terus meng-haunt aku setiap kali inget dengan tokoh utamanya :(
ada tambahan dikit terutama di ending-nya :)
Okay, let me just say,
It's always a writer's pleasure to find a life lesson while writing a piece,
so here it is, *hope you'll like it*
LIFE LESSON
"Serius lo, Yon? Elo beneran married sama Brenda?" tanyaku nggak percaya. Undangan bernuansa hitam-putih yang sederhana tapi elegan mengatakan hal itu. Dion & Brenda. "Gue juga nggak percaya waktu gue tau, tapi emang beneran kok!" Felix menimpali.
Aku tersenyum lebar, tapi masih heran, rasanya semuanya ini hal yang agak ‘ajaib’. "Sayang ya, gue masih di Aussie, nggak bisa dateng. Elo sih nggak ngabar-ngabarin dulu!" kataku. Aku belum bisa membayangkan Dion dalam jas, berjalan ke arah pelaminan. Bukan Dion banget. “Maaf deh. Soalnya gue takut bakal ganggu kuliah. Kan tanggal itu deket ujian ya katanya?” Aku meringis. Iya juga sih, mau tahu pun aku mungin tidak bisa hadir. Tapi tetap saja aku menepuk pundaknya dan berkata, "Congratulations, yah!"
Dion dan Felix, kedua orang yang duduk di kursi depan, mereka adalah sahabatku dari SMP. Dan sekarang kita, teman-teman SMP, lagi ngumpul bareng, nostalgia, setelah setahun lalu kami lulus SMA. Nah, Dion dan Felix menawarkan diri buat anter-jemput aku selama di Indonesia, soalnya Papa Mama lagi pergi ke luar kota naik mobil, dan di rumah nggak ada mobil lain, plus rumah mereka berdua deket dari rumahku.
Omong-omong, hari ini mereka jemput karena ini adalah hari pertama kami akan pergi bareng. Tapi sebelumnya. aku ada acara dulu, sama temen-temen SMP yang cewek. Temen-temen cowok mau futsalan dulu. Katanya bukan cowok kalo nggak olahraga. Jadi, daripada kita cewek-cewek nongkrong nggak jelas di tempat futsal itu, mendingan kita di sini, di sebuah tempat yang menyewakan beberapa studio tari besar. Yep, hampir semua anak-anak cewek di sini emang penari, dari berbagai genre, termasuk aku. Lagian di sini tempat ngobrolnya lebih enak, ditemenin alunan musik, bukan suara bola ditendang-tendang. Hehe :P
Mobil lalu berhenti di tempat tujuan, dan aku segera turun. "Ntar kita jemput lagi, jam 2 ya!" kata Felix. "Iya, makasih ya. Skali lagi congratz yah, Yon!" Aku menutup pintu belakang dan berlari masuk. Tidak sempat memperhatikan senyum Dion yang nggak selebar biasanya.
-*^^*-
"Eh, Ngel, lo tau nggak kalo si Dion tuh udah married loh! Padahal kan setau gue waktu terakhir SMA dia tuh suka sama Yesi yah? Terus dia kan baru seangkatan kita, kita kan baru aja selesai semester 2!" Angel langsung mengangguk, "Gue tahu, gue dateng kok pas acaranya. Kasian banget deh dia," kata Angel.
"Kok kasian, sih? Seneng dong buat temen kita!" kataku, bingung. Angel lalu ngeliatin dengan muka nggak ngerti, lalu tiba-tiba mendapat 'ilham'. "Lo nggak tau kejadian pas hari-H ya? Elo kenal Brenda nggak?" Aku menggeleng ragu. "Gue cuma tahu aja Brenda yang mana. Emang ada apa?" tanyaku.
Angel menghela nafas, terus bercerita. "Brenda itu kena leukimia, waktu hidupnya nggak lama waktu dia divonis. Orang tuanya berusaha mengambulkan permintaan-permintaannya. Dan salah satunya adalah dia pengen ngerasain apa yang namanya menikah, sama orang yang selama ini dia suka, Dion. Waktu Dion tahu, dia shock banget, lo tau kan waktu itu dia nggak gitu suka sama Brenda. Dari SMP sampe kuliah pun, dia tetep suka sama Yesi. Tapi entah gimana dia akhirnya agak luluh, mengingat itu permintaan terakhir Brenda. Lo juga tahu kan Dion emang tipe orang yang ngehargain banget hal-hal kaya gini. Terus akhirnya mereka jadi married deh. Tapi sebelumnya keadaan Brenda udah parah banget, dan di situlah Dion - gue juga nggak tahu gimana- mulai sayang sama Brenda."
Aku tertegun, ternyata ada kejadian seperti itu. Tapi lalu Angel melanjutkan..
"Tapi waktu hari-H nya, si Brenda bener-bener parah banget keadaannya. Dia bener-bener cuma bisa duduk di kursi roda, lemes, nggak bisa ngapa-ngapain. Tadinya mau dibatalin pernikahannya karena keadaan Brenda. Menurut gue harusnya Dion seneng, dia bisa ngejar Yesi lagi, tapi dia malah yang bersikeras untuk wedding-nya tetep dijalankan. Dia paham banget kalo waktu Brenda sangat sempit. Acara tetep dilangsungkan, tapi begitu acara gereja selesai, Brenda langsung aja pingsan. Dia langsung dibawa ke rumah sakit, dan ternyata itu hari terakhir dia. Gue sendiri sedih banget ngeliat Dion. Dion sedih banget, dan itu kali pertama gue ngeliat dia nangis. Iya, nangis! Padahal beberapa jam sebelumnya dia baru aja senyum waktu dia diberkati sama pendeta di gereja. Dia akhirnya bener-bener bisa sayang sama Brenda, dan gue sih seneng bahwa sebelum Brenda pergi, dia tahu hal itu. Semua keinginannya udah dipenuhin."
Aku benar-benar speechless. Yon, elo nggak cuma 'menikah', elo juga ngorbanin hidup elo, diri elo, masa depan lo buat Brenda...
-*^^*-
"Ada yang ketinggalan nggak? Langsung jalan aja yah?" tanya Felix waktu aku masuk ke mobil. "Iya langsung aja. Udah lengkap semua kok, yang lain nanti nyusul di mobil lain," jawabku. Begitu pintu mobil tertutup, pandanganku langsung nggak bisa lepas dari Dion. Ada sebuah perasaan yang begitu aneh.
Perasaan yang campur aduk.
"Elo kenapa ngeliatin terus?" tanya Dion menoleh ke belakang, tersenyum dengan cara yang agak aneh. Aku tersadar, dan langsung tersenyum menggeleng, "Eh, enggak." Tapi lalu aku mendesah sebelum dia menoleh ke depan lagi, aku memberi kode untuk Dion supaya sebentar lagi dia melihat HPnya. Aku segera mengetik pesan ini. Rasanya aku nggak sampai hati untuk menyampaikan ini langsung di depannya.
"Sorry,
Sorry banget, gue nggak tahu kalo Brenda udah nggak ada. Makanya tadi gue malah excited banget.
Tadi gue baru aja diceritain sama Angel.
Gue ikut sedih, Yon, gue tahu elo sayang banget sama dia.
Tapi jujur gue bener-bener salut banget sama elo, Yon. Pilihan itu nggak gampang, dan enggak semua orang mau berkorban.
Gue seneng gue punya temen yang bener-bener menghargai kehidupan.
Dan gue tahu, gue patut berbangga, karena temen gue bisa bikin hari-hari terakhir seseorang sangat berarti dan dia bisa pergi dengan tenang. "
Sms itu langsung terkirim, dan masuk ke HP Dion. Dia langsung membaca, (dan untung di saat-saat ini Felix lagi konsentrasi nyetir jadi dia nggak pengen tahu). Begitu dia selesai membaca, dia langsung menoleh ke arahku. Dia tersenyum, tersenyum dengan cara yang dewasa, temanku yang mengajarkanku arti kehidupan.
Ya, hari itu dia mengajarkanku sebuah arti lain dari hidup. Hidup kita itu nggak selamanya cuma buat kita sendiri. Kadang kala kita harus berkorban untuk orang lain. Tapi aku yakin, kalaupun kita akhirnya harus mengorbankan hidup kita, keinginan kita, masa depan kita, kita akan mendapatkan sesuatu yang berharga.
Contohnya cinta.
------
Comments please :P
^^
0 comments:
Post a Comment