Saturday, April 27, 2013

Taste of Spring

As some of you may know, ada sebuah penerbit (Bentang Pustaka) yang setiap minggu mengadakan lomba nulis cerita mini <less than 200words stories> daann aku beberapa kali iseng ikut menulis. Karena quality ceritanya aku rasa nggak gitu menarik, atau karena masalah internet, kadang nggak aku kirim, walaupun ada juga yang tetep dikirim :D

Ini salah satunya, 2 minggu lalu kalo nggak salah :)
I initially wanted to post a different story,
But I think I'll keep that one for another time :)

But for know,

Enjoy!


-*^^*-


Huft. Bad day. Hari yang benar-benar buruk. Jalanan macet, terlambat ke kantor, di marahi bos, kerjaan menumpuk dua kali lipat, HP jatuh dan rusak, plus sahabat-sahabatku di kantor - yang biasa menyemangati aku walaupun hari itu suntuk - nggak masuk. Semuanya buruk.

Rasanya semua yang aku inginkan sekarang hanyalah pulang, makan malam, dan tidur. Tapi sebelumnya, seperti biasa, mampir ke Zioso, toko es krim kecil di dekat apartemen tempat aku tinggal. Saat hatiku sedang gundah begini, cuma es krim yang bisa menenangkannya.

Mendekati toko es krim itu, aku mulai berpikir. Rasa apa yang akan aku pilih? Mungkin yang manis, untuk menghilangkan kepahitan hatiku pada hari ini. Mungkin yang 'menyejukkan'?


"Hey. Bad day?" Tom, salah satu pegawai baru Zioso yang akhir-akhir ini sering melayaniku menyapa dengan tatapan ramahnya.

Aku mengangkat bahu, mengangguk.

"2 scoop mint?"

Aku tersenyum lebar. Lama-lama dia menghafal pesanan favoritku. Tom segera mempersiapkan pesananku, mengambil 2 scoop es krim dan menaruhnya di cup kertas. Tak lama, dia menaruh cup di meja kasir, dan menerima pembayaranku. Aku mengambil es krimku, berterimakasih, dan keluar.

Tiba-tiba, aku menyadari sesuatu yang aneh. Di cup es krim itu ada angka-angka. Nomor HP. "Call me? T."


Ahh, seperti ice cream mint di tanganku, berkenalan lebih dengan teman baru mungkin akan menyejukkan hari ini. Dan sudahkah aku bilang kalau dia tampan?


-*^^*-

Tuesday, April 9, 2013

Auf Wiedersehen !

Kotak, check. Bolpen, check. Kertas dan amplop, check. Gantungan kunci... Check. Wristband, check.

Diana menarik kursi dan akhirnya duduk. Langsung dia meraih pena bertinta hitam di depannya. Sempat memainkan tutupnya sejenak. Lalu mulai menulis sebuah surat.


Tiga tahun yang lalu, seorang gadis terjatuh ke dalam perasaan yang disebut cinta. 
Gadis itu benar-benar terpesona pada seorang pria. Gadis itu tidak bisa berhenti memikirkan sang pria, pagi hingga malam, bahkan terbawa dalam mimpi berkali-kali.

Bulan dan matahari bergantian bersinar, hari berganti hari dan bulan berganti bulan.
Sekian bulan tanpa saling berkomunikasi belum menyurutkan cinta gadis itu.
Kenangannya mengenai pria itu terus memberinya inspirasi untuk hidup, bermimpi, menulis.

Setiap malam, dia berdoa untuk si pria. Berdoa agar dia diberi kekuatan, berdoa agar dia diberi bahagia. Meskipun itu berarti harus berada bersama orang lain. Dan doa itu terus dipanjatkan meskipun rasa cinta itu sudah mulai menghilang.

Sekarang, gadis itu hanya ingin memberimu sedikit tanda terima kasih, karena pria itu kamu. Mungkin kamu tidak pernah merasa membuat seseorang jatuh cinta, dan mungkin kamu tidak tahu siapa gadis itu. Tidak apa-apa. Aku hanya ingin berterima kasih atas semua yang pernah kamu berikan. Langsung maupun tidak langsung. Kalaupun kamu tahu siapa penulis surat ini, mungkin kalau kita bertemu lagi, kita tetap bisa berteman?

I will always treasure you.


Diana membaca surat itu sekali lagi, mengangguk puas setelah surat itu habis. Dilipatnya kertas menjadi 3 bagian. Satu, dua. Lalu dengan cekatan, diambilnya amplop dan diisi. Amplop itu dia lempar ke dasar dangkal kotak. Dia menimbang sebentar, lalu memutuskan untuk tidak memberi nama di amplop lagi.

Wristband yang terbaring, gantian ia beri gerakan. Diambilnya wristband itu, dan sebuah gunting, lalu menggunting hingga putus label harga yang masih tertera. Senyuman miris mengantar wristband itu berkenalan dengan amplop yang ia tindih.

Suara gaduh kecil sekarang terdengar, dari gerakan gantungan kunci. Diana mengambil gantungan kecil berwujud gitar itu,  memutarnya cepat untuk kelihat keadaan gantungan berusia 2 tahun itu. Masih baik. Dan bergabunglah ia dengan si wristband.


Diana menatap kotak itu, lama. Kini terlintas hebat di memorinya, malam-malam di mana dia tersenyum membaca kata-kata Liam. Malam-malam di mana dia mencuri waktu istirahatnya sendiri, untuk dicuri hatinya oleh Liam.

Malam-malam di mana tangis menjadi kawan karib, karena rindu membebani, atau sekedar karena clueless, apa kabarnya hari itu. Malam-malam di mana dia tidak bisa terlelap, berharap bintang adalah tukang pos.

Juga pada hari-hari di mana dia merasa girang telah di beri panggilan sayang, atau sekedar di sapa. Dan hari-hari di mana senyumnya hilang melihat Liam yang tiba-tiba sudah punya kekasih baru.

Diana menggeleng, tertawa pilu. Liam tidak perlu mendengar bagian kisah yang itu.

Diana menggeleng lagi, kali ini sambil menghalau air mata yang mulai menumpuk. Diambilnya tutup kotak dan dengan lembut ditutupnya kotak. Sambil berusaha mengemas pula, dalam waktu yang hampir bersamaan, ribuan kenangan peninggalan Liam di otak dan hatinya. 

-*^^*-