Monday, May 14, 2012

Bahagia itu Sederhana :)

Emm cerita yang ini agak beda dari biasanya,
karena tema'nya beda..
:D
tugas BI yang gak jadi dipake karena nggak ada tokoh antagonis di cerita ini =="
tapi baiklah, jadi bisa dipasang di sini :D

ENJOY :)


BAHAGIA ITU SEDERHANA



TENG! TENG! TENG!

Lonceng dibunyikan 3 kali. Semua anak-anak yang tadinya serius mendengarkan penjelasan guru, langsung menutup buku-buku, memasukkannya ke dalam karung bertali yang kami sebut ‘tas’, dan duduk manis dengan tangan terlipat rapi di atas meja.

“Baiklah, anak-anak, kita berdoa.” Ibu guru memimpin doa pulang. Kami semua khusyuk berdoa, agar kami semua sampai di rumah dengan selamat.Begitu kata ‘Amin’ diucapkan, aku langsung berdiri dan menyambar tasku. “Aku pulang dulu ya, semua!” teriakku. Teman-teman semua langsung menatapku dan berkata, “Iya!”

Dan selanjutnya mereka tidak langsung pulang, walaupun mereka sudah siap pulang.

Aku tersenyum sedikit. Inilah kelasku yang tecinta, ada di dalam bilik kayu kecil tapi tidak ada yang mau cepat-cepat pulang. Sayangnya, sepertinya tidak mempunyai ingatan yang baik. Kenapa tanyamu? Karena – ah, sudahlah. Mungkin memang tidak penting.

Nah, apa pertayaanmu? Kenapa aku tidak ikut bercengkrama di sini bersama mereka? Bukan karena aku tidak menyukai mereka atau aku tidak suka berceloteh. Oh tentu saja bukan, itu alasan yang sangat tidak masuk akal! Tapi rumahku sangatlah jauh dari sekolah. Kira-kira 3 jam kalau naik sepeda. Maka itu, sebelum hari menjadi gelap, aku mau segera sampai di rumah.

5 menit setelah aku meninggalkan sekolah, aku merasa, diawasi. Aku berhenti sebentar, menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa. Seperti biasa, jalanan yang aku lalui dari rumah ke sekolah memang sangat sepi. Toko-toko kelontong masih tutup, warung-warung makan masih sepi, dan hanya ada hamparan rumput tinggi di bagian yang tak tertutupi bangunan. Suara yang terdengar juga hanyalah hembusan angin, suara rantai sepedaku, dan roda sepedaku yang beradu dengan tanah kering.

Aku mempercepat laju sepedaku, sambil bertanya-tanya, apakah tadi aku kurang khusyuk saat berdoa? “Ampuni aku, ya Tuhan! Dan antarkanlah aku sampai ke rumah dengan selamat!”

Walaupun sudah berdoa lebih sungguh, perasaan diawasi tidak hilang. Sekali-sekali aku menoleh, tetap kosong. Aku tahu, perasaan diikuti ini bukanlah sekedar ilusi. Aku sudah mendengar banyak cerita tentang gerombolan bandit yang suka menyerang orang di tengah jalan. Tapi siapakah aku dan apakah yang aku punya sampai-sampai maling mau mengejarku? Aku hanya gadis kecil berkulit hitam dan berambut keriting, dengan sebuah sepeda tua dan sebuah karung kumal berisi beberapa kertas yang disebut buku, dan beberapa potongan kayu berisi grafit hitam yang disebut pensil.

Oh ya, memang ada kemungkinan lain, yaitu binatang buas yang tiba-tiba menyerang. Aku juga pernah mendengar cerita dari seseorang yang diserang oleh harimau yang datang entah dari mana. Tuhan! Aku tidak mau bernasib tragis di perut hewan-hewan buas itu!

Perasaanku jadi semakin campur aduk. Aku berusaha mempercepat laju sepedaku, tapi rasanya kakiku ini sudah bergerak secepat Shinkansen – kereta Jepang yang super cepat. Hari juga sudah semakin gelap, menambah rasa takutku yang kian menjadi-jadi.

Tapi begitu ujung rumahku terlihat – walaupun hanya dari kejauhan, hatiku bersorak-sorai! Ah, alangkah menyenangkannya akhirnya bisa sampai di rumah dengan selamat, tanpa bertemu gerombolan orang jahat ataupun binatang buas yang lapar!

Perasaan sukacita tadi cepat sekali berganti dengan kebingungan. Semakin dekat dengan rumah, aku bisa melihat segerombolan orang berkumpul di depan rumahku. Aku menghentikan sepedaku sejenak. Ada apa? Apa yang terjadi? Tapi tunggu! Bukankah itu teman-temanku? Jangan-jangan…

“SELAMAT ULANG TAHUN PIPPA!” Semua teman-temanku berteriak dari kejauhan dan melambai-lambai!
Air mata kecil turun di pipiku. Ternyata mereka ingat? Aku –untuk pertama kalinya dalam 3 jam ini- menaiki sepedaku dengan kecepatan santai, dan segera menghambur ke arah teman-temanku begitu sudah sampai.

“Terima kasih! Aku kira kalian lupa ulang tahunku!” “Mana mungkin lupa, Pippa?” kata mereka kompak.

“Eh, tapi bagaimana kalian bisa sampai lebih cepat dari aku?” tanyaku. Mereka menunjuk kepada bapak kepala sekolah dalam Jeepnya. “Kami berdesak-desakan dalam satu Jeep dan melewati jalan memutar, supaya bisa sampai di sini lebih awal!” Aku membungkuk kepada bapak kepala sekolah.

Kami lalu bercanda dan bersenang-senang di bawah terang bulan, di halaman rumahku, sampai orang tua mereka datang menjemput. Memang ‘perayaan ulang tahun’ku ini tanpa ditemani kue ulang tahun seperti orang-orang barat, juga tanpa dikelilingi kado yang bagus-bagus. Tapi aku dikelilingi semua sahabat terbaikku seperti ini, dan aku tahu, aku adalah gadis kecil yang paling berbahagia.

0 comments:

Post a Comment