai, tapi cukup nyaman karena terdapat sebuah pohon besar di sampingnya, dan beberapa penjual makanan dan minuman tersebar di sekitar tempat itu.

“Terserah kamu, aja.” Kataku sopan.

“Tunggu di sini, ya.”

Aku mengangguk samar, nggak yakin akan apa yang akan dia lakukan.

Dia lalu menghampiri seorang pedagang minuman dan kembali membawa 2 botol minuman ringan.

“Nih, buat kamu.” Kata Ray sambil menyodorkan sebuah botol minuman kepadaku.

“Mmm, makasih.” aku bergumam pelan.

Kami lalu mulai ngobrol beberapa saat. Dan sepanjang kami bicara, yang ada Cuma tertawa dan bercanda. Setelah beberapa saat baru kami bisa serius.

“Jadi, kamu orang Semarang juga? Kok bisa nyasar ke sini sih?”

“Iya, ayah lagi banyak urusan di Bali. Jadi kami sekeluarga ke sini. Sekalian liburan gitu,” balasku dengan cerewet.

Penasaran, aku balik bertanya, “Kalau kamu?”

Dia seperti tersentak lalu dengan terbata-bata menjawab, “Eh, iya, sama. Ada urusan.”

“Ooo,” aku Cuma mengangguk, gak berusaha tanya lebih lanjut.

“Mmm, boleh minta nomer HP?” tanyanya ragu. Selama beberapa menit aku berkenalan dengan dia, baru pertama ini dia terlihat benar-benar ragu.

“Tentu saja.”

Aku lalu memberikan nomor Hpku padanya, dan dia juga begitu.

Hal teraneh yang pernah aku lakukan dalam hidup.

Aku baru kenal dia mungkin 10 menit, tapi aku sudah percaya sama dia.

Entah apa yang membuat aku percaya. Yang pasti bukan hipnotis atau semacamnya.

Hehehe...

Tibar-tiba suara ponsel berdering, ternyata ponselnya.

Dia berdiri dan menjauh beberapa saat, lalu kembali.

“Sori, aku harus pulang sekarang. Enggak apa kan?”

Ray ternyata harus pulang, tapi ia kelihatan masih ingin tingga

“Iya, enggak apa-apa.” Jawabku memaksakan seulas senyum yang kaku.

“Bohong, iya kan? Ya udah, aku tungguin sampe sunset.” Katanya dengan senyuman manis.

Aku cuma bisa tersipu. Sejauh ini, aku cukup dikatakan pintar berbohong oleh teman-temanku. Baru kali ini ada orang yang mengetahui aku bohong.

Tapi kenapa aku nggak mau dia pulang? Toh kami mungkin bisa kenal hari ini aja..

“Kamu kapan pulang ke Semarang?”

“Minggu depan. Kenapa? Kamu sendiri?”

Aku tahu nggak baik menjawab orang dengan pertanyaan, tapi aku juga ingin tahu.

“Enggak, Cuma mau tahu aja. Boleh kan? Aku juga masih seminggu lagi.”

Aku mendengarkannya berceloteh kemudian tentang liburannya ke Jogja minggu lalu, sambil diiringi suara ombak yang berdebur riang.

“Terus aku terbang deh, ke Bali..” begitu ia menyelesaikan ceritanya, ia langsung memutar wajahku, dari yang melihat ke beberapa pedagang, sekarang memandang ke laut.

Sunset kesekian yang pernah aku lihat, tapi yang pertama dengan seorang teman.

“Nah sekarang aku pulang, ya? Besok kita ketemu lagi di sini. Bisa kan?” tanya Ray sambil menatap dalam ke mataku. Matanya ternyata berwarna cokelat tua.

Aku seperti tenggelam dalam kedua matanya sampai-sampai lupa menjawab.

“Iya, aku usahakan. Sampai besok,” balasku sambil melambai ke arahnya.

Aku tak tahu, tapi bahkan mobilnya belum berbelok di tikungan itu, aku sudah agak merindukannya.

Mungkin keceriaannya, suaranya yang jernih dan lantang, atau cerita-ceritanya yang menghibur.

Tapi aku juga nggak bisa memutuskan, bisa aja kan, dia itu ternyata cowok nakal yang kerjaannya bikin cewek terpesona, tapi ternyata dia Cuma iseng gitu?
Entahlah, tapi rasanya hati kecilku sudah tahu kalau dia bukan tipe orang yang seperti itu.

Entah bagaimana aku yakin dia adalah orang baik-baik.

Sampai besok, Ray...

-*^^*-

Seminggu kemudian...

“Ray, kamu di mana? Aku udah sampai di Semarang.”

Pesan singkat itu aku lihati sebentar, lalu aku kirim.

Aku pulang dari Bali lewat Jogja, sedang dia lewat Jakarta.

Kami menghabiskan seminggu terakhir bersama. Menyusuri pantai, main layang-layang dan kegiatan lain yang menyenangkan. Menikmati sunset berdua bahkan sudah jadi hal rutin yang kami lakukan.

Karena hari ini kami akan pulang, jadi kami memutuskan untuk melihat matahari terbit. Jam 4 aku sudah dibangunkan dengan sms darinya.

Kami jalan-jalan lalu melihat matahari

Tak lama, ada balasan dari Ray.

“Aku udah mau boarding nih. Di Semarang panas nggak? Atau mendung?”

Aku melihat keluar jendela. Gak panas. Gak mendung. Apa dong namanya?

“Mmm, enggak panas dan enggak mendung. Hhehe.. Ya udah, hati-hati ya.. J

Aku cerita tentang Ray ke sahabatku, Meili, lewat telepon sore itu.

“Aku yakin 60% dia suka sama kamu!” katanya berapi-api.

Dunia serasa jungkir balik.

“Tapi kami baru bertemu sebentar. Masa bisa sih orang suka langsung pada pandangan pertama?” tanyaku nggak percaya.

“Bisa, tau! Enggak pernah denger?” tanya nya.

“Ooo, enggak pernah denger tuh.” Aku berkata dengan lugunya.

“Kalo gitu enggak usah cari tau! Kamu kan udah mengalaminya sendiri.”

Enak aja kalo dia ngomong! Tapi aku jadi tertarik..

“Emang gimana ciri-cirinya gitu?”

“Iya yang paling jelas, kamu kangen kan sama dia sekarang, walaupun kamu baru ketemu dia tadi pagi?”

Ya ampun! Meili bisa membaca pikiranku!

“Terus rasanya pasti seneng kan kalo ketemu dia?”

2 kali, bahkan!

“Itu ciri-ciri utamanya. Jadi bagaimana? Kau benar-benar suka padanya, ya? Oh tidak! Aku harus mengangkat air rebusan untuk mandi air hangatku. Sampai nanti!”

Kata Meili terburu-buru, lalu menutup telepon. Meili memang selalu terburu-buru.

Tapi yang dia katakan ada benarnya,

Mungkin aku, suka pada Ray..

Hanya mungkin.. dan mungkinkah dia menyimpan perasaan yang sama?

Thursday, September 30, 2010

sahabat cinta..

haha:) 2 kata yang terpikir buat judul ini..
nah sebelum melanjutkan cerita (belumberjudul),
ada sDikit cerita yang agak aneh dan 'ngalor ngidul'.. :)

“Anak-anak, hari ini saya akan mengatur tempat duduk kalian, demi terciptanya ketenangan di kelas ini. Pengaturan ini akan berlaku 1 bulan!” Demikian Pak Beru membuka minggu ini. Sontak semua anak termasuk aku mengeluh. Jelas kami gak suka di atur tempat duduknya. Tapi apa boleh buat, dari pada menunggu Pak Beru, wali kelas kami mengamuk bagaikan singa, lebih baik kami berkemas dan siap-siap pindah.

“Denny, kamu duduk di sebelah Vita.” Kata Pak Beru. Mendengar namaku dipanggil, aku langsung berdiri.

Tunggu! Aku duduk di sebelah Vita? Jenius yang gak pernah ngomong??

Tiba-tiba seluruh kelas tertawa sambil melayangkan pandangannya padaku.

Ups! Sepertinya aku baru saja mengatakan pikiranku itu.

Aku langsung duduk di sebelah Vita.

“Maaf yah, keceplosan.” Ucapku .

“Iya, enggak apa-apa kok.” Balasnya sambil tersenyum.

Hei! Dia tak pernah masalah bila diejek! Jujur saja, itu adalah poin plus buatnya.

Gak semua anak di kelas ini tahan bila diejek.

Terutama Nova, pacarku sejak kelas 10. Tiap kali ada yang mengejeknya, ia selalu berlari dan minta belaan dari aku.

Sebenarnya dia memang cantik dan populer, juga cheerleader, maka itu aku minta dia jadi pacarku tahun lalu. Kan sebanding gitu, ceweknya cheerlead, cowoknya anak terganteng se-antero SMA ini. Hehe..

Omong-omong tentang kata-kata ‘jenius’ tadi, mengingat di kelasku Cuma ada 2 jenis anak, gaul ato pinter..

Kalo pinter, nilainya dijamin di atas 9 terus.. pelajaran apa aja pasti bisa deh.. Tapi mereka biasanya gak begitu gaul. Contohnya, cewek yang duduk di sebelahku ini.

Beda sama anak gaul, temennya banyak, biasanya kelas 11 udah punya cewek or cowo.. bedanya, nilai kami gak begitu bagus.. nilaiku yang paling bagus aja 8. Tapi prestasi kelas kami oke kok.

Pulang sekolah,

Seperti biasa, aku sama Nova langsung cabut ke mall deket sekolah.

Kami makan di food courtnya. Setelah itu baru keliling-keliling mall.

Seperti biasa juga, pasti dia pulang dengan tangan penuh, yep, penuh barang belanjaan yang gak dibayarnya..

Eits! Bukan berarti ngutang lohh..

Tapi, yep, aku yang bayarin.. Sebagai cowok yang baik dong.. Hehe..

Abis dari mall, aku anterin dia pulang ke rumahnya yang gak begitu jauh, baru aku pulang.

Agak sebel juga sih, capek and dia banyak maunya. Tapi yaaaa nggak apa-apa deh.. Berkorban gitu.. (Cieehhh.. Gayanya :D)

Resikonya aku jadi gak bisa belajar baik, coz kalo pulang udah sore gitu..

________________________________^^___________________________________

2 minggu kemudian..

Udah 2 minggu duduk ditentuin..

Duduk sama Vita ada enaknya juga lohh..

Kalo ada yang gak ngerti, dia mau ajarin..

Cara dia ngajarin oke juga, bisa buat aku paham.

Dan, hei! Ternyata dia gak sediem yang aku kira..

Dia Cuma fokus aja ke pelajaran, jadi gak banyak bicara.

Gara-gara dia, aku jadi penasaran gimana rasanya bener-bener fokus sekolah..

Iya, selama ini kalo abis sekolah kan aku langsung pergi sama temen-temen, dan jarang belajar. Sbenarnya kata Pak Beru, kalau aku mau, aku bisa dapet nilai 9.

Jadi seminggu kemaren, aku alesan sama Nova buat enggak nganterin dia ke mall pulang sekolah. Aku bilang sama dia, karena aku ada acara sama keluarga. Padahal, aku pulang, terus istirahat, terus belajar.

Gak heran, seminggu ini nilaiku 8 terus loh.. bahkan ada yang 9.. hehe..

Sombong yah? Tapi bangga juga.. akhirnya dari golongan ‘gaul’, bisa juga dapet nilai 9. Teman-temanku juga heran sebetulnya, tapi aku belum kasi tahu mereka yang sebenernya.

Jujur..

Aku jadi agak penasaran sama dia.

Soalnya walau dia enggak gaul, enggak begitu cantik emang, tapi mukanya itu manis dan bikin orang seneng ngeliatnya. Rasanya kayak aura dia itu bikin damai..

(Apaan sih?)

Ya gitu deh..

Juga dengan caranya sendiri, dia bikin orang ngerasa seneng dan pengen belajar.

Mmm..

Kira-kira kalo dia di ajak jalan mau enggak yah?

Berlebihan kali ya? Tapi aku penasaran sama dia yang sebenernya.

Tanpa sadar, aku mengambil HP yang ada di kantongku.

“Halo?” suara malaikat jenius itu ada di seberang lain telepon.

“Vita? Ini Denny.” Aku mendengar suaraku sendiri agak gimana gitu.

“Iya, kenapa?” tanyanya dengan suara yang datar-datar aja. Seperti biasa memang.

“Mmm.. Aku pengen ngajak kamu jalan-jalan. Besok pulang sekolah, bisa?”

“Maaf, besok aku ada tambahan Matematika, jadi pulangnya sorean.”

“Kalo Selasa?”

“Tambahan Fisika.”

“Rabu?” tanyaku gak yakin.

“Tambahan Kimia.” Jawabnya tanpa ragu.

“Kamu kan udah pinter, ngapain ikut tambahan?” kataku asal nyeplos dengan agak emosi.

“Siapa bilang aku IKUT? Aku tutornya, jadi harus dateng kan?” jawabnya gak kalah emosi.

Ups! Sehebat itukah dia sampe jadi tutor?

“Kalau kamu mau, hari Jumat aku bisa.” Katanya lagi.

“Oke, Jumat pulang sekolah kita bareng ke mall yah..” aku mengalah.

“Nova?”

________________________________^^__________________________________

“Nova?”

1 nama yang disebutkan Vita! Membuat aku melompat terkejut.

“Eh, diaa.. Enggak apa-apa kok.. Dia juga pasti ada urusan sama temannya.”

“Iya udah kalo gitu. Ada lagi?” suaranya agak ragu.

“Mmmm, enggak kok. Maaf kalo ganggu yah. Sampe ketemu di sekolah besok.” Kataku menyadari ada nada ‘lagi-belajar-mode’ di kalimat-kalimat Vita.

“Iya.” Jawabnya singkat.

Huh! Kadang-kadang aku pengen dia agak cerewet. Tapi kalo gitu bukan Vita dong? Yaa gitu deh pokoknya!

Beberapa hari kemudian..

Akhirnya hari Jumat dateng juga. Seperti dugaan, karena hari Sabtu libur, Nova and the gank jalan-jalan di mall yang jauh dari sekolah.

Sementara nungguin Vita yang lagi ngomong sama guru, aku ngobrol dengan teman-teman.

Mereka ngajakin aku basketan!

Tapi, aku udah terlanjur janjian dengan Vita.

Pertamanya mereka sempat curiga!

“Kamu mau jalan sama siapa? Bukannya Nova lagi sama geng nya yah? Gak mungkin kan kamu jalan sendirian?”

“Aku.. Aku lagi cari kado buat Nova kok, kan kalo ada dia jadi gak surprise..” jawabku berbohong.

“Oooo..” Fiuhh! Mereka kompakan ngomong ‘Ooo’ yang artinya mereka memahami alesan aku!

“Tapi kan ulang tahunnya udah lewat?” tanya seorang teman yang juga asal nyeplos.

Ah iya! Ulang tahun Nova kan 3 bulan lalu..

Cari ide.. cari ide..

“Kasi kado ga harus waktu ulang tahun aja kan?” jawabku sok cool. Padahal, aku grogii abis, takut ketahuan mereka.

“Duluan ya!” kataku pamit melihat Vita sepertinya hampir selesai.

Aku langsung menuju motorku dan menyalakannya.

5 menit kemudian, Vita keluar dan kami langsung berangkat.

Sampai di mall..

“Kamu mau ke mana? Mau makan dulu atau lihat-lihat?” aku memberi pilihan. Sebetulnya perutku sudah berbunyi, tapi pengen tahu aja reaksi dia.

“Terserah kamu aja.” Jawabnya singkat. Aku mulai terbiasa dengan jawaban-jawaban yang singkat itu.

Benar saja, aku langsung mengajaknya ke food court.

Kami lalu makan.

Hei! Dia itu beda banget sama Nova, yang makannya milih-milih setengah hidup! (say positive :P)

“Jangan kebanyakan gula ya, mbak, itu kan nggak baik. Bikin gendut pula!”

Capek juga lama-lama telinga ini!

Beda sama Vita yang Cuma bilang, “Mbak, gulanya jangan banyak-banyak, ya,” dengan manis dan sopannya. Enak kan?

Ahh! Apa yang aku pikirkan?

Lama-lama kok aku jadi muji-muji dia sih?

Kan niat awalku penasaran tentang dia!

Eh tapi bener juga ya, kalo gini kan aku jadi tahu tentang dia.

“Habis ini kamu mau ke mana?” tanyaku sambil menguyah bakso yang kupesan.

“Kalo bicara itu jangan dengan mulut penuh.” Koreksinya dengan tampang pura-pura marah, tapi lalu ia tersenyum kecil.

“Biasa aku dan kakakku ke sini untuk ke toko buku di lantai 3 itu.”

“Gak ke tempat lain?” aku agak heran.

Dengan malu-malu ia menggelengkan kepalanya.

“Nah sekarang kamu mau ke toko buku atau tempat lain?”

“Kan kamu yang mengajak, jadi terserah kamu. Aku kira kamu ajak aku buat nemenin apaa gitu.” Katanya lugu.

Iya! Emang ini anak terlalu lugu!

“Mmm, iya udah ke toko buku aja. Ada yang kamu mau beli kan?” aku menebak.

Ia mengangguk mantap.

Alhasil, kami memang ke toko buku.

“Kamu gak mau lihat-lihat toko lain dulu? Biasanya aku agak lama di sini.”

Aku menggeleng mentap. “Enggak apa-apa. Aku temenin kamu aja.” Kata-kata itu meluncur dari mulutku. Raut wajahnya jadi agak kaget, tapi Cuma sebentar. Habis itu biasa lagi.

Aku agak meremehkannya. Lama? Seberapa lama sih? Paling orang tahan di toko buku Cuma 15 menit. 15 menit memang cukup lama buatku.

Ternyataa...

1 jam kemudian..

“Maaf, kelamaan ya?” suara ‘malaikat’ Vita membuyarkan lamunanku.

“Oh, enggak kok, gak papa. Udah dapet bukunya?”

“Iya, udah.”

“Emang kamu ngapain aja di toko buku?”

Ah, aku merasa aneh menanyakan pertanyaan itu. Ya jelas cari buku lah!

“Aa, aku cari beberapa buku.” Katanya agak tergagap, mungkin kaget mendengar pertanyaanku yang agak gak mutu.

“Ini buat kamu.” Lanjutnya lagi sambil merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah buku.

BUKU LATIHAN SOAL KELAS XI

“Buat aku?” aku gak percaya.

“Iya. Aku tahu akhir-akhir ini kamu belajar lebih giat kan? Maka itu nilaimu baik. Ini tambahan soal, siapa tahu bisa menambah pengetahuan kamu atau biar kamu tambah banyak tahu jenis soal.”

“Kamu kok tahu?” aku masih heran. Gantian aku yang diam dan jawab seperlunya, sedangkan dia cerita panjang dan lebar.

“Iya, aku udah bilang kan kalau kakakku dan aku sering ke sini? Mulanya aku gak menyadari apa-apa, tapi kakakku yang sadar. Dia bilang, ‘mana itu anak SMA yang biasa jalan ke sini?’ Yang dimaksud itu kamu. Tiap hari kamu ke sini, kan? Tapi akhir-akhir ini kamu enggak ke sini dan belajar di rumah. Maka itu nilai kamu lebih tinggi dari biasanya.”

Aku jadi sadar, betapa pintar dan cerdasnya temanku ini.

Pulangnya..

Aku jadi merenung.

Dia enggak populer, cantik juga biasa aja, tapi dia bersyukur sama keadaannya, dan dia juga enggak macem-macem. Tegar lagi!

Beda sama Nova, yang maunya ini itu, terus minta di beliin ini itu.

Seperti tadi, dia beli beberapa buku, dan semua di beli dengan uangnya sendiri.

(Habis aku ketiduran jadinya gak bisa bayarin.. hehe^^)

Udah gitu masih mikirin aku.

Padahal setahuku ekonomi dia pas-pasan aja.

2 hari kemudian..

“Vit..” panggilku waktu dia lagi asik-asiknya mencatat kimia.

“Iya? Yang mana yang enggak bisa?” katanya bercanda.

“Aku mo ngomong serius.”

“Oh, sori. Kenapa?” ia sedikit merasa bersalah.

“Kamu mo nggak jadi cewekku?”

Tanyaku penuh harap.

Mungkin yang ada di pikirannya tuh: gak salah? Cowok terkeren se-SMA ini mau sama aku yang ga ada bagus-bagusnya?

“Aku tahu mungkin agak aneh bagi yang lain. Tapi kamu udah mengajarkan aku banyak hal. Karena kamu juga, aku jadi terpacu buat meningkatkan prtestasi.”

“Kamu emang beneran sayang sama aku?”

Aku kaget waktu dia ngomong gitu.

“Iya, aku bener-bener sayang sama kamu.”

“Nova?”

Lagi-lagi nama itu.

“Aku udah putus sama dia. Ternyata dia cuma cari untung sama aku.”

Aku melihat sepertinya ia harus mengambil keputusan yang berat.

“Kalo gitu, kamu mau kan nunggu aku?”

Setelah bilang gitu dia fokus lagi sama pelajarannya.

Sempat terlihat air mata di sudut mata Vita tapi langsung di usap.

Beberapa minggu kemudian, Denny udah nggak duduk bareng Vita ..

“Eh, Den! Aku baru dapet sebuah kabar!” sahabatju itu mengagetkan aku yang lagi asik ngitung rumus fisika ini.

“Kabar apaan, Dod?” tanyaku pada Doddy.

“Tentang Vita.”

Aku langsung terdiam.

Berita aku nembak Vita memang sudah tersiar, karena teman yang duduk di belakang kami pas dengar!

Tapi, apa salahnya? Aku jadi membiarkan rumor itu.

“Dia kenapa?” tanyaku datar.

“Sebenernya aku cukup deket sama dia di BimBel. Terus kemaren dia tanya-tanya tentang kamu. Waktu aku tanya dia suka kamu ato enggak, dia mengangguk walo samar!”

Aku agak terkejut, senang mendengarnya!

“Terus??” tanyaku bersemangat!

“Dia juga sayang sama kamu, Den, tapi orang tuanya itu guru, jadi mereka mau Vita fokus ke pelajarannya, jadi dia enggak nerima kamu.”

Saat itu juga, aku seperti menemukan kepingan terakhir puzzle!

“Kalo gitu, kamu mau kan nunggu aku?”

Aku tahu sekarang makna dari semuanya!

Besoknya, aku tuke tempat duduk sama Nina, yang kebetulan duduk di samping Vita.

“Vit..”

“Iya?” katanya tanpa mengalihkan pandangannya dari latihan soal fisika yang dikasi.

“Aku bakal nunggu kamu.”

Dia langsung menghentikan pekerjaannya, walaupun tidak mengalihkan pandangannya. Lalu seulas senyum terbentuk di bibirnya.

“Kita bisa sahabatan kalau kamu mau.” Aku menawarkan.

Raut wajahnya berubah jadi cerah, seakan beban yang dibawanya hilang menguap.

“Aku mau.” Senyum lebar terpancar dari wajahnya dan kali ini ia menatap mataku, dalam dan hangat.

Hei! Aku baru tahu warna matanya cokelat!