sebenernya pengen diupload nanti akhir bulan, tapiii gak tahan :P
yaa udah,
ini dia LUCKY 3 ^^
Lucky 3
"Iya, nggak tahu kenapa pengen denger suara kamu, maaf ya, padahal kan udah malem banget," Mita memimta maaf. "Nggak papa lah, aku juga seneng denger suara kamu," kata Dito sambil tersenyum, walaupun dia tahu Mita nggak bisa melihat senyumnya itu dari ujung telepon. Sebenarnya Dito curiga, ada sesuatu yang salah dari suara Mita, tapi Mita nggak bilang apa-apa, dia cuma bilang dia rindu mendengarkan suara Dito. Dan Dito juga rindu mendengar suara gadis itu.
Dito dan Mita, selama seminggu ini mereka lagi dipisahkan oleh liburan keluarga Mita ke Jakarta. Sudah hampir seminggu keduanya hanya bisa berkomunikasi, lewat pesan singkat kalo sinyal lagi eror, dan BBM kalo sinyal lagi bersahabat. Nggak sempat teleponan, karena di Jakarta sendiri Mita banyak acara keluarga, sedangkan Dito, sibuk latihan dengan crew hip-hopnya, berlatih untuk sebuah lomba.
"Ya udah, Dit. Tidur deh, udah malem," kata Mita pada akhirnya. Walaupun Dito sekali lagi menyadari kalo Mita belum puas, tapi Mita juga harus beristirahat, kan? "Iya, habis ini kamu juga tidur ya, sayang? Good night."
-*^^*-
Udah seminggu ini Dito nggak mendengar kabar apa-apa dari Mita, sejak mereka ngobrol lewat telepon malam itu. Benar-benar aneh, nggak biasanya mereka putus hubungan seperti itu, walaupun lagi liburan. Nggak ada sms, BBM, telepon, e-mail, tweet, DM twitte, wall FB, message FB, apapun. Dito juga nggak bisa menghubungi Mita melalui semuanya itu. BBM pending, sms pending, telepon nggak diangkat, di twittet dan facebook nggak ada respon apa-apa.
Dan bukannya Mita bilang, hari ini seharusnya dia sudah pulang? Tapi di cari ke rumahnya, katanya belum pulang. Ada yang aneh, ada sesuatu yang sangat aneh. Semua sahabat-sahabat Mita di SMA juga nggak tahu apa-apa. Dito khawatir banget, dia jadi nggak konsen sama sekali waktu latihan. Gerakan di otaknya hilang semua, irama yang selama ini selalu dipatuhinya, sekarang hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan.
Sangking khawatir, Dito sempat ada keinginan untuk menyusul Mita ke Jakarta. Rencana sudah di susun, besok kalau belum ada berita dari Mita, dia akan berangkat ke Jakarta. Dia memang nggak punya alamat pasti dari keluarga Mita yang di Jakarta itu, tapi dia tahu kompleks perumahannya. Tapi lalu, telepon dari Mita datang.
-*^^*-
"Dit?" Mita langsung menyapa begitu Dito mengangkat telepon. "Mit, kamu nggak papa kan?" firasat Dito sudah seminggu ini nggak enak, eh sekarang Mita menelepon dia. Dan bukan perasaan lega yang membanjiri dirinya. Ada apa ini?
"Kenapa tanya gitu?" tanya Mita balik. "Soalnya aku BBM--" "Aku nggak apa-apa kok, Dit. Maaf, HPku rusak kemarin, tapi sekarang udah bener kok." Mita memotong. Dia mengela nafas sejenak. "Apa kabar kamu Dit?" tanya Mita lagi, agak aneh mengingat Mita nggak biasanya memotong pembicaraan dan berkata-kata tegas begini. Dito bener-bener bengong di ujung telepon, Mita aneh banget.
"Sebenernya ada apa sih, Mit?" Dito bukannya menjawab pertanyaan Mita. "Nggg.. nggak ada apa-apa kok. Kamu baik-baik aja kan, Dit?" Ya ampun, kata-kata Mita barusan sama-sekali nggak nyambung, tapi Dito cuma terdiam, masih bingung, dan menjawab, "Iya, aku baik-baik aja."
Lalu keanehan berikutnya muncul, belum sempat Dito ganti menanyakan keadaan Mita, Mita berkata, "Bagus deh. Gitu dulu ya, Dit." dan, telepon ditutup.
-*^^*-
"Bu, tekadku sudah bulat, tapi waktu aku mendengar suaranya, aku tahu aku nggak bisa," kata Mia, sambil menghapus setetes air mata di pipinya.
-*^^*-
"Sya, kamu beneran nggak tau kabar apa-apa tentang Mita?" Dito bertanya pada Gresya, sahabat Mita. Saat ini mereka ada di depan kos'nya Gresya, Dito bertanya pada Gresya karena dialah sahabat terekat Mita. "Iya, Dit. Dia nggak ngehubungin aku selama libur ini, emang kenapa sih, dari kemarim tanya gitu terus?" Dito mengehela nafas kecewa, "Aku lost contact sama dia seminggu ini, Sya." Gresya tersentak kaget. "Kok bisa?"
Dito menceritakan semuanya, dari awal liburan Mita, telepon di tengah malam, seminggu yang membingungkan, telepon yang mengejutkan dan aneh, serta 2 hari ini, di mana dia lost contact sama Mita, lagi.
Greysa cuma tercengang mendengar penuturan itu. "Jangan-jangan Mita marah ke kamu?" tanya Gresya hati-hati, tapi Dito menggeleng, "Kalaupun dia marah, dia tetap akan pulang ke sini kan? Paling nggak papa atau mamanya. Mereka nggak pindah ke Jakarta, kan?"
Gresya berpikir sejenak, lalu berkata, "Kamu pacarnya, sering kali ada hal-hal yang nggak diceritakan seorang cewek ke sahabatnya tapi di ceritakan ke pacarnya kalau nggak bisa diceritakan ke sembarang orang. Aku sahabatnya, ada beberapa hal yang seorang cewek nggak akan kasih tahu ke pacarnya, tapi justru ke sahabatnya dia kasih tahu. Kalo kamu dan aku nggak tahu apa-apa, padahal hal ini aneh banget, berarti mungkin Mita kenapa-kenapa, dan hal itu terlalu berat sampai dia nggak cerita ke 2 orang terdekatnya."
Dito tertunduk lesu di kursinya, mengiyakan saja akan adanya kemungkinan hal itu benar. Dan mengiyakan kebenaran kemungkinan itu berarti juga mungkin untuk sementara ini dia nggak boleh berhubungan dengan orang yang paling dicintainya itu.
-*^^*-
Kejutan berikutnya datang saat Dito mulai masuk kuliah. Seharusnya dia masuk di jurusan yang sama di universitas yang sama dengan Mita. Tentu saja Mita nggak datang, dia belum pulang, Mita udah bilang ke Dito. Tapi yang Dito nggak mengerti adalah, menurut TU universitas itu, Mita sudah mengundurkan diri, nggak jadi kuliah di sana.
"Apa? Nggak mungkin, Pak. Namanya benar Mita Utomo dari jurusan seni tari?" Dito bertanya pada bapak TU itu. Tadi di kelas dibacakan nama-nama siswa dan nama Mita nggak dibacakan, dan sekarang bapak itu bilang Mita mengundurkan diri? "Iya, sudah saya cek lagi, benar Mita Utomo dari jurusan seni tari." Dito menggeleng, "Nggak mungkin pak, coba di cek lagi pak." Agak kesal, bapak ini bertanya, "Anda ini siapa ya? Kenapa anda bisa yakin sekali kalau Mita tidak mengundurkan diri?" Dito menjawab lirih, "Karena dia yang selalu mengajak saya masuk jurusan ini."
-*^^*-
Sudah sebulan Mita selalu menghubungi Dito dengan cara yang sama. Lewat surat. Agak kuno, tapi hal itu jauh lebih mending dari nggak sama sekali, begitu menurut Dito. Nggak berhubungan dengan Mita sudah membuat Dito kacau, lalu tiba-tiba Mita mengundurkan diri, dan sudah berminggu-minggu Mita nggak pulang. Dan sampai hari itu Mita nggak pernah bisa ditelepon, di sms, dll. Cuma bisa dijangkau lewat surat, yang sbenernya membuat Dito tambah frustasi, karena dengan begitu, pertanyaan seperti, "Ada apa sih?", "Kamu kapan balik?”, “Kapan bisa dihubungi?” atau “Kamu ngundurin diri dari kuliah?” bisa dihindari Mita dengan mudah. Dan ya, surat itu pasti Mita yang menulis, karena Dito hafal tulisan Mita.
Tapi hari ini surat yang diterima Dito benar-benar berbeda. Kali ini surat itu pendek, berisi ‘ijin’ untuk menghubungi Mita. Katanya Mita akan menjelaskan semuanya, atau paling tidak, memberi tahu sesuatu.
“Dito,
Aku harus menjelaskan sesuatu,
Telepon aku di nomor di bawah surat ini, Hari Senin besok.
Kutunggu.”
Berbagai pikiran sudah memenuhi otak Dito. Tapi Dito berusaha mengenyahkan semuanya itu dan menanti hari Senin dengan sabar.
Hari itu tiba, dan dengan tangan gemeterar Dito menekan nomor yang tertera di surat dari Mita.
-*^^*-
Satu deringan terdengar.
Mita menghela nafas, dia tahu sudah saatnya dia memberi tahu hal ini pada Dito.
Dua deringan terdengar,
Mita meletakkan tangannya di atas gagang telepon.
Tiga deringan terdengar,
“Halo?” Mita mengangkat telepon. “Mita?” ah, suara Dito sangat berbeda, terdengar, takut dan bingung.
“Iya, ini aku, Dit.” Mita berusaha menjaga agar suaranya tetap terdengar kuat. “Mit, kenapa sih kita nggak bisa berhubungan kayak biasa? Kamu kenapa, Mit?”
“Maafin aku Dit, nggak cerita-cerita dulu sebelumnya. Tapi sekarang aku pindah ke Jakarta.”
Mita langsung mendengar suara barang terjatuh, atau lebih tepatnya dilempar, lalu jatuh. “Dit?”
Tidak ada jawaban, “DITO?--” “Kenapa kamu nggak kasih tahu dulu sih, Mit? Terus kita gimana?” tanya Dito, dengan suara yang keras, setengah marah, tapi juga sedih.
“Itulah, Dit. Aku takut kita nggak bisa. Maafkan aku,” kata Mita dengan suara sangat menyesal. “Aku nggak tahu kapan aku akan pulang, bisa jadi aku nggak akan pulang lagi, jadi kayaknya ini yang terbaik untuk kita.”
“Mita, kenapa kamu nggak ngasih tahu dulu sih? Kita kan nggak perlu diem-dieman gini, kita bisa bicarain baik-baik—“ “Diem-dieman gimana maksudnya?” potong Mita. “Nggak kontak selama beberapa minggu, Mit. Iya kita emang komunikasi, tapi cuma lewat surat! Dan lewat surat aku nggak tahu ekspresi kamu, lebih tepatnya nggak tahu apa-apa tentang kamu! Tiba-tiba kamu juga ngundurin diri dari kuliah,” Dito menjelaskan.“Iya, aku minta maaf, belum ada kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Terimakasih, Dit. Aku harap mulai sekarang kita bisa menjadi teman yang baik.” Suara Mita mulai bergetar. “Mit, kalo kamu pulang ke Semarang suatu hari nanti, kamu akan lihat dance crewku jadi terkenal dan hebat. Dan dengan cara itu aku mau selalu ingat kamu, ingat bagaimana kamu menginspirasi aku, dan menyimpan kamu dalam hatiku, walaupun kita harus punya ending seperti ini.” Lalu setelah diam beberapa detik, telepon di matikan dari pihak Mita.
Tangispun pecah di kamar Mita. Sejak hari itu, keduanya juga sama sekali lost contact, benar-benar tidak berhubungan.
0 comments:
Post a Comment