Tuesday, March 6, 2012

Lucky 3 ^^ (Part 2)

6 bulan berlalu sejak telepon itu. Selain rajin kuliah, Dito benar-benar bekerja keras untuk meningkatkan kemampuan dance crewnya. Rajin berlatih dan ikut pelatihan ini itu, selain juga ikut lomba-lomba dan job. Semua itu dia lakukan karena dia masih selalu mengingat kata-kataMita 5 tahun lalu.
“Hai,” sapa Dito. “Oh, halo,” kata Mita sambil tersenyum. Hari itu Mita dan Dito sedang sama-sama ikut lomba bahasa Inggris antar SMP, dan kebetulan mereka duduk sebelahan. Dari 2 kata itu, berlanjut menjadi perkenalan yang lebih baik, lalu berteman.
Suatu kali Mita ada show bersama kelompok ballet-nya, dan Dito kebetulan bisa nonton. Di sana, dia melihat suatu kesungguhan dari tarian Mita. Padahal, hari-hari itu, jarang orang masih jadi penari, terutama penari ballet.
“Kamu suka nari?” tanya Dito kemudian. “Iya, suatu hari nanti aku mau jadi penari ballet professional! Dibayar untuk menari, itu terlalu enak. Tapi itu yang aku inginkan. Sehari tanpa menari terasa, yah, hambar. Menari adalah hidupku, setiap langkah dan gerakan tangan adalah tarian.”
Dito termenung, terpukau dengan jawaban Mita. Dan dari situ dia tahu, kalau dia mau jadi bagian hidup dari gadis itu, dia juga harus memiliki ‘hidup’ yang sama, tari. Tapi dari pada menari ballet, di mana cowok itu jarang, dia memilih hip-hop, yang juga lebih style dia. Dan rupanya Mita juga menerima hal itu, dan mengijinkan Dito untuk masuk lebih dekat dalam hidupnya. Dan Dito juga tidak pernah lepas dari yang namanya hip-hop lagi, itu menjadi hidupnya sekarang.
-*^^*-
Dito sedang duduk-duduk di lorong kampusnya, hingga tiba-tiba seorang sahabatnya, Reno, yang berasal dari SMA yang sama, tiba-tiba berlari cepat menuju Dito. “Dit, cepetan sini!” kata Reno lalu berlari sambil menarik Dito. Dito nggak sempat ngomong apa-apa lagi, sambil berusaha menyeimbangan tubuh yang selalu hampir jatuh.
Sampai di depan TU, tubuh Dito mematung. Sosok itu dulu sangat sering ditemuinya. Ibunda Mita. Sepertinya sosok itu juga sedang memperhatikan Dito, yang walau dalam tempo kurang dari setahun sejak mereka terakhir bertemu, sudah berubah banyak. Wanita itu lalu berjalan mendekati Dito, sementara Dito masih berkutat dengan pikirannya, apakah Mita ada di sini juga?
Wanita itu seperti bisa membaca pikiran Dito. “Nak, Mita memang ada di sini, tapi dia pesan, dia belum bisa bertemu dengan kamu. Maaf ya, Dito.” Wanita itu terlihat sangat menyesal, tapi tetap tersenyum, seolah ingin menguatkan Dito. Dito hanya mengangguk samar, lalu tetap berdiri di tempat, mengamati wanita itu berbincang dengan rektor sampai kelas kuliahnya akhirnya dimulai.
Selama kuliah, Dito hanya bisa berkonsentrasi sedikit, karena separuh jiwanya memikirkan Mita. Apakah dia kembali untuk seterusnya?
Reno yang duduk di sebelahnya rupanya memperhatikan Dito. “Masih mikirin Mita terus? Aku juga, kaget banget lihat dia duduk di kursi roda.” Dito terlompat kaget, “Nggak, nggak mungkin!” desisnya. “Kamu nggak tahu? Kabarnya kan dia kecelakaan beberapa bulan lalu. Kayaknya sebelum kalian putus deh!” Dito tidak mendengarkan kata-kata Reno dan dosen lagi. Tubuhnya ada di kelas, tapi pikirannya berputar-putar, antara Mita, perkataan Reno tadi, dan sikap Mita selama ini.
Mita, sebenernya ada apa?
-*^^*-
“Nak Dito? Ada apa datang ke sini?” tanya Ibu Mita, agak terkejut melihat Dito datang ke rumahnya sore itu. Sebenarnya tadi Mita sudah memberi tahu ibunya, mungkin saja Dito akan datang sore itu, Mita tahu betul sikap Dito.
“Tante, apa saya boleh ketemu Mita?” tanya Dito hati-hati. Ibu Mita mengisyaratkan Dito untuk duduk. “Dia nggak bermaksud untuk menyakiti perasaan kamu, Dit. Tapi keadaan yang—“ “Biar Mita yang jelaskan, Bu!” tiba-tiba Mita sudah berada di depan pintu, duduk di kursi rodanya. Ibunya mentap Mita sebentar, lalu mengangguk. Beliau mendorong kursi roda Mita sehingga berada di samping Dito.
“Apa kabar, Dit?” tanya Mita. Dito tidak bisa menjawab, dia masih kaget melihat keadaan Mita.Mita menyadari itu dan tersenyum sedih. “Waktu aku liburan, ada anak kecil mainan di tengah jalan. Dan ada mobil mau lewat, jadi..” Mita nggak menyelesaikan kalimatnya, dan mengangkat bahu.
Ah, Dito jadi sedikit kesal sendiri, kenapa gadis itu terlalu baik?
“Setiap kali aku lihat kamu, aku selalu inget tentang menari. Itu hal yang nggak enak, Dit. Aku udah nggak bisa nari lagi. Aku udah bisa menerima kenyataan aku nggak bisa berjalan lagi, tapi soal menari? Aku nggak bisa!” Mita berkata dengan suara bergetar. Dito tersentak, dia langsung menatap Mita, “Kalo kamu mau, aku akan lepasin nari juga!” Mita menggeleng. “Apa kata Mama kamu nanti?”
Mama Dito, orang yang paling menentang Dito pada awalnya untuk mengembangkan hip-hopnya. Tapi sekarang beliau cukup mendukung, sangat mendukung malah. Apa kata Mama Dito nanti kalau sekarang Dito mau berhenti?
Masalah berikutnya adalah, semua itu gara-gara Mita. Dan memang dari awal beliau udah nggak suka sama Mita. Namun sepertinya beliau agak melupakan hal itu saat dance crew Dito mulai berkembang. Sekarang, kalau putranya mau melepaskan hasil kerja kerasnya, apa yang dikatakannya nanti? Apalagi hal itu karena Mita.
Dito tertunduk dan berkata, “Tapi kalau gitu, kita nggak bisa dekat lagi. Aku akan selalu membuat kamu sedih.” Lalu tiba-tiba Dito berlutut di samping Mita, memohon, “Kasih aku kesempatan, Mit. Aku akan berusaha bikin kamu seneng. Aku akan menari buat kamu, selalu bantu kamu.” Mita menatap jauh, “Aku nggak tahu, Dit. Ini cukup berat buat aku. Benar-benar, melihat kamu membuat aku sedih. Apalagi sekarang akususah ngapa-ngapain. Aku masih pengen kuliah, Dit. Pengen nari. Tapi mungkin…” Mita meraih tangan Dito, “Aku lebih sedih kalo nggak melihat kamu.”
Dito tersenyum, lega dan senang. “Makasih, Mit. Besok kamu mau pergi-pergi nggak? Aku anterin.” Mita tersenyum dengan expresi bersalah, “Sori, Dit, tapi sekarang karena keadaan aku kaya gini, ngg..” “Oh, itu. Nggak masalah, Papa udah minjemin mobil sekarang, jadi kamu tetep bisa aku anter.” Kata Dito. “Oke, tapi jangan sampe ganggu kuliah ya.”
-*^^*-
Mita sering ikut Dito latihan sama dance crewnya, kadang-kadang nemenin mereka waktu ada lomba atau job. Tapi Mita belum pernah datang lagi ke universitas tempat dia dulu hampir kuliah. Sekarang Mita sudah kuliah juga di universitas yang berbeda, tapi lewat online, di mana dia nggak harus datang ke kelas langsung.
“Mit, kapan-kapan liat-liat kampus ya!” ajak Dito suatu hari. Mita mengangguk. Sudah dari dulu dia ingin melihat bagian dalam universitas itu secara langsung, melihat studio-studio yang ada dan juga mini teater yang dikhususkan untuk mahasiswa di sana. “Tapi memangnya sembarang orang boleh masuk?” tanya Mita. “Boleh kok, kan kamu sama aku. Jadi tenang aja,” kata Dito, dan benar, sekarang Dito mengajak Mita ke kampusnya. Kebetulan hari itu dia nggak ada jadwal kuliah, jadi bisa keliling-keliling sampai beberapa lama.
Sejak dari halaman, beberapa orang melihat Dito dan Mita. Terutama Mita, yang duduk di kursi roda. Saat Dito dan Mita berkeliling, beberapa orang yang mengenal Dito menyapanya, lalu menatap Mita dengan pandangan iba. Beberapa gadis yang kelihatannya menggumi ketampanan Dito, jadi memandang Dito dengan pandangan aneh, seakan menyatakan, ceweknya cuma bisa duduk di kursi roda? Lebih baik sama aku!
Mita menyadari pandangan itu, tapi tetap menunduk dan berusaha tidak mempedulikan semua itu.Dia berusaha fokus pada perasaan senang yang didapatkannya dari melihat-lihat seluruh fasilitas di kampus ini. Sesekali Dito akan menepuk bahu Mita perlahan, untuk memberitahu Mita kalau dia memang tidak perlu mempedulikan mereka semua. Menyatakan kalau Mita lebih penting dari semua pendapat itu.
Setelah beberapa saat, sampailah mereka di sini, di mini teater. Mita memandang panggung dengan berdecak kagum. Teater itu kebetulan sedang dipakai oleh jurusan Musik, sehingga suasana benar-benar dihidupkan. Suara dalam mini teater itu sangat mengagumkan, pencahayaannya juga terlihat professional. Rasanya, walaupun itu hanya mini teater, tidak akan ada orang yang akan menolak kesempatan untuk tampil di atas sana. Walaupun memang hanya mahasiswa tahap akhir di universitas itu dan yang menunjukkan kemajuan pesat yang bisa berada di atas sana.
Sayang, sekarang aku sudah tidak bisa menari. Kesempatanku untuk berada di atas sana sudah hilang, batin Mita. Tapi lalu Dito membisikkan kata-kata ini pada Mita, “Nggak lama lagi, aku akan berada di atas sana, dan ingat, semua itu karena kamu. Aku akan ada di atas sana, menari untuk kamu, atas nama kamu.”
Hari itu mereka lanjutkan dengan pergi ke sebuah tempat. Tapi Mita nggak tahu persis mereka akan pergi ke mana. “Rahasia!” kata Dito. Tapi setelah 1 jam perjalanan, Mita tahu juga akhirnya. Sekarang mereka berada di sebuah pantai. Memang nggak sebagus pantai-pantai di Bali, suasananya tetap cukup menyenangkan. Untung matahari belum mau kembali beristirahat, sehingga mereka masih punya banyak waktu di sana.
Mereka duduk-duduk di mobil untuk beberapa lama, dan sekarang matahari sudah senja. “Kayaknya enak ya, kalau bisa duduk di sana,” kata Mita sambil menunjuk sebuah tempat yang benar-benar dekat ke air. Tapi lalu pandangannya menerawang, dan Mita juga tidak berusaha membuka pintu atau apapun, seperti sadar kalau dia tidak bisa ke sana.
Dito terdiam, berpikir sejenak. Mobil seperi yang dinaikinya sekarag ini tidak boleh berjalan lebih dekat lagi kepantai. Sedangkan kursi roda yang dipakai Mita bukanlah kursi roda khusus yang bisa digunakan di atas pasir. Jadi nggak ada cara yang bisa dipakai untuk bisa mengajak Mita ke tempat yang tadi dia tunjuk. Tapi dia sangat ingin mengajak Mita ke tempat itu, dia ingin membuat Mita senang. Harus bagaimana?
Lalu tiba-tiba, Dito melepaskan sabuk pengaman yang sedari tadi belum dilepasnya. Dia keluar dari mobil dan memutar ke sisi sebelah kiri, dan membuka pintu. “Mau ngapain?” tanya Mita, bingung. “Katanya mau ke sana?” balas Dito sambil tersenyum polos. “Tapi caranya gimana? Kursi rodaku kan nggak bisa,” Mita melirik kursi rodanya yang ada di bagian belakang mobil. “Tenang aja, tetep bisa kok,” Dito tetap santai, lalu tiba-tiba dan dengan gerakan yang cepat, dia menggendong Mita. “Dito! Apaan sih!” Mita berteriak kaget, tapi Dito tetap dengan wajah polosnya, “Katanya mau ke sana,” kali ini Dito menunjuk dengan gerakan kepalanya.
“Tapi nggak gini juga kali, malu dong diliat orang,” Mita mengingatkan, tapi Dito menggeleng dengan gayasok tegas, “Nggak juga ah. Kan ini tempat umum, bebas mau ngapain, mau malu-maluin juga nggak papa kok.” Mita tersenyum, dan mengangguk kecil.
Dito menggendong Mita, sampai ke tempat yang tadi ditunjuk. Mita nggak bisa menyangkal, dia memang malu, tapi satu perasaan lain yang muncul. Rasa nyaman. Rasa aman. Itulah yang Mita rasakan saat berada di gendongan Dito tadi.
Tiba-tiba saja Mita merasa, terlalu merepotkan. Dito sudah terlalu banyak membantunya. Dan sudah terlalu banyak pandangan mencemooh yang dilemparkan orang-orang pada Dito. Semua karena dirinya.
Namun tepat di saat itu, sebuah tangan melingkar di bahu Mita. “Nggak papa. Nggak ada yang ngerepotin. Selama kamu seneng, itu bikin aku seneng banget. Dan selama aku masih bisa membantu kamu, aku akan selalu melakukannya.” Sekali lagi, Dito membaca pikiran Mita.
Sekarang, sambil menatap matahari yang semakin menghilang, Mita tidak bisa berhenti menatap orang yang sangat disayanginya dan tidak bisa berhenti mengatakan kalimat ini, I’m lucky to have you in my life.

0 comments:

Post a Comment